Resensi Film: “The Calling”, Ritual Pembebasan
INI tentang pembunuhan berseri. Cukup menegangkan film The Calling (2014) ini. Rentetan pembunuhan yang tak wajar sontak menggemparkan pihak kepolisian di kota kecil Fort Dundas. Ada korban yang lehernya digorok. Korban lain isi perutnya dikuras. Ada pula yang punggungnya disiram dengan air panas.
Semua korban rata-rata memiliki indikasi yang sejenis. Mereka memiliki penyakit terminal dan berhadapan dengan maut. Wajah korban pun mengekspresikan kesakitan yang amat sangat saat ditemukan telah tewas.
Pembunuhan berseri ini mendorong pihak kepolisian untuk segera menangkap pelaku. Hazel Micallef (Susan Sarandon) sebagai kepala kepolisian di kota kecil tersebut mulanya mengalami kebingungan dalam memecahkan kasus ini. Namun agar rantai pembunuhan ini segera terputus, ia bersama detektif Rey Green (Gil Bellows) dan Ben, polisi yang lain kerja maraton memecahkan kasus ini.
Di tengah-tengah kemelut tersebut, muncul Simon (Christopher Heyerdah), lelaki berwajah ramah namun dingin. Simon memperkenalkan dirinya sebagai ahli pengobatan alternatif. Sambil bersabar mengikuti alur cerita, penonton dengan mudah dapat menebak bahwa Simon inilah sang pembunuh, kendati penampilannya terlihat saleh.
Pembebasan jiwa
The Calling bersibuk ria dengan penguraian benang kusut kasus ketimbang aksi berkelahi atau tembak menembak. Semakin menarik lagi ketika penonton mencium motif religius dari pembunuhan berseri ini.
Si pembunuh ternyata menganut aliran kuno dari tradisi mistik kristiani. Dalam aliran itu diyakini bahwa 12 kurban yang diberikan berturut-turut akan bisa membangkitkan orang yang telah meninggal.
Kepercayaan tersebut digunakan oleh Simon. Hal ini dapat dengan mudah dimengerti ketika penonton mengenal background-nya. Ia memiliki latar belakang katolik yang kental dan diasuh oleh Romo Price sejak kecil. Simon melakukan ritual pengorbanan dengan maksud menghidupkan saudaranya, Rafael yang telah meninggal.
Kesannya film ini memang magis dan berbau mistis. Keyakinan agama atau kelompok spiritual tertentu bisa menyesatkan penganutnya. Di tangan orang yang salah, apalagi tanpa tuntutan, keyakinan spiritual dapat mengakibatkan hal yang mengerikan seperti yang dimanifestasikan dalam diri Simon.
Bagi Simon, apa yang tengah ia lakukan dengan membantai orang-orang tersebut (yang ternyata secara rela memberikan jiwanya agar mengalami pembebasan dari penyakit terminal mereka) adalah jalan yang benar. Dengan lain kata, ini tak ubahnya tindakan euthanasia.
Bagi pihak kepolisian, kematian orang-orang tadi adalah petaka namun bagi Simon, kematian mereka itu tepat. Dalil justifikasinya ialah: Tuhan itu pengampun dan tidak menginginkan penderitaan. Oleh karenanya, Tuhan akan menerima persembahan berupa jiwa-jiwa yang dibungkus oleh tubuh yang menderita tadi.
Hiburan misteri
Yang menarik dari The Calling ialah jarang-jarang pemeran utama detektif adalah wanita. Susan, pemeran utama, mampu memuaskan penonton dengan kemampuan aktingnya yang di satu sisi menampilkan “hero” tetapi di sisi lain bergulat dengan ketergantungan akan obat penenang dan alkohol untuk mengatasi kekeliruan masa lalunya.
Selain itu, ketegangan dalam film ini bukan lantaran efek musik yang berlebihan seperti film horor lainnya atau suasana kota yang mati dan mencekam, atau juga bukan lantaran cara membunuh Simon nan sadis yang dipertontonkan. Tetapi The Calling dapat membimbing penonton untuk menemukan motif religius di balik pembunuhan.
Sungguh, The Calling selama 108 menit bisa menjadi hiburan bagi mereka yang suka film bernafaskan detektif dan misteri.***
Baca juga Resensi Film: Robin Williams: Gila dan Masuk RS Jiwa, Awalnya Mau “Bunuh Diri” tapi Malah Jadi “Dokter” Jiwa
Baca juga Resensi Film: Robin Williams: Gila dan Masuk RS Jiwa, Awalnya Mau “Bunuh Diri” tapi Malah Jadi “Dokter” Jiwa