Resensi Film: “God’s Not Dead”, Apologetik Anak Ingusan

SIDANG  untuk Allah
“If God does not exist, then everything is permissible,” demikian Josh Wheaton mengutip kalimat milik novelis kondang Fyodor Dostoyevsky. Kalimat itu bagaikan pedang yang mematahkan semua serangan Radisson, dosen Filsafat.
Josh menjelaskan, “Bila semua perbuatan manusia diizinkan lalu semua perjuangan manusia yang mulia tiada berarti lagi.” Pun debat antara dia sebagai mahasiswa baru dengan Radisson sang dosen selama tiga kali pertemuan akan tak berguna.
Perdebatan antara dua orang ini diawali dengan penolakan Josh untuk membuat pernyataan “God’s Dead” sebagai bagian dari proses perkuliahan filsafat yang diampu oleh Radisson. Josh tidak mau mengingkari suara hatinya yang mengatakan Tuhan itu hidup dan memang ada.
Penolakan tersebut membuka episode debat tentang keberadaan Allah. Josh si pembela Allah ditantang oleh dosennya si pembunuh Allah untuk membuat antitesis God’s Dead. Perdebatan itu akan disaksikan oleh murid lainnya yang juga bertindak sebagai juri.
Harmonisasi iman dan pengetahuan
Selama menyimak film God’s Not Dead, para penonton diajak turut duduk bersama murid lainnya untuk menjadi juri dalam sidang apologetik (pembelaan iman). Penonton mendengarkan adu pendapat milik para ilmuwan baik yang atheis (tidak mengakui keberadaan Allah) maupun yang theis yang sama-sama mengusut keberadaan Allah.

Alasan-alasan dari dunia sains disuguhkan seperti pendapat Darwin tentang asal mula kehidupan (evolusi) dan Stephen Hawking dengan teori big bang-nya. Penonton akan merasakan bahwa debat tentang keberadaan Tuhan Allah bukan hanya didekati lewat pewahyuan tetapi juga lewat ilmu pengetahuan. Josh si pembela Allah ini mengharmonikan Kitab Suci dan ilmu pengetahuan untuk memenangkan debat (fides et ratio).
Penganiayaan intelektual
Film God’s Not Dead sebagaimana ditulis pada bagian akhir film ini, diinspirasikan oleh sejumlah kasus yang terjadi di perguruan tinggi di Amerika dimana campus ministry berhasil menghimpun data adanya tekanan bagi orang Kristen.

Inilah sisi lain dari negara Amerika, yang senantiasa dianggap negara nomor 1 dalam berdemokrasi, menjunjung tinggi hak kebebasan, dan berpendidikan. 80% orang Amerika mengidentikan dirinya sebagai orang kristiani. Menurut Scoot Foundas, pengamat film dari USA, film God’s Not Dead hendak melukiskan penganiayaan orang kristiani di wilayah akademi.
Terdapat bentuk lain dari penganiayaan kepada orang beragama yang disebut penganiayaan pikiran (intelektual). Jenis penganiayaan ini sangat berbeda dengan penganiayaan fisik seperti yang dialami oleh penganut agama Kristen Katolik dan Islam Syiah di Irak, Syria atau Nigeria. Penganiayaan intelektual terjadi dengan menghancurkan sistem keyakinan iman lewat rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Akibatnya penganut agama akan merasa dirinya sebagai seorang irasionalis.
Maka fenomena penganiayaan pikiran dalam dunia akademi merupakan ironisme dari demokrasi dan kebebasan beragama di Amerika. Amerika di satu sisi menyuarakan kebebasan (liberalisasi) tetapi di sisi lain secara represif menolak agama. “Agama dianggap sebagai virus yang merusak pikiran masyarakat,” kata Radisson ketika berargumen dengan Josh.
Ateis sebagai pelarian
Mata penonton juga akan terbelalak ketika mengetahui alasan mengapa Radisson begitu getol menolak eksistensi Allah. Film ini perlahan-lahan mengerucut pada latar belakang dosen. Ia menyuarakan kematian Allah karena pengalaman trauma. Ia meragukan keberadaan Allah karena kebencian yang tumbuh dalam dirinya.

“Tuhan telah mengambil semua yang sudah saya miliki. Ya, saya membenci Tuhan. Apa yang saya punya hanyalah kebencian.” Radisson meluapkan amarahnya di muka kelas.
Radisson, yang memiliki masalah juga dalam perkawinan dengan istrinya, merupakan sosok pribadi yang mewakili mereka yang mencari pembenaran atas kebencian yang dimiliki dengan rasionalitas dan menuduh Tuhan sebagai sebab musabab kesedihannya.
Memang demikian, di jaman ini banyak orang membutuhkan alasan rasional untuk tidak lagi berurusan dengan Tuhan.

Free will
Film buah produksi Pure Flix Entertainment ini sebenarnya bukan melulu berisi perdebatan antara Josh dan Radisson. Terdapat beberapa persoalan dari tokoh-tokoh lain yang mengupas eksistensi Allah.

Ada kisah kehidupan seorang blogger ternama yang diserang kanker. Malangnya, di saat tersebut tiada satu orang pun yang menemaninya, tidak juga pacarnya. Ia berat menerima kenyataan bahwa dia akan segera mati. Kemudian ia menemukan Newsboys, band rock Kristen. Ia didoakan oleh anggota band sehingga ia tahu bahwa tidak sendiri, ada Yesus yang bersamanya.
Ada kisah gadis keturunan Arab yang diam-diam jatuh hati kepada Yesus. Demi pilihannya untuk mencintai Yesus, ia diusir oleh ayahnya. Ada kisah istrinya Radisson yang tersadarkan akan pentingnya perhatian kepada ibunya yang tengah sakit tua. Sementara relasinya dengan sang suami yang terancam karam mendorongnya untuk berkonsultasi pada pendeta.
Akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan suaminya.
Ada Martin Yip yang dikirim oleh ayahnya dari China ke USA agar menjadi sukses. Ia akhirnya mengambil keputusan untuk percaya, “God’s not dead”. Ada kisah pendeta Dave yang senantiasa ragu dengan karya Tuhan. Akhirnya diteguhkan lewat pengalaman mobil yang ngadat bahwa Tuhan selalu baik.
Semua tokoh dan pergumulannya memiliki kunci yang sama, yakni berani mengambil keputusan untuk memilih Tuhan. Percaya berarti memilih untuk memiliki hidup yang bermakna. Percaya memberi visi hidup bahwa semua perjuangan manusia bukan sekedar spekulasi. Semua itu mengalir pada sang tujuan yakni Allah.
Setelah menyaksikan film ini, penonton ditantang untuk berani membuat pilihan: “God’s Dead” atau “God’s not dead”. Pilihan ini akan sangat menentukan perjalanan hidup Anda di dunia ini. Selamat memilih.***
Baca juga Resensi Film: “A Long Way Down”, Komunitas Hati yang Terluka

Popular Posts