Resensi Film: “By the Gun,” Senjata dan Hasrat Pemenang

DI dunia ini terdapat beberapa cara penyelesaian terhadap konflik, seperti mediasi, dialog, konfrontasi, restitusi, dan pengampunan. Namun film By the Gunmemberi alternatif penyelesaian di luar opsi sebelumnya, yakni dengan senjata.
Mafia di Amerika
By the Gun mengambil latarbelakang kehidupan mafia Italia yang di Amerika. Dunia mafia yang dibawa dari Sisilia ini kental dengan pertalian keluarga. Lihat saja yang ditampilkan dalam film soal-soal seputar komitmen untuk melindungi keluarga, loyalitas pada grup Italia, menjaga martabat keluarga, dan perjuangan sampai titik darah penghabisan untuk kesuksesan keluarga.

Dengan atas nama keluarga, segala cara dilakukan walau itu amat sangat ngawur.
Nick Tornato (Ben Barnes) pemuda keturunan Italia menjadi mafioso (anggota mafia). Sejak kematian ibunya, Nick merasa bertanggungjawab atas soal finansial keluarga. Pemuda yang semula hidupnya lurus-lurus saja, lama-lama terkontaminasi oleh tabiat para mafioso.
Nick adalah didikan Sal (Harvey Keitel), pemimpin mafia di daerah Boston. Sehari-hari Nick mendapatkan rezeki dengan mengabdi pada Sal. Bersama temannya George (Slaine),
Nick berkeliling untuk menarik uang dari warga yang membuka usaha di wilayah itu.
Pekerjaan ini sebenarnya tak jauh beda dengan preman atau penjahat lainnya. Di situlah Nick berhadapan dengan bahaya dan mulai memiliki banyak musuh.
Sementara ayah Nick dengan tegas menolak pekerjaan haram anaknya. Karena baginya, harga diri keluarga ditentukan dari usaha yang tidak menyengsarakan orang lain. Kontan saja Nick jengkel dengan sikap sang ayah. Konflik antar ayah dan anak ini meruncing ketika Nick memberi uang untuk kelanjutan hidup keluarga dan pendidikan adiknya. Tetapi si ayah menolak karena itu merupakan uang haram.
Konflik semakin rumit dan menumpuk ketika Nick jatuh hati dengan Ali (Leighton Meester), putri Tony dan saingan bisnis Sal. Semua tokoh dimasukkan dalam konflik yang amat rumit. Ketika berhadapan dengan keruwetan situasi dan sepertinya stagnan, akal sehat akhrinya berhenti bekerja. Maka saatnya senjata bicara.
Hasrat berkuasa
Seperti halnya film gangster dan soal bisnis kotor di USA, By the Gun memiliki karakter yang sejenis. Selain diwarnai baku hantam dan letusan peluru, selebihnya film ini cenderung monoton. Namun satu hal yang bisa dipetik dari tontonan ini adalah senjata tidak pernah menyelesaikan konflik.

Seperti yang dikatakan oleh Francis Fukuyama, perang sebenarnya manifestasi dari pencarian manusia atas pengakuan diri. Demikian ia mengutip apa yang diserukan oleh Nietzhche. Manusia terakhir ialah budak yang menang atas hasrat untuk diakui telah terpenuhi dengan menjadi superior dibanding yang lain. Dalam usaha pencapaian menjadi manusia terakhir, senjata digunakan untuk penyelesaian konflik karena manusia butuh perpanjangan kuasa dan kekuatan.
Sementara gagasan ini sudah lama telah dimentahkan oleh Yesus. Yesus senantiasa menyerukan non-violence solution dalam setiap konflik. Menurut Yesus, manusia tidak perlu meminjam teknologi pembasmi massa (bdk. Seruannya pada Petrus, “Sarungkan pedangmu.”) dalam penyelesaikan konflik.
Pada hakikatnya, dalam diri manusia terdapat jalan yang tepat untuk mengatasi konflik, yakni: mengasihi, dialog dan pengampunan.
Sayangnya pilihan Nick adalah angkat senjata. Maka diakhir film, cerita ditandai dengan menghilangkan para tokoh. Satu persatu mereka mati di tangan senjata api. Konflik pun masih tetap di udara.***
Baca juga Resensi Film: “Dying of the Light,” Patriotisme atau Penyakit?

Popular Posts