Resensi Film: "Disconnect" Hidup tanpa Solusi
FILM drama yang berdurasi 115 menit ini dijamin akan membuat penonton tidak akan jemu untuk menikmati setiap gerak-gerik dalam adegan Disconnect. Selain mengangkat potret kehidupan di jaman teknologi komunikasi, film ini menjadi semakin menarik karena didukung oleh aktor-aktris yang punya karakter kuat.
Lihat saja Jason Bateman si penyabet Golden Globe 2004 untuk pemeran terbaik; Frank Grillo (Captain American 2, Thirty Dark Zero, danGangster Squad); Paula Patton (Mission Impossible: Ghost Protocol); serta beberapa tokoh lain seperti Michael Nyqvist, Jonah Bobo dsb. Tokoh-tokoh tersebut mampu menciptakan gambaran konkret dari impian Henry Alex Rubin sang direktor film tentang kacau dan rumitnya hubungan antar pribadi di jaman teknologi canggih ini.
Cara berkomunikasi yang difasilitasi oleh Blackberry dan Apple sama-sama berujung pada tragedi. Kecanggihan Facebook, Instiagram, sex online, dan judi online dalam film ini membawa empat kisah yang berbeda kepada kenyataan bahwa di jaman ini kehidupan seseorang tak dapat lagi dikontrol oleh pertemuan face to face, makan bersama dan proteksi dalam pergaulan.
Pasangan muda Cindy dan Derek semenjak kehilangan si bayi, mengalami kegaringan relasi sebagai suami istri. Tidur bersama, makan bersama, dan ngobrol bersama terasa dingin. Situasi ini mendorong masing-masing untuk mencari kompensasi. Si suami keranjingan game online sampai kehabisan uang. Si istri menikmati pelayanan chat online yang memberi rasa nyaman.
Lain kisah dengan Rich, seorang ayah dengan istri yang setia dan dua anak, dia berlari dengan kesuksesannya sehingga melupakan waktu guna memberikan kehangatan kepada anak-anak dan istrinya. Anak lelakinya, Ben, nyaris meninggal karena bunuh diri. Kenyataan tersebut mendorong Rich mereview relasinya yang banyak kali salah dalam memperlakukan anak-anaknya. Cinta sang ayah ternyata dipahami sebagai pedang yang melukai perasaan anak dan istrinya.
Lalu Mike dan anaknya, Jason, mengalami kemandekan relasi sehingga si anak menikmati kenakalan remaja dan fasilitas FB untuk melakukan bully yang menyebabkan temannya menggantung diri karena merasa dipermalukan. Ada bagian lain dari film ini yang mengangkat kehidupan sex online dari anak-anak remaja seperti ditampilkan dalam kisah Kyle dan Nina.
Semua kisah yang carut marut di atas diawali dengan fasilitas teknologi komunikasi. Permasalahan-permasalahan hidup para tokoh seolah-oleh mendapatkan tawaran solusi dari teknologi modern. Handphone dan internet mampu menciptakan dunia lain, surga atau pelarian.
Filsuf Jean Baudrillard menyebutnya ‘hyperreality’. Hyperreality itu dunia imaginer yang diciptakan oleh pribadi dengan impiannya. Dunia ini setiap saat dipelihara sehingga bagaikan jaringan sosial dalam masyarakat. Setiap pribadi di dalamnya merasa memiliki ikatan emosional kendati mereka mungkin fiktif atau penipu. Dunia ciptaan ini membuat orang merasa dirinya teraktualisasi.
Seperti dalam Disconnect, Ben, anaknya Rich merasa punya teman riil yakni Jessica. Padahal Jessica hanyalah tokoh ciptaan dari teman sekolah Ben. Mereka menciptakan tokoh Jessica untuk menggoda Ben. Ben merasa bahwa Jessica begitu perhatian padanya seperti terungkap dengan komen di FB atas lagu ciptaan Ben. Ben merasa makin hari Jessica semakin bisa mengambil hatinya. Sampai-sampai Ben mengupload foto telanjangnya untuk Jessica. Tetapi Jessica sama sekali tidak real. Dia hanyalah nama. Begitulah dunia yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi.
Di penghujung film, jaringan keruwetan yang diciptakan oleh setiap tokoh berusaha diurai tetapi tetap saja ruwet. Disconnect angkat tangan terhadap solusi. Tidak ada solusi dari keruwetan relasi ini karena menyingkirkan teknologi komunikasi adalah hal yang mustahil. Namun Disconnecthendak menyampaikan pesan bahwa di jaman teknologi ini, “semua bisa menjadi siapa”, “siapa bisa membuat apa saja”, dan “siapa bisa mengontrol semua”.
Penonton sudah tahu dunia yang dihadapinya. Keputusan untuk masuk dalam hyperreality adalah keputusan pribadi. Penonton diajak untuk melihat kenyataan ini. Silahkan setiap orang menentukan dirinya terhadap kehadiran teknologi internet dan komunikasi maya ini.
NB. Film ini sangat direkomendasi untuk para orang tua yang sedang mendampingi pertumbuhan anak-anaknya.***
Baca juga Resensi Film: “White House Down”: Lumpuh karena Ambisi, Bangkit berkat Penasaran
Baca juga Resensi Film: “White House Down”: Lumpuh karena Ambisi, Bangkit berkat Penasaran