Resensi Film: “The Salvation”, Penantian akan Mesias
“KAMI tidak pernah berhenti berharap dan berdoa bahwa seseorang sepertimu akan muncul. Engkau menyelamatkan kami dari kepahitan,” kata sang sherif sembari menatap lelaki berdebu dengan menenteng senapan laras panjang. Kata-kata sherif tersebut menyimpulkan seluruh jalan cerita dari film baruThe Salvation.
Kisah 1:
Selama bertahun-tahun warga kota kecil Black Creek berada dalam bayang-bayang kekuasaan gangster yang sewenang-wenang merampas milik warga. Bukan hanya upeti bulanan yang diminta dari warga, namun juga dengan seenaknya sendiri mengambil nyawa warga.
Kendati warga lebih banyak jumlahnya dibanding kelompok bandit tersebut, nyatanya ketakutan telah melemahkan mereka. Ketakutan telah mematikan jiwa pahlawan. Ketakutan memporak-porandakan kesatuan warga. Ketakutan telah membunuh kecerdasan.
Akibatnya warga hanya menjadi penonton atas kesewenang-wenangan. Sebisa mungkin tidak terkena petaka. Bahkan sherrif yang tak lain adalah seorang imam (Douglas Henshall), penggembala warga Black Creek, hanya bisa bungkam melihat ketidakadilan di depan mata.
Kisah 2:
Jon (Mikkelsen), pensiunan tentara Denmark hijrah ke Amerika. Selama tujuh tahun berjuang untuk menyiapkan impiannya agar istri dan anaknya datang menyusul. Saatnya hidup bersama membangun keluarganya di benua baru itu akhirnya datang.
Kedatangan istrinya (Nanna Oland Fabricius) dan anak nya yang berusia 10 tahun (Toke Lars Bjarke) sangat dinantikannya. Namun tanpa dinyana, istrinya diperkosa lalu dibunuh.
Anaknya dibunuh dan dilemparkan dari kereta kuda. Habislah semua harapan. Hancurlah semua mimpinya. Yang tersisa cuma satu, menuntut haknya atas kematian keluarganya. Jon menembak dua orang yang memperkosa istri dan membunuh anaknya.
Kisah 3:
Delarue (Jeffrey Dean Morgan) ialah pemimpin gangster. Saudaranya adalah seorang yang telah dibunuh oleh Jon. Ia mendatangi kota Black Creek. Perilaku Delarue dan anak buahnya sangat mengecilkan hati warga. Pada saat itu ia seenaknya mengacungkan pistol, tarik pelatuk dan nyawa melayang tanpa ampun. Dengan cara demikian ia menuntut sherif dan mayor setempat menangkap si pembunuh.
Mesias tanpa dinyana
Film The Salvation menyatukan ketiga kisah itu di dalam usaha kegigihan Jon untuk melawan kelompok gangster itu. Jon tidak berpikir bahwa perlawanannya ialah untuk menolong warga dari cengkraman Delarue. Ia semata-mata ingin bertahan hidup. Ia berhasil membunuh ketakutan. Bermodal kegigihan dan nyalinya, Jon berhasil menghabisi semua bandit itu.
Nyali yang dimiliki oleh Jon itulah berkah untuk warga Black Creek. Warga yang takut, sheriff yang bunglon, dan mayor yang bernyali kerdil benar-benar melihat Jon pada akhirnya sebagai ‘mesias’ mereka. Padahal sebelumnya, mereka mengorbankan Jon demi keamanan warga. Ironis!
Sherif dan representasi warga datang berkuda menuju markas gangster. Mereka mendapati Jon berdiri menenteng senapan. Jon berdiri bak seorang prajurit siap bertempur menyambut kedatangan sherif. Keluarlah kata-kata yang telah ditulis dalam pembukaan resensi ini.
Mencari arti “selamat”
Film tulisan Kristian Levring dan Anders Thomas Jensen layak diacungi jempol. Mereka berdua mampu menyajikan suatu cerita yang apik. Selain itu mereka berhasil untuk membuat The Salvation mengadaptasi konsep keselamatan dan mesiasme dalam konteks Wild West yang diwarnai oleh debu gurun, kekerasan, dan darah.
Film ini terkesan tidak kristiani, lantaran sangat akrab dengan pembunuhan dan kekerasan. Namun menengok balik konteks kegigihan Yesus, Mesiasnya orang Kristen, sebenarnya juga tak jauh dari seri pembunuhan dan kekerasan. Bedanya Yesus tidak mengangkat senjata untuk mematahkan belenggu kuasa si jahat. Yesus menjunjung belas kasih. Sementara di konteks Wild West, hukum yang ditegakkan adalah survival the fittest, mesti bertahan hidup dengan memakai cara adaptasi apa pun, termasuk cara senjata.
The Salvation semoga menjadi tontonan yang syarat dengan pesan luhur seperti kasih dalam keluarga, menata kehidupan sosial, keadilan bagi yang lemah dan iman dalam cengkraman kekejaman. Selamat menikmati.***
Baca juga Resensi Film: “Let’s Be Cops”, Justru Turunkan Pamor Polisi
Baca juga Resensi Film: “Let’s Be Cops”, Justru Turunkan Pamor Polisi