Resensi Film: “The Equalizer”, Perang Dulu Barulah Dapat Kedamaian

HANYA karena kediriannya ‘tersentil’ pas dan jitu oleh sapaan pelacur muda bernama Teri alias Alina (Chloë Grace Moretz), perangai eksistenssi kedirian Robert McCall tiba-tiba langsung berubah. Ia yang semula cenderung hidup agnostic dengan dirinya sendiri, tiba-tiba tersentil ‘kambuh kembali’ naluri kemanusiaannya.
Ia mulai peduli dengan dirinya sendiri, masa lalunya dan juga sekelilingnya. Pendek kata, ia ingin ‘berdamai’ dengan dirinya sendiri. Terutama dengan masa lalunya yang ‘gelap’, kotor dosa, dan membuatnya seperti kehilangan arah dan semangat hidup setelah dicampakkan oleh mantan istrinya.
Sapaan hangat Teri yang begitu menohok padangan sudut matanya seakan membersitkan bak dua sisi mata uang: mengubur dalam-dalam masa lalunya, namun sekaligus mulai terbuai oleh semangat baru untuk mulai peduli dengan dirinya sendiri.
Itulah sebabnya, McCall dibuat blingsatan ketika mengetahui Teri telah diperdaya oleh Salvi, begundal komplotan mafia Rusia di Boston. Ia datang menemui Salvi, memintanya melepaskan Teri dan tanpa ba-bi-bu langsung membantainya dengan santai ketika semua persyaratan tidak menemukan gayungnya.
Secepat kedipan mata
Bagi McCall –pensiunan perwira lapangan CIA yang andal—urusan bunuh-membunuh hanyalah persoalan kecepatan gerak. Secepat gerakan mata: berkedip, menatap, mengendus lawan dalam hitungan detik… dan seketika dor…dor..dor.. maka musuh pun dibuat keyok berdarah-darah tanpa ampun.

Film dengan bintang papan atas Denzel Washington –sang pemeran Robert McCall– berkisah tentang eksistensi manusia yang dirundung agnostisisme sekaligus hidup dalam faktisitas masa lalu yang ia sendiri pun juga tak bisa mengelak untuk merengkuhnya. Masa lalu itu adalah dunia intel penuh darah: hal yang mau dia tinggalkan selamanya hingga kemudian merintis hidup baru sebagai karyawan HomeMart, sebuah superstore khusus alat-alat bangunan dan rumah tangga.
Namun, sebenarnya masa lalu itu tetap menghantuinya setiap hari. Itulah sebabnya, McCall selalu dihinggapi imsonia: malam-malam tidak bisa tidur nyenyak dan terpaksa keluar malam, lalu nongkrong membaca buku apa saja di sebuah kafe tak jauh dari rumahnya.
Di kafe inilah, pertemuan dua hati yang sebenarnya saling membutuhkan itu terjadi.
Pelacur cilik Teri butuh perlindungan agar dia bisa bebas dari kungkungan mafia Rusia yang telah memperdaya dia sebagai PSK. McCall sebenarnya juga butuh teman untuk mendengarkan kisahnya. Tanpa diduga, ternyata si pelacur cilik Teri ini malah cerdas memindai masa lalunya, Ia berhasil menangguk sedikit cerita dan McCall dibuat tak bisa ngeles, ketika kisah cintanya di masa lalu yang kandas berhasil ‘ditelanjangi’ oleh Teri.
Pembesut kisah ini –sutradara Antoine Fuqua—hanya butuh waktu tidak lebih 1 menit untuk membingkai kisah dua manusia yang saling membutuhkan ini dalam sebuah balutan ‘temu pandang’.
Le regard
Mata tak pernah berdusta. Tatapan mata selalu membersitkan banyak cerita di baliknya. Le regard–demikian Jean-Paul Sartre berceloteh melalui pemikiran eksistensialisme khas Perancis—selalu membawa orang pada situasi ‘tersudutkan’. Ia tidak bisa berbohong sekaligus tidak bisa mengelak, ketika dirinya menjadi objek tatapan mata orang lain.

Meski dirinya jago kepruk, Robert McCall jatuh tertunduk ketika dirinya menjadi objek tatapan mata pelacur cilik. Kisah kelamnya terkuak, namun dengan itu pula ia sepertinya menemukan gelora élan vital baru untuk mengisi rongga hidupnya yang selama ini ditandai dengan agnostisme.
Teri datang menghadirkan gairah kehidupa. Maka dari itu, McCall pun tanpa ragu memburu para begundal mafia Rusia dan tanpa ampun membunuhnya satu per satu. Sebelum akhirnya berhasil masuk ke sarang penyamun dimana bersarang Vladimir Puskhin (Vladimir Kullich) yang Moskwa dan membunuhnya dengan aliran setrum, McCall terlebih dahulu harus banyak main petak umpet dengan pembunuh jagoan: Teddy (Marton Csokas), mantan anggota pasukan khusus Uni Soviet Spetnaz.
Bagi saya, film anyar The Equalizer lebih dari sekedar film kepruk-keprukan dengan nilai utamanya: membunuh secepat kerdipan mata. Untuk ini, sang jagoan McCall memang layak dibanggakan. Ia membunuh secepat kilat ular kobra mematuk korbannya: tanpa jejak dan clean.
The Equalizer lebih mirip kisah kehidupan manusia yang harus dibebat masa lalunya yang penuh darah dan kandas cinta. Namun tanpa diduga karena le regard dia memperoleh ‘élan vital’nya kembali: gairah hidupnya mulai bersemi lagi. Teri menjadi penyeimbang kehidupan eksistensial McCall yang dirundung kesendirian dan agnotisisme.
Kedamaian hidup yang kini membuncah ria di dalam hatinya mesti dia raih, sekalipun untuk itu dia harus masuk arena gelut bau anyir darah melawan jaringan komplotan mafia Rusia. Seperti kata pepatah lama si vis para bellum, maka bagi Robert McCall hanya ada satu adagium yang berlaku bagi munculnya sang ‘ élan vital’ itu: bersiapkan untuk perang dulu guna kemudian meraih cinta dan perdamaian.***
Baca juga Resensi Film: “Dracula Untold”, Kejamnya Dracula tak Sesedih Kisahnya

Popular Posts