Resensi Film: “A Long Way Down”, Komunitas Hati yang Terluka

FILM A long Way Down menyuguhkan 4 tokoh penting dengan berbagai karakter berbeda-beda. Mereka adalah:
  • Martin (Pierce Brosnan) mantan penyiar terkenal. Karirnya kemudian runtuh karena tidur dengan wanita di bawah umur. Ia tampil seolah-olah selebriti hebat, glamour dan narsis. Namun sesungguhnya dirinya dikuasai oleh perasaan direndahkan. Harga dirinya sudah rusak.
  • Maureen (Toni Collette) adalah seorang ibu yang berwajah kuper (kurang pergaulan). Sehari-hari ia mendedikasikan waktunya untuk merawat anaknya yang disabled. Wanita paruh baya ini serba kaku. Ia digambakan hidup di lingkungan yang begitu sempit. Ia kesepian.
  • Jess (Imogen Poots) sebagai anak politisi tampil dengan karakter pembangkang dan menyimpan kekecewaan yang besar terhadap si ayah. Jess suka ngoceh bak burung dan penampilannya nyentrik.
  • JJ (Aaron Paul) semula menggeluti musik namun tidak sukses. Ia hidup dari satu mata pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Kurang suka humor. Hidupnya penuh kegagalan.
Pada malam tahun baru keempat orang tersebut datang ke tempat yang sama,di puncak gedung tertinggi di kawasan pencakar langit di London Topper’s Tower. Tujuannya pun sama, hendak mengakhiri hidup mereka. Alasan dasar mereka sebenarnya sama. Keempat pribadi tersebut tidak mampu menanggulangi perasaan mereka sendiri.
Bahaya individualisme
Gaya hidup yang individualis pada zaman ini meninggalkan tantangan berupa kesepian, kepalsuan dan kepedihan. Risiko individulisme ialah menjauhkan orang dari komunitas atau grup yang sebenarnya berpotensi untuk menyembuhkan syntom perasaan dari individualisme.

Film A Long Way Down memberi inspirasi para penonton untuk membuat komunitas “korban perasaan” atau “hati yang terluka”. Melihat kenyataan risiko individualisme yang mengakibatkan frustasi dan keputusan nekad bunuh diri, komunitas “seperasaan” semacam Martin, Maureen, Jess dan JJ sangat berguna. Bagi mereka yang memiliki perasaan kesepian, hidup dalam kepalsuan dan kepedihan sebaiknya saling berkumpul dan berbagi perasaan.
Kesadaran bahwa “aku membutuhkan teman” untuk berbagi sangat kental dimunculkan dalam film. Keempatnya pun kemudian tahu untuk urusan perasaan yang menguasai mereka, tidak mungkinlah dapat dihadapi tanpa bantuan teman lain. Syukur-syukur mereka dapat saling menyembuhkan atau setidaknya melengkapi ketidaklengkapan tersebut.
Pada penghujung film penonton dibawa kembali ke Topper’s Tower untuk meneguhkan peran teman dalam mengobati “hati yang terluka”.
Novel
Film A Long Way Down diangkat dari sebuah novel karangan Nick Hornby. Setelah menyimak filmnya maka kisahnya sederhana, memiliki rasa humor, dan jelas alurnya.

Penonton akan mudah menghubungkan judul dengan pesannya. Perjalanan turun dari Topper’s Tower alias bunuh diri dengan terjun ke bawah bukanlah sekedar perjalanan beberapa detik. Ini merupakan perjalanan panjang dari kisah kehidupan seseorang. Inilah perjalanan seseorang yang bergulat dengan persoalan hidup sampai pada titik tertentu, buntu.
Akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tetapi semua berubah ketika ditemukan komunitas hati yang terluka.***
Baca juga Resensi Film: “Lucy”, Keampuhan Daya Pikir Manusia

Popular Posts