Resensi Film: “Argo”, Mengecoh Revolusi Iran dengan Film Abal-abal

NOVEMBER 1979, Ibukota Teheran di Iran dalam sekejap menjadi momok menakutkan untuk sekalian warga AS dan terutama para diplomat dan staf lokal di US Embassy. Waktu itu, mantan penguasa Iran yakni Shah Iran Mohammad Reza Pahlavi tengah sakit keras di tanah pengasingannya di Mesir sembari tetap mencoba mendapatkan visa  suaka politik di AS. Sementara, beberapa bulan sebelumnya, Teheran menyambut gembira  kembalinya pemimpin kharismatik Ayatollah Khomeini ke Iran setelah hidup bertahun-tahun dari pengasingannya di Paris.
Di tengah euforia melawan hegemoni AS dan gairah menggelorakan Revolusi Iran, maka gelombang  demonstrasi yang digelorakan oleh para mahasiswa radikal Iran menjadi  semakin tak terbendung.
Kembalikan Shah Iran Reza Pahlevi ke Teheran untuk bisa diadili secara publik. Demikian bunyi tuntutan kaum demonstran radikal yang dalam sekejap lalu mulai merangsek masuk ke areal steril Kedubes AS di Teheran. Sejurus kemudian, terjadilah tragedi besar di panggung dunia diplomasi internasional yang paling memalukan dalam sejarah: 50 staf Kedubes AS di Teheran menjadi sandera kaum demonstran selama 444 hari.
Hanya beberapa  menit sebelum gedung Kedubes AS di Teheran diterjang arus demonstrans dan dikuasai mereka, 6 orang staf CIA berhasil keluar menyelamatkan diri melalui pintu samping. Mereka menuju beberapa blok di dekatnya untuk mencari selamat, namun Kedubes Inggris dan Kedubes Selandia Baru menolak kehadiran mereka. Akhirnya, di tangan Kedubes Kanada nyawa mereka untuk sementara waktu bisa diselamatkan.

Dubes Kanada Ken Taylor (Victor Garber) berani mengambil risiko.  Ke-6 staf CIA ini akhirnya “diamankan” di rumah kediaman resmi Dubes Kanada di Teheran.

Minus malum
Di antara sekian opsi untuk menyelamatkan 6 staf CIA yang bersembunyi di residensi Dubes Kanada di Teheran dari kejaran para demonstran anti AS ketika bergelora bibit-bibit Revolusi Iran tahun 1979, ternyata membuat skenario film abal-abal menjadi pilihan yang terbaik di antara sekian opsi terburuk.

Prinsip minus malum inilah yang diambil oleh Tony Mendez (Ben Affleck). Idenya terbetik setelah tanpa sengaja ikut menonton film Battle for the Planet of the Apes dan sejak itulah projek super rahasia membuat skenario film abal-abal dengan judul Argo mulai dikerjakan.

CIA dan Deplu AS mendukung projek rahasia dengan target utama: menjemput pulang ke-6 “sandera” staf CIA yang bersembunyi di rumah Dubes Kanada tersebut.
Untunglah atasan Tony bernama Jack O’Donnel (Bryan Cranston) mendukung projek ini dan di Hollywood projek super rahasia ini mendapat sokongan moril dari John Chambers (John Goodman) dan Lester Siegel (Alan Arkin).

Menyaru diri sebagai produser filmArgo, Tony Mendez berhasil menyelinap masuk ke Teheran setelah sebelumnya mampir ke Istanbul di Turki untuk mendapatkan briefing teknis mengenai penyusupan ke Iran. Sesampai di Teheran, Tony sepertinya berburu dengan waktu karena tokoh-tokoh demonstran radikal anti AS mulai mengumpulkan  kembali serpihan-serpihan kertas yang telah dirajang oleh agen-agen CIA untuk melenyapkan aneka dokumen dan arsip super rahasia persis sebelum Kedubes AS diduduki para demonstran.

Di sini waktu bukan lagi emas. Tapi urusan nyawa karena anak-anak sekolah di Teheran nyaris berhasil menyatukan lembaran-lembaran sobekan kertas untuk merangkai kembali puzzle mencari wajah asli dari ke-6 staf CIA. Persis di ujung waktu, tiba-tiba saja Gedung Putih melalui Pentagon malah merestui opsi misi penyelamatan militer untuk membebaskan para sandera dari kepungan para mahasiswa radikal Iran.

Namun Tony Mendez mengambil sikap “tak mau taat”. Dia terus dengan rencana semula: membawa ke-6 sandera politik itu keluar dari residensi Dubes Ken Taylor melalui bandara. Dan ia berhasil. Apalagi, opsi operasi militer akhirnya juga menemui kegagalan lantaran 2 heli Delta Force tabrakan di udara karena dihantam badai pasir.

Dubes Kanada Ken Taylor bersama istrinya juga pergi meninggalkan Teheran demi keselamatan. Pun pula pembantunya nekad menyeberang ke Irak, setelah sebelumnya sempat berbohong mengelabuhi para loyalis Revolusi Iran.

Film Argo ini menjadi indah dan dahsyat karena “dibungkus” oleh peta politik Iran pasca runtuhnya Shah Iran Mohammad Reza Pahlevi dan menjelang mengemukanya Revolusi Iran oleh Ayatollah Rohullah Khomeini. Tanpa balutan peta politik ini, Argo bisa menjadi film bisu.

Justru gelombang demo besar anti Shah Iran dan kedatangan Khomeini membelah gelora anti AS di Teheran menjadi pembuka film ini, maka Argo seperti mendapatkan rohnya sebagai film politik dengan bungkusan tema besar operasi intelijen super rahasia yang dramatis.  Maka juga tidak mengherankan, di tengah sikap dikhotomi anti dan pro Iran yang membelah dunia politik saat ini, maka Argo sepertinya mendapatkan dukungan positif dari para awak media di AS.

Satu pihak, tampilnya Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad saat ini yang dikenal sangat  anti AS dan suka membuat statement “luar biasa” seperti Israel harus dilenyapkan dari peta dunia telah membawa simpati bagi semua gerakan anti hegemoni AS. Ahmadinejad menjadi simbol pahlawan –seperti juga Fidel Castro dari Kuba dan Hugo Chavez dari Venezuela— dari Dunia Ketiga melawan Barat.

Namun sisi lain, Ahmadinejad juga menjadi “bulan-bulanan” kecaman pihak Barat karena komentar-komentarnya yang sinis terhadap Israel dan AS. Karena itu, menurut pandangan Barat, Ahmadinejad yang konon juga termasuk geng mahasiswa radikal dan ikut menyerbu Kedubes AS di Teheran tahun 1979 itu layak “dihabisi” karena dianggap potential berbahaya bagi kepentingan AS dan sekutunya di Timur Tengah.

Pada titik dikhotomi inilah, atensi media AS yang disuguhi film Argo menjadi seperti bunyi pepatah Jawa: tumbu oleh tutup. Klop sudah. Maka tak heran, ketika para juri Academy Award yang kebanyakan datang dari Asosiasi para jurnalis AS merasa mendapatkan makanan empuk ketika disuguhi film Argo. Karena itu, Argo layak menang dan dinobatkan sebagai film terbaik dalam ajang Piala Oscar tahun 2013.

Meski Argo menyabet gelar sebagai film terbaik tahun 2013 di ajang Academy Awards, namun sang pembesut utama dan aktor pemeran utamanya yakni Ben Affleck justru terpental dari nominasi Oscar. Saya pun mahfum melihat hal ini, karena tentu saja awak-awak media AS ini lebih suka menaruh atensi pada materi filmnya daripada melihat siapa dan apanya sang bintang.

Sekali lagi, Argo menjadi sebuah film dahsyat untuk ditonton kalau di benak penonton setidaknya sudah di-charged duluan dengan informasi mengenai Revolusi Iran yang antara lain diawali dengan tiga hal penting: jatuhnya rezim Shah Irah, kedatangan kembali Ayatollah Rohullah Khomeini, dan drama penyerbuan Kedubes AS di Teheran oleh para mahasiswa radikal Iran.

Tanpa berbekal sedikit pengetahuan akan konteks peta politik seperti itu, Argo akan menjadi semacam tontonan film bisu yang gak jelas juntrungannya. Barangkali inilah fenomena yang saya lihat, mengapa  film terbaik di ajang Oscar 2013 dan saya anggap sebuah film bagus ini  malah sepi penonton di Plasa Senayan.***
Baca juga Resensi Film: “Runner Runner”, Mana Ada Bandar Judi Pernah Merugi?

Popular Posts