Resensi Film: “Predestination,” Melawan Rencana Allah

DENGAN sebuah kotak bungkus biola jadul, si Agen Waktu (Ethan Hawke) melompat dari satu dekade ke dekade yang lainnya. Dari tahun 70an ke tahun 45an, lalu naik lagi ke tahun 90an dan seterusnya. Si Agen berusaha untuk memecahkan kasus pemboman the Fizzle Bomber yang terjadi pada tahun 1975. Peristiwa itu telah menyebabkan 11 ribu orang meninggal dunia.
Dalam perjalanan menjelajah waktu tersebut, si Agen dipertemukan dengan John (Sarah Snook) di sebuah bar. John membeberkan “Pengakuan ibu yang tak menikah”. Dalam beberannya, John mengisahkan perjalanan hidupnya sendiri yang sebelumnya adalah Jane, seorang wanita terlatih untuk menaklukkan ruang angkasa. Namun karena itu pula, Jane berganti menjadi John.
Si Agen waktu kemudian menawarkan diri untuk membantu John mengobrak-abrik sejarah dengan tujuan untuk menyelesaikan urusan masa lalu John. Kisah film berkembang bagaikan spiderweb yang bertalian satu sama lain. Kisah John dipertalikan dengan kisah the Fizzle Bomber dan ditambah dengan kisah si Agen Waktu sendiri. Ketiganya ternyata bertalian dan memiliki kausalitas.
Si Agen dengan kemampuannya menembus waktu, akhirnya berintervensi ke dalam sejarah hidup John. Sebaliknya John mempengaruhi sejarah si Agen. Sampai kemudian, si Agen berhasil menemukan dan membunuh the Fizzle Bomber. Ternyata, the Fizzle Bomber adalah masa tuanya si Agen Waktu.

Nasib di tangan manusia
Kurang lebih demikian alur film Predestination garapan dari Sony Pictures. Film berkategori science-fiction ini sebenarnya menyodorkan diskusi yang berat. Predestinasi biasa dimengerti sebagai suatu dogma tentang nasib manusia yang telah diatur dan memiliki ujung yang jelas. Namun dalam film ini dogma tersebut digoyangkan.
Nasib atau perjalanan hidup seseorang bisa diubah oleh setiap peristiwa hidup. Tentukan saja tujuan akhir yang diinginkan. Kemudian setiap orang mempunyai peran untuk mengontrol perjalanan hidupnya seturut tujuan akhirnya.
Namun parahnya, dalam film ini orang memanipulasi proses perjalanan hidupnya. De facto, babak suatu rentang waktu telah dilewati dan melahirkan suatu kisah. Karena si tokoh merasa tidak suka dengan jalan cerita itu maka ia kembali ke masa lalu untuk membuat cerita yang ia suka.
Akibatnya,  peran Tuhan (terkesan) disingkirkan oleh para tokoh cerita. Tuan atas sejarah kehidupan 100% dirinya sendiri. Diri sendiri sebagai tuan atas sejarah bukanlah dogma yang salah. Namun hal ini menjadi soal ketika kebebasan individu digunakan secara sewenang-wenang untuk merubah masa lalu.
Ini dapat menggoncangkan iman mereka yang menaruh kepercayaan bahwa sejarah adalah buah tangan Tuhan. Kalau sejarah dapat dirubah menurut kemauan si tokoh, apa yang akan terjadi dengan sejarah kemanusiaan di dunia ini. Bisa-bisa keturunan para penjahat pun menciptakan sejarah kekejian dan balas dendam yang lain. Lebih jauh lagi, manusia melawan Tuhan.

Self-acceptance
Hal yang lebih membelalakkan mata ialah, ternyata si Agen Waktu, John/Jane dan Fizzle Bomber tak lain adalah pribadi yang sama. Maka bisa ditarik kesimpulan, film Predestination merupakan sebuah film tentang pergulatan seorang pribadi dalam menjalani nasibnya. Para tokoh ini menikmati percakapan personal dengan dirinya sendiri dalam menata takdirnya.
Tokoh-tokoh ini rupanya sulit menerima kemalangan hidup. Mereka protes dengan jalan hidup yang jauh dari impian mereka. Sayangnya, para tokoh gagal berdamai dengan diri dan realitanya.
“Berdamai dengan sejarah hidup,” kurang lebih ini pelajaran penting dari film ini. “Tapi siapakah manusia sehingga berani melawan rencana Allah?”***
Baca juga Resensi Film: "Night at the Museum", Mengembalikan Lempeng Emas kepada Yang Berhak


Popular Posts