Resensi Film: “Munich”, Mengejar Target Operasi tanpa Ampun
MUENCHEN atau Munich dalam bahasa Perancis berduka, ketika 11 atlet berikut official Israel peserta Olimpiade Musim Panas di kota Jerman tahun 1972 dibantai oleh kelompok Baader Meinhof yang berafiliasi dengan PLO. Insiden terorisme ini mengguncang Tel Aviv.
Perdana Menteri Israel waktu itu Ny. Golda Meir memberi lampu hijau dilakukannya Operation Wrath of God yang dikendalikan dinas rahasia Mossad untuk mengejar para teroris pembantai atlet dan official Israel di Olimpiade Munich.
Dikenal luas sebagai Tragedi Black September, dinas intelijen Israel Mossad mengutus agennya Avner Kaufmann (Eric Bana) untuk mengejar para pelaku terorisme di Munich ini. Kata PM Israel Golda Meir saat memimpin rapat gabungan untuk misi rahasia ini: “Kini saatnya biar mereka tahu betapa mahalnya nyawa seorang warga negara Israel”.
Avner pun langsung melesat ke Jenewa (Swiss), meninggalkan istrinya yang tengah hamil tua, untuk mengambil deposit jutaan dolar AS –simpanan Mossad— guna mewujudkan operasi rahasia arahan PM Golda Meir dan kepala operasi Mossad Ephraim (Geoffrey Rush). Tugasnya adalah menjejak keberadaan para teroris Olimpiade Munich yang dianggap bertanggungjawab atas Tregedi Black September.
Empat orang agen Mossad di Eropa dan Afrika sudah menunggu kedatangan Avner. Mereka adalah Steve (Daniel Craig), Robert (Mathieu Kassovitz), Carl (Ciaran Hinds), dan Hans (Hanns Zischler). Bersama ke-4 pendukung ini, Avner berjibaku memburu dedengkot pencetus dan pelaku terorisme Olimpiade Munich sampai ke Paris, Athena, Lebanon, London, dan Spanyol.
Antara tugas negara dan moralitasnya sebagai seorang ayah dan bapak seorang anak yang harus melindungi keluarga, inilah dilema kebatinan Avner Kaufmann dalam mengemban Operation Wrath of God ini.
Untuk pecinta film lawas dengan kisah heroik seputar dunia intelijen Israel, Munich adalah jaminan mutu. Bukan hanya tokoh-tokoh besar di jajaran pemerintahan dan organisasi militer Israel yang tampil menawan di sini; lebih dari itu Munich juga menggambarkan betapa rumitnya konstelasi konflik politik dan bersenjata (waktu itu) antara Israel dan PLO.
Bagaikan kucing dan angjing, kedua bangsa ini saling mengincar kelemahan masing-masing untuk kemudian menyusup masuk ke dalam dan lalu ‘meledakannya’. Bahwa akhirnya berhasil dicapai kesepakatan damai antara Israel dan Palestina yang difasilitasi oleh Washington, namun nyatanya konflik politik antara Palestina dengan Israel tetap saja eksis sampai sekarang.
Film Munich hasil besutan sutradara Steven Spielberg hanyalah sebuah nohtak kecil dari sejarah panjang berdarah-darah tentang konflik Israel dan Palestina itu.
Film ini menjadi kontroversial, karena insiden Black September di Munich tahun 1972 dipandang dari perspektif Israel. Dengan sendirinya, para pelaku Black September ini dianggap kelompok teroris oleh pihak Tel Aviv; namun orang-orang yang sama pastilah dianggap pahlawan besar oleh PLO karena berhasil menyusup masuk ke perkampung atlet dan official Israel dan kemudian ‘melenyapkannya’.
PLO –kini Palestina— dengan Israel adalah hari-hari panjang tentang perebutan wilayah strategis di Timur Tengah, termasuk Yerusalem. Film Munich produksi tahun 2005 hanyalah riak-riak kecil dari rentetan panjang kisah rebutan wilayah strategis di Timur Tengah itu.***
Baca juga Resensi Film: “Argo”, Mengecoh Revolusi Iran dengan Film Abal-abal
Baca juga Resensi Film: “Argo”, Mengecoh Revolusi Iran dengan Film Abal-abal