Resensi Film: “The Fault in Our Stars”, Tersenyum dalam Sakit

Film The Fault in Our Stars sudah dirilis di USA bulan Juni lalu. Film ini diangkat dari novel berjudul sama karangan John Green. Novelnya sendiri telah meraih kesuksesan sejak diterbitkan pada tahun 2012. Kesuksesan itu kemudian dilanjutkan dengan mengadaptasi cerita ini ke layar lebar.
Bagi saya film The Fault in Our Stars sangat menyentuh hati, bahkan mampu memberi visi tentang sakit dan penderitaan. Saya berani menjamin bahwa Anda selama 2 jam akan tercengang kagum dan terharu mengikuti potongan demi potongan kisah 2 remaja penderita kanker bernama Hazel dan Augustus.
Benar-benar mengalahkan film drama Korea!
Dua remaja penderita kanker
Hazel Grace Lancester (Shailene Woodley) gadis remaja 16 tahun mengalami kanker tiroid. Frannie, ibundanya (Laura Dern) dengan setia memberi perhatian kepada Hazel. Segala cara dibuatnya agar Hazel memiliki antusiasme. Hazel kemudian dianjurkan untuk bergabung dengan support group penderita kanker. Di sanalah Hazel berkenalan dengan Augustus Waters (Ansel Elgort) yang kakinya dipotong karena osteosarcoma.

Singkat cerita pertemanan Hazel-Augustus bertumbuh indah. Hobi membaca novel yang keduanya miliki mengantar mereka pada petualangan untuk mencari jawaban dari ending novel An Imperial Affliction karangan Peter van Houten (Willem Dafoe).
Rasa penasaran itu menyebabkan kedua remaja ini bersusah payah menghubungi Van Houten. Namun tanpa dinyana Van Houten mengundang Hazel ke Amsterdam untuk mendapat jawab langsung semua pertanyaannya tentang ending novel tersebut. Sayangnya pertemuan dengan Van Houten justru membuat Hazel menelan kekecewaan.
Tetapi perjalanan ke Amsterdam juga memberi episode baru tentang kehidupan cinta Hazel- Augustus. Penyakit yang mereka alami tidak menyurutkan indahnya kasih yang mekar di antara mereka. Kasih itu membimbing dua sejoli ini untuk saling menjaga, mendukung dan memperhatikan.
Sepulang dari Amsterdam, tak lama kemudian Augustus meninggal. Pada pemakaman, Van Houten mendadak muncul. Ia berusaha mendekati Hazel untuk membuka rahasia atas semua misteri pertanyaan entah tentang novel maupun Augustus.
Sukacita dalam kesakitan
Dua remaja penderita kanker ini mewahyukan betapa indahnya hidup ini. Tokoh-tokoh dalam film ini tidak termakan oleh keadaan. Lihat saja Hazel yang mendapat pinalti akan meninggal. Ia berusaha tidak berfokus pada rasa sakit. Ia hanya ingin melewati hidup ini apa adanya dan syukur-syukur bisa menyenangkan orang tuanya yang telah merawatnya.

Berbeda dengan Augustus. Kakinya yang diamputasi tak memudarkan rasa percaya diri. Ia patahkan semua litani kesedihan. Ia bagaikan motivator untuk teman-temannya.
Tokoh–tokoh lainnya: Frannie, ibunda Hazel adalah seorang yang mendevosikan diri pada Hazel. 100% untuk anak semata wayangnya. Isaac (Nat Wolff) yang nyaris buta dan patah hati karena putus dengan pacarnya pun berperan sebagai seorang yang loyal dan peduli.
Van Houten semula dilukiskan seorang yang dingin dan ketus, ternyata adalah seorang survivor dari keputusaasaan karena kematian anaknya, Anna.
Tokoh-tokoh itu mengemas film ini lebih dari sekedar drama romantis dua sejoli. Film ini mampu menundukkan kepala penonton untuk belajar kepada mereka yang sakit, cacat dan muda belia tentang sukacita hidup.

Kesimpulannya, tidak ada istilah takdir untuk sakit penyakit. Kunci dalam menghadapi penyakit ialah mengasihi. “Sakit, penderitaan, bahkan kematian tidak akan bisa memisahkan kita dari kasih…” Karena kasih itulah Hazel pun tetap tersenyum dalam sakitnya, bahkan ketika ditinggal mati oleh Augustus, kekasihnya.***
Baca juga Resensi Film: “Cold in July”, Membunuh Anak Sendiri untuk Putuskan Rantai Kejahatan

Popular Posts