Resensi Film: Robin Williams: Gila dan Masuk RS Jiwa, Awalnya Mau “Bunuh Diri” tapi Malah Jadi “Dokter” Jiwa
KISAH menarik dari sosok aktor peraih Oscar Robin Williams (63) bisa disimak dari dua sisi kehidupannya. Di panggung layar lebar, sosok Robin Williams adalah figur publik yang menonjol dalam kelucuannya. Ia menyebar virus positif dalam hidup ini: antuasiasme tinggi, sedikit easy-going, dan selalu berpikiran positif.
Namun, sejatinya dalam keseharian hidup Robin Williams menyimpan ‘bara’. (Baca juga: Aktor Peraih Oscar Robin Williams Bunuh Diri)
Itu tak lain adalah kesunyian hidup dimana di antara gelimangan harta dan popularitas nama besar di jagad hiburan, Robin Williams ternyata seorang solitaire. Dalam kesendiriannya, ia menemukan dirinya teronggok tak berdaya menghadapi hari-hari penuh depresi.
Ketika harapan sudah tidak lagi berkenan menancap kuat di alam kesadarannya, maka ia putus asa.
Ditambah dengan ketergantungan obat yang akut, maka putus harapan dan niat mengakhiri ‘kesendirian’ itu makin memuncak. Pergumulan batin ini mencapai klimaksnya dengan ‘keputusan’ mendadak yakni mengakhiri hidupnya dengan jalan pintas: bunuh diri.
“Dr Patch Adams”
Sesungguhnya, sosok kegilaan seorang manusia tampil cermerlang dalam sebuah film lawas berjudul Patch Adams. Sang pemerannya tak lain adalah Robin Williams. Ia gila dan harus masuk RS Jiwa untuk menyembuhkan kegilaannya. Namun tak dinyana, dalam kegilaannya dia malah menemukan ‘ilham’ besar yakni menyembuhkan sesama pasien gila di RS tersebut dengan membangun harapan.
Berikut ini adalah tulisan lawas saya yang pernah muncul di Kompas akhir Desember tahun 1998. Sebuah resensi film yang saya kerjakan atas film Patch Adams, besutan Tom Shadyac.
Senyum menyembuhkan jiwa
Melawan suatu sistem yang telah mapan selama bertahun-tahun, membutuhkan perjuangan yang seakan tak ada habisnya. Apalagi bila mereka yang berada dalam sistem tersebut merasa senang dengan posisi yang diperolehnya berkat sistem itu. Mereka akan berusaha keras mempertahankan sistem itu, meski mungkin mudaratnya lebih banyakdaripada manfaatnya.
Dalam kondisi seperti itulah, Hunter “Patch” Adams (Robin Williams) justru menemukan arah hidupnya.
Film Patch Adams diawali dengan kebingungan Adams akan tujuan hidupnya. Merasa tak ada gunanya hidup, ia berniat bunuh diri. Hasrat itu urung dilakukannya, Adams memilih masuk rumah sakit jiwa (RSJ) yang diharapkannya bisa menolongnya.
DI RSJ, Adams menemukan suasana yang lain. Dokter yang diharapkan mau mendengar keluhan dan membantunya, ternyata hanya melihat si pasien dengan sebelah mata. Dokter adalah orang yang berkuasa atas nasib pasiennya. Rasa tak dihargai menimbulkan kesadaran baru pada diri Adams. Dengan caranya sendiri, Adams malahan bisa membangkitkan rasa percaya diri rekan sekamarnya yang mengidap “penyakit” takut terhadap bajing.
Caranya, Adams menempatkan diri sebagai si penderita, ia memberikan empatinya. Ia berpura-pura menembaki para bajing dan minta rekannya mengisi amunisinya. Permainan ini menenangkan hati rekan sekamarnya, membuatnya tak takut lagi pada bajing khayalan. Adams pun menemukan pencerahan, ia tahu posisinya dalam kehidupan ini: membantu pasien dengan empati.
Film berlatar belakang akhir tahun 1960-an dengan pendekatan drama komedi ini bergulir dengan keputusan Adams menjadi dokter. Ia menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Virginia. Tingkahnya dianggap aneh, meski sifat universal sebagai makhluk sosial tetap dimilikinya seperti jatuh cinta pada Carin (Monica Potter), rekan sekuliahnya; membutuhkan teman yang seide dengannya, Truman (Daniel London), dan orang yang membencinya Mitch (Philip Seymour Hoffman).
Adam dianggap aneh, karena sebagai mahasiswa kedokteran ia tak menjaga wibawa calon dokter, “orang yang berkasta” lebih tinggi dari pasiennya. Padahal tata nilai itu sudah mapan selama bertahun-tahun. Tingkah Adams yang selalu berusaha menyenangkan hati pasien–misalnya menjadi badut dan mengajak bermain pasien anak-anak–mengganggu Walcott (Bob Gunton), dekannya.
“Kalau ingin menjadi badut, segera bergabung dengan kelompok sirkus, jangan sekolah di fakultas kedokteran ini,” kata Walcott kepada Adams. Walcott geram dengan metode penyembuhan Adams, karena di mata dekan sekaligus direktur rumah sakit yang “super feodal” itu, metode tersebut melecehkan profesi dokter.
Sementara menurut Adams, memancing fantasi pasien dan mendorongnya mendapatkan kegembiraan, berpengaruh positif pada kesembuhan pasien. Itu pun menjadi salah satu tugas dokter, di samping memberi perawatan medis. Keyakinan Adams bahwa tingkah dokter yang “menjaga jarak” dengan pasiennya tak membantu penyembuhan, coba dibuktikannya lewat banyak adegan yang mengundang tawa.]
Pertentangan antara sistem yang mapan dan Adams serta rekan-rekannya di sisi lain terus berlangsung. Beberapa upaya dilakukan Walcott untuk mengeluarkan Adams dari fakultas yang dipimpinnya.
Sementara Adams menerapkan metode dengan mendirikan rumah sakit di tanah milik seorang rekannya sesama pasien RSJ. Ia tak gentar walau Walcott berhasil “membawanya” ke sidang Dewan Kehormatan Medik Universitas Virginia.
Film ini diangkat dari kisah nyata yang ditulis dalam buku berjudul Gesundheit: Good Health is a Laughing Matter (1983), karya Hunter Doherty Adams dan Maureen Mylander. Film arahan sutradara Tom Shadyac (karyanya yang lain Ace Ventura: Pet Detective, The Nutty Profesor, Liar Liar) ini, skenarionya ditulis Steve Oedekerk.
Dalam kehidupan nyata, orang semacam Hunter “Patch” Adams jarang bisa ditemukan.
Orang yang nyaris mengesampingkan semua kepentingan pribadinya demi orang banyak. Film yang mulai beredar akhir Desember 1998 ini, di AS termasuk box-office. Dalam sepekan pertama pertunjukkannya, Patch Adams meraih sekitar 25,3 juta dollar AS. Pendapatan ini naik menjadi 65,5 juta dollar seminggu kemudian.
Kredit Foto: Film Patch Adams yang dibintangi Monica Potter dan Robin Williams, berkisah tentang usaha “menumbangkan” tata nilai yang mapan, dengan pendekatan drama komedi. (Courtesy of Universal Studios)***
Baca juga Resensi Film: “God’s Not Dead”, Apologetik Anak Ingusan
Baca juga Resensi Film: “God’s Not Dead”, Apologetik Anak Ingusan