Resensi Film “Fury”, Belajar Tega Dulu Sebelum Menarik Picu Senjata

UNTUK sejenak, lupakan dulu Brad Pitt yang tampan di film anyarnya: Fury. Kita fokuskan dulu pada sosok serdadu ingusan bernama Norman Ellison (Logan Lerman) yang kemudian masuk sebagai anggota kelompok serdadu penunggang motor besi: sebuah tank dengan sandi “Fury” (Amarah).
Norman benar-benar ingusan. Ia sama sekali belum pernah masuk medan perang dan juga belum pernah melihat “isi dapur” sebuah tank, mesin perang andalan korps kavaleri. Dalam sebuah setting Perang Dunia II di kawasan pendudukan Jerman, Norman terjebur masuk ke dalam kelompok kavaleri pimpinan Sersan Don “Wardaddy” Collier (Brad Pitt).
Di dalam kelompok serdadu kavaleri ini, Norman menjadi bulan-bulanan. Dalam beberapa setting peristiwa perang pun, nyalinya yang masih ingusan itu sering menjadi sasaran kemarahan Don. Keempat serdadu lain yang menjadi awak, juru mudi, juru tembak, navigator Fury –tank andalan kelompok ini– juga tak ketinggalan terpancing memarahi Norman. Dan akhirnya, kemarahan Don sampai mencapai puncaknya, ketika Norman dipersalahkan tidak segera menembak lawan hingga sejumlah GI (serdadu AS) tewas. GI mati sia-sia, jauh sebelum misi mereka mengendus pertahanan Jerman berhasil diemban.
Untuk memancing nyali Norman, Don memacu semangatnya untuk menembak mati serdadu SS (Schutzstaffel) –pasukan andalan Nazi—tapi itu pun gagal. Keingusan Norman mencapai puncaknya, ketika dengan terpaksa –namun akhirnya senang juga— harus menggauli Emma (Alicia von Rittberg), gadis Jerman yang terperangkap dalam kepungan pasukan GI.
Ia berani melakukan itu daripada Emma menjadi “santapan” Don. Namun dalam sekejap, matilah Emma karena gempuran pasukan Nazi melalui serangan udara.
Kematian Emma segera menggerus habis keingusan Norman. Ditambah dengan aksi cuci otak yang dilancarkan Don bersama keempat kawannya dalam Fury, maka Norman menjadi mesin pembunuh yang pemberani hingga di satu jeda sebelum film berakhir,  ia lalu berjuluk “Machine” alis “Mesin Pembunuh”.
Antara nurani dan semangat tega
Meski Fury ini merupakan film perang dengansetting Perang Dunia II, saya lebih tertarik membahas konflik batin yang dialami Norman. Sebagai anak katolik baik-baik namun kemudian terjebur masuk dalam kancah perang, jiwa prajurit ingusan bernama Norman ini sungguh terguncang hebat.

Prinsip dasar militer yang berbunyi kill or to be killed rasanya jauh dari panggang api. Butuh beberapa waktu lamanya –seperti dilakukan Don—untuk mengasah semangat tega Norman hingga akhirnya bisa menjadi “The Machine” –sang pembunuh andal—bagi pasukan SS-nya Nazi.
Fury sekali lagi menerjemahkan dengan amat gambang, betapa medan perang itu akhirnya membawa manusia pada petaka kemanusiaan. Norman yang sejatinya ‘baik’ berubah menjadi mesin pembunuh. Don yang dasarnya pria bertanggungjawab akhirnya menjadi pembunuh bengis yang tak segan menggorok leher tentara Hitler atau kemudian menancapkan sangkurnya di dahi pasukan SS—tentara andalan Hitler.
Tragedi kemanusiaan
Perang apa pun –termasuk Perang Dunia II—sesungguhnya merupakan drama kehidupan yang menyayat hati dan merobek dahsyat nurani kemanusiaan kita. Itulah sebabnya, Friedrich Nietzche lalu bicara tentang nihilisme, ketika tatatan nilai kehidupan telah dijungkirbalikan hingga kemudian manusia hanya berhadapan dengan “sesuatu yang kosong” di depan mata.
Dalam perang, semuanya menjadi serba nil (tanpa) nilai alias nihil nilai. Gelombang putus asa dan robohnya harapan ikut melanda hati manusia hingga kemudian muncullah skeptisisme dan akhirnya nihilisme. Fury berkisah tentang situasi nihilisme, meskipun gelombang nil nilai itu lalu dibungkus dengan cerita perang melalui ideology militer: kill or to be killed.
Film anyar  Fury juga berkisah tentang the will to power yang direpresentasikan oleh nafsu kekuasaan Hitler untuk menyapu Eropa dalam genggamannya. Berhadapan dengan hal itu, wajah Amerika juga tampil bengis seperti dipertontonkan oleh sosok Don –Brad Pitt yang tampan, namun menjadi sangat kejam bila berhadapan dengan musuhnya: pasukan Jerman.
Nah, Norman dan Don adalah dua sosok manusia dengan bentukan karakter yang berbeda. Don sedari awal sudah mengalami cuci otak sebagai ‘mesin pembunuh’ sejak terlibat perang melawan Jerman; mula-mula di Afrika Utara melawan pasukan Jerman pimpinan Field Marshall Erwin Rommel, lalu di Perancis, Belgia dan kemudian di wilayah Jerman.
Sementara, Norman tumbuh dalam tradisi kristiani yang ketat dimana membunuh itu dosa berat dan memperkosa itu tindakan tak senonoh. Namun, di arena Fury akhirnya bobot moralitasnya  itu hancur  berkeping-keping oleh suasana perang. Dari yang semula ingusan beneran, dia dilatih tegas dan berani menembak mati musuh. Dan untuk satu hal ini, hukumnya pun sangat sederhana: lupakan agamamu, jadilah ‘raja tega’ dan kemudian tariklah picu senjata hingga sedetik kemudian terdengar bunyi dor…dor…dor…. Maka musuh pun bersimbah darah dan lalu mati.***
Baca juga Resensi Film: “Close Circuit”, Rahasia Intelijen di Tangan Remaja Cerdas

Popular Posts