Resensi Film: “Exodus: Gods and Kings”, Setelah Bencana maka Tuhan Dirasakan Ada

CHRISTIAN Bale yang dulu berperan sebagai Batman dalam The Dark Knight, kali ini dalam film barunya Exodus: Gods and Kings berperan sebagai Moses (Indonesia: Musa), sang Satria Ibrani. Dulu menjadi penjaga warga kota Gotham, tetapi dalam film barunya ia adalah penjaga orang Yahudi di Pithom. Selama 2 jam 40 menit, Christian Bale disorot untuk menampilkan transformasi kehidupan Moses dengan citarasa Hollywood.
Kurang memuaskan
Problem bagi mereka yang menonton film kolosal rilisan 20th Century Fox ialah merek telah terbiasa dengan kisah yang dibeberkan oleh Kitab Keluaran. Tontonan drama aksi ini secara garis besar plotnya memang diambil dari kisah Kitab Keluaran. Lantaram sudah terbiasa dengan indoktrinasi seputar Moses yang dengan tongkatnya membelah Laut Merah, maka kisah tujuh tulah dan tradisi Yahudi, orang bereaksi sebagai berikut:

Beberapa rekan yang menonton bareng dengan saya spontan bilang, “Kok beda ya dengan yang di Kitab Suci?”. Wajahnya tampak sedikit tak puas.
Lainnya berkata, “Hollywood banget!”
Seorang lagi memberi kesan, “Penyebarangan Laut Merahnya lebih masuk akal.”
Teman saya yang lain berkata, “Musa sangat manusiawi di film ini. Seperti kelihatan di pergulatannya untuk mencari tahu identitas dirinya, relasi emosionalnya dengan anak istrinya dst.”
Kritikus film dari Barat memberi catatan seputar isu rasis yang diangkat dalam film ini. Katanya, film Exodus ini hanya mengeksploitasi soal diskriminasi etnis Yahudi. Lainnya mencermati film yang melibatkan pemain andal seperti: Aaron Paul ( Joshua) dan Ben Kingsley (Nun) menjadikan pesan politis dari kisah Moses lebih kuat dibanding religiusnya.
Resep nonton hiburan
Sebelum berkomentar tentang film, saya memiliki beberapa usul.

  • Pertama, Exodus: Gods and Kings adalah 100 % film hiburan. Usul saya, lepaskanlah segala indoktrinasi seputar Moses. Nikmatilah film ini sebagai tontonan seperti film lainnya. Maka film ini bisa menghibur Anda.
  • Kedua, temukan makna dari kisah para tokoh di sana, sebebas-bebasnya dari perspektif Anda. Apa sih yang diharapkan oleh Nun dan teman-temannya yang setiap hari kerja rodi? Apakah ambisi Firaun dengan kerajaannya? Apa pula yang dimaui oleh Sefora (istri Musa di Median) kepada Moses? Bagaimana Moses mengenal kuasa Tuhan dalam hidupnya? Dsb.
Pasti film yang menurut para pengamat datar-datar saja ini akan menjadi tontonan yang hidup dan mentakjubkan.
Penyempurnaan panggilan
Pelajaran dari film ini bisa saya bagikan dalam dua hal.

  • Pertama, Moses itu bagaikan simbol pribadi yang senantiasa menyempurnakan panggilan hidupnya. Ia sejak kecil dididik dalam lingkungan istana untuk menjadi prajurit tangguh. Lalu meninggalkan kehidupan istana untuk membangun keluarga di Median. Tetapi lagi-lagi suara hatinya mengusik untuk membebaskan bangsa Israel dari penindasan. Semua proses itu terjadi dalam masa waktu yang cukup lama.
  • Ditambah lagi, selama menjalani gerakan batinnya, ia pun bergumul dengan “benar-tidak” keputusannya. Berkali-kali ia berkonsultasi dengan Tuhan agar pilihannya bisa memberi yang terbaik bagi bangsa Israel. Film ini memang tidak berusaha mengupas satu-persatu pergulatannya. Namun dengan menarik, film ini memberi ruang kepada Moses untuk berwawan hati dengan situasinya melalui obrolannya dengan bocah kecil yang dianggap sebagai sang pembawa pesan Allah, the messenger.
Exodus: Gods and Kings memotret gerakan batin setiap manusia. Jika Tuhan memberi kebebasan pada manusia, maka manusia sepenuhnya bertanggung jawab untuk mengusungnya, biarpun lewat jatuh bangun dan tantangan yang tak mudah. Film ini tidak mengajak penonton begitu saja mengritik keputusan seseorang atas hidupnya.
“Wah ga konsisten.” Atau dalam bahasa jawanya, “Mencla-mencle.” Semua perubahan keputusan dapat berarti proses penyempurnaan atas panggilan hidup seseorang.
Eksiskah Tuhan?
Di zaman sekuler seperti sekarang ini, pertanyaan seputar eksistensi Tuhan adalah lumrah. Konflik Ramses dan Moses adalah konflik tentang eksistensi Tuhan. Kuasa siapa di balik siapa?

Ramses dari awal kisah sangat pesimis dengan manjurnya kehebatan para dukun dan ahli spiritual kerajaan. Pada bagian tertentu dalam film itu, ia menegaskan bahwa segala kuasa dan kontrol atas hidup di Mesir ada di tangannya.
Kemudian Ramses melepaskan perspektif di atas, ketika kerajaannya dihajar bertubi-tubi oleh tulah dan puncaknya pada kematian putranya. Peristiwa itu membuatnya dengan berat hati mengakui Tuhan bangsa Israel itu hebat. Ketika dihadapkan pada pengalaman eksistensial, barulah Ramses bisa mengucap Tuhan itu ada.
Moses pun serupa dengan Ramses. Ia seorang yang skeptis. Sampai suatu saat keingintahuannya membawanya ke gunung saat menggembalakan domba. Di Gunung Horep itulah ia memiliki pengalaman rohani yang tertanam sangat mendalam dengan ditandai kecelakaan tertimbun lumpur (ingat kisah semak bernyala). Pada posisi setelah Moses berhadapan langsung dengan pengalaman rohani, ia berani percaya bahwa Tuhan itu ada.
Exodus: Gods and Kings mengajak orang beriman pada zaman ini untuk berani berkonfrontasi dengan pengalaman-pengalaman pribadi yang menyentak kesadaran. Agama adalah alat untuk masuk dalam pengalaman bersama Allah. Lewat film ini jelas, pertanyaan eksistensi Allah sebenarnya tidak relevan karena Allah itu omnipresent. Soalnya ialah manusia butuh sebuah pintu masuk untuk melihat Allah. Pintu masuk itu berupa pengalaman eksistensial.***
Baca juga Resensi Film: “The Dark Valley”, Dendam Pesakitan

Popular Posts