Resensi Film: “The Wolf of Wall Street”, Menjadi Liar dan Vulgar karena Uang

SEBELUM membahas film ini, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu alam pikir sutradaraThe Wolf of Wall Street ini: Martin Scorcese.Lahir di kawasan Queens of New York dari keluarga tulen keturunan Italia, Martin hidup taat sebagai orang katolik semasa kecil. Alam pikir katolik inilah yang dia adopsi sebagai warga Amerika berdarah Italia dimana konsep dosa dan penebusan ikut mendominasi alam pikirnya.
Namun, karena hidup di New York tentu saja konsep dan pengalaman riil tentang kekerasan jalanan, hidup bebas, hedonism akan seks dan obat bius ikut memengaruhi bagaimana dia menjalani kehidupannya dan kemudian ‘melemparkan’ refleksi atas hidup dan skenario film ke dalam balutan seluloid.
Liar, vulgar dan apa adanya
Nyaris semua film Martin Scorcese banyak mengumbar dunia kekerasan, hawa nafsu, perang jalanan, dan seks serta obat bius.Ia menampilkan alam pikir serba profan itu apa adanya. Bahkan cenderung vulgar, liar, dan banale. Sebut saja Taxi Driver (1976), Raging Bull (1980), The Last Temptation of Christ (1988), Goodfellas (1990), Gangs of New York (2002) dan terakhir The Wolf of Wall Street (2014).
Dalam menampilkan rona kehidupan manusia yang ditandai dengan ciri banale, liar, vulgar, Martin Scorcese tidak tanggung-tanggung mengeksposenya secara terbuka. Adegan nge-seks, ngobat, pesta seks massal, masturbasi, dan menggunakan semua kosa kata kasar baik untuk makian dan pujian diberi kelonggaran luas oleh Martin Scorcesse dalam semua film-nya, tak terkecuali The Wolf of Wall Street.
Meski tetap katolik lazimnya orang Italia, namun Martin tak ragu menabrak Gereja dengan ekspose yang ekstrim tentang kekerasan. Termasuk menggambarkan secara liar dan brutal proses kematian Yesus di atas kayu salib yang membuat Vatikan berang dan publik penonton ciut nyali ketika menyaksikan Yesus sepertinya dipaku beneran di atas kayu salib. Ia liar dalam menafsirkan realitas sosial yang dia alami, pikirkan dan hayati dan kemudian –sekali lagi—‘melemparkan’ semua itu ke dalam seluloid film.
Uang adalah raja
Bagi saya, The Wolf of Wall Street yang dibesut Martin Scorcese juga tak pernah jauh dari ‘cirikhas’nya sebagai sutradara liar dalam mengekspose dunia manusia yang ditandai dengan ciri gampang menjadi tamak karena uang, rakus karena juga uang, haus kuasa, cinta seks dan heroin, serta yang tak boleh ketinggalan: ingin menjadi ‘raja’ atas dunia.
Jordan Belfort (Leonardo diCaprio) adalah ciri-ciri manusia New York dengan karakter tamak, rakus, hedonis, cinta seks dan heroin, dan sangat ambisius meraih ‘tahta’ menjadi raja dunia. Ambisinya ke situ dia jalani melalui perusahaan pialang saham bernama Stratton Oakmont yang dia dirikan awalnya dari sebuah garasi kecil dan kemudian bertengger megah di gedung bertingkat. Demi meraih sukses, dia tak ragu ‘menggoreng’ harga saham, tentu saja disertai dengan banyak ngibul sana-sini.
Mengikuti cara pikir Freud, Jordan menuruti anjuran mentornya Mark Hanna (Matthew McConaughey) yang membujuknya agar pandai-pandai meramu seks dan kokain sebagai pendorong syahwat untuk memuaskan nafsu akan uang, kekuasaan, dan pengaruh. Ternyata, Jordan sukses menggunakan nafsu hedonisme itu sebagai ‘driving force’ yang membuatnya tangguh, ambisius, tidak pernah ragu, dan urakan serta rewel kalau keingannya tidak kesampaian. Kalau tengah fly dan rewel, maka empat kata dalam bahasa Inggris dengan gampang meluncur dari bibirnya. Juga, semua karyawan Stratton Oakmont pun ikut dalam barisannya: kasar, liar, ambisius, vulgar dan jorok dalam kata-kata.
The Wolf of Wall Street besutan Martin Scorcese dengan sendirinya mengumbar banyak kata-kata kasar, jorok, ekspose berlebihan atas nafsu seks (masturbasi, cuninglingus, fellatio) hingga konon ada kabar film ini kena jarring sensor di sejumlah negara. Bahkan catatan Hollywood sendiri mengatakan, kosa kata empat huruf yang paling jorok dalam bahasa Inggris mencatat angka paling tinggi dalam sejarah perfilman Amerika.
Nah, segala biang banale, liar dan vulgar soal kekerasan dan seks maka Martin Scorcese adalah salah satu contohnya. Maka film The Wolf of Wall Street harus dibaca dalam konteks besar ini.
Dengan durasi 2,5 jam, maka The Wolf of Wall Street sebenarnya merupakan sebuah film yang teramat membosankan. Intinya hanya satu: manusia gila uang, seks, kuasa, dan pengaruh. Jordan Belfort berhasil mendapatkan itu di Wall Street dan kemudian membangun kerajaan bisnisnya sendiri yakni Stratton Oakmont.
Tapi, The Wolf of Wall Streetmenjadi indah dan menarik kalau ditonton dalam perspektif alam pikir Martin Scorcese yang dalam semua filmnya cenderung menampilkan realitas manusia apa adanya. Termasuk sisi-sisi gelapnya yang jarang tampil liar ke public yakni nafsu seks, foya-foya dengan kokain, dan berebut pengaruh melalui kuasa uang. Persis di sini, The Wolf of Wall Street menjadi menarik karena bicara hidup manusia yang seratus persen dikendalikan oleh uang.
Mengumbar syahwat sensasional
Wall Street –pusat pasar busa Amerika dan menjadi kompas untuk perdagangan saham seluruh dunia—berhasil dikangkangi Jordan Belfort. Suksesnya merebut pasar saham di Wall Street dengan membabi buta tanpa ampun membuatnya dijuluki ‘Wolfie’ —serigala haus darah, seks, dan uang. Ternyata Jordan sangat menikmati prestise sosial ini.
Karena itu, dia juga tak sungkan mengumbar sensasi, termasuk di depan ratusan anak buahnya di Stratton Oakmont. Jordan sungguh tak ragu melemparkan jam tangan seharga 42 ribu dollar sebagai hadiah spontan ke arah kerumunan orang di kantor. Dia juga tak ragu menghadirkan puluhan pelacur untuk masuk ke kantornya sebagai entertainment dalam sebuah pesta seks (orgy) manakala target meraup untung berhasil dia lakukan. Bahkan, singa pun dia biarkan jalan-jalan di kantornya. Sungguh, sebuah hidup jumawa yang vulgar dan liar karena uang.
Uang itu pula yang membuat kawan-kawan dekatnya merapat erat ke Jordan Belfort, sejak pemuda ini berangan-angan mendirikan firma pialang saham sendiri. Donnie Azoff (Jonah Hill) dia rekrut, baru kemudian menyusul kawan-kawan lainnya yang umumnya hidup akrab dengan dunia kokain, mariyuana, pelacuran, dan seks bebas. Uang itu pula yang membuat agen FBI Patrick Denham (Kyle Chandler) menguntitnya hingga memaksa masuk ke Naomi –yacht mewah—yang dia banggakan sebagai rasa cinta kepada Naomi Lapaglia (Margot Robbie), perempuan sensual yang dia nikahi setelah mencampakkan Teresa (Christin Milioti) yang dia juluki “Perempuan Buruk Muka”.
Kembali ke titik nadir
Di ujung cerita, Jordan Belfort jatuh miskin usai mendekam beberapa tahun di penjara negara bagian. Tidak jelas betul, dana jutaan dolar yang berhasil dia parkir di sebuah bank Swiss atas nama tante dari pihak istrinya berhasil dia tarik kembali. Namun, dari kisah tenggelamnya kapal pesiar Naomi dalam perjalanan menuju Italia dan Genewa, rasanya dana jumbo itu tak berhasil dia raih kembali.
Karena itu, dia tampil berhasaja dan kini hanya ‘bisa menjadi’ seorang motivator. Namun, naluri bisnisnya tetap eksis di tangannya, ketika dengan sangat pede-nya dia menguji kecerdasan audiensnya dengan pertanyaan: “Ayo, carikan strategi bagaimana Anda bisa menjual pulpen ini kepada saya?”.
Jordan Belfort berhasil meraih tahta, kekuasaan, uang dan seks karena pintar ‘menciptakan’ kebutuhan. Ia benar-benar seorang ahli marketing: berhasil menciptakan ‘demand’ dan kemudian mengeksekusi kebutuhan (demand) itu dengan sebuah tawaran riil yakni berinvestasi. Layaknya bunglon, maka Jordan pun menyusup diri menjadi salesman: menawarkan jasa layanan pialang saham.
Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, maka Jordan Belfort pun jatuh juga. Usai berhasil merebut duit 22 juta dolar hanya dalam hitungan jam, Jordan menjadi target incaran FBI. Dan malang nian nasib Jordan Belfort, ketika akhirnya harus hidup di balik bui dan kemudian merintis karir awal baru –kini sebagai motivator.***
Baca juga Resensi Film: “Jack Ryan: Shadow Recruit”, Hanya yang Berani dan Pintar Laku bagi CIA

Popular Posts