Resensi Film: “Dying of the Light,” Patriotisme atau Penyakit?

EVAN Lake (Nicolas Cage) sebagai agen CIA yang hebat di masa mudanya kini menjalani masa tuanya dengan duduk di kantor. Untuk mengetik saja, tangannya sudah gemetar. Kadang kala ia seperti orang yang kehilangan keseimbangan.
Tak jarang pikirannya mendadak terbang ke masa lalu, ke masa dimana dia disekap oleh kaum teroris. Dokter memberi diagnosis suatu simtom yang menyebabkan kemampuan berpikirnya makin rusak. Hal ini menyebabkan Evan sering kehilangan fokus.
Berbeda dengan Muhammad Banir (Alexander Karim). Ia dahulunya adalah seorang teroris sadis. Namun kini ia hanya bisa terduduk di kursi reot. Ia bergantung pada orang lain. Untuk berdiri, Banir membutuhkan tongkat. Ia memiliki masalah dengan darah. Penyakit keturunan ini membuatnya selama bertahun-tahun bergantung pada obat-obatan.
Sebagaimana sering kali melintas di ingatan Evan,Banir adalah orang yang bertanggungjawab atas penderitaan Evan. Kuping Evan digunting oleh Banir. Namun yang lebih parah ialah Banir memberikan trauma atas penyiksaan 20 tahun silam dalam ingatan Evan.
Diajak ‘ber-discerment’
Film Dying of the Light memotret realita yang cukup menarik dari para jagoan: seorang dari CIA dan lainnya tokoh teroris. Keduanya sekarang sudah tak berdaya. Kehidupan dua tokoh ini berubah 180 derajat. Tidak selamanya jagoan selalu bisa terus menjadi jagoan. Kedua tokoh dalam film ini merepresentasikan pasca-kejayaan para jagoan.

Film ini juga hendak menyatakan bahwa konflik antara ideologi Amerikanisasi dan anti-Amerikanisasi seolah-olah tidak berkesudahan. Bahkan semakin meruncing dengan pupuk kebencian dan dendam kusumat. Akhirnya, konflik ideologi ini memang benar-benar sulit diurai.
Sulit dibedakan mana yang kepentingan negara, mana yang kepentingan pribadi. Penonton dapat menganalisa sendiri apakah kegigihan Evan untuk menemukan Banir yang diduga sudah mati benar-benar kepentingan negara. Apakah sekedar membalas dendam atas trauma yang sedang diderita?
Maka menonton film Dying of the Light sebenarnya menonton betapa ruwetnya discernment kepentingan suatu negara. Para penonton bisa bermeditasi dengan film ini lebih lanjut.
Kenyataan bertumbuhnya Amerikanisasi yang diusung oleh globalisasi dan imperialisme baru telah diimbangi oleh raksasa tradisionalisme dan fanatisme seperti yang sekarang marak di negara-negara di Afrika, Timur Tengah dan Asia.***
Baca juga  Resensi Film: "A Merry Friggin' Christmas" Mencari Makna Natal 

Popular Posts