Resensi Film: “Interstellar”, Anomali Kehidupan dalam Absurditas Waktu
SEJAK Albert Camus dan kemudian Jean-Paul Sartre mengumandangkan gerakan eksistensialisme Perancis, mendadak sontak konsep absurditas menjadi populer. Intinya, ketidakmengertian manusia atas beberapa hal dalam wahana kehidupan sosial dan alam semesta ini yang tidak bisa kita cerna melalui daya pikir atau ratio.
Karenanya manusia hanya bisa domblong alias gagu, kagum, tak bisa berkata-kata. Selanjutnya, Sartre pun lalu mempopulerkan kata ‘absurd’ guna melukiskan situasi domblong itu, sekalipun sebenarnya kata itu pertama kali didegungkan oleh Camus.
Di antara gugusan bintang
Interstellar merupakan film fiksi ilmiah dengan daya fantasi luar biasa. Pembesutnya Christopher Nolan ingin membidik ‘jenis kehidupan’ yang terjadi di gugusan galaksi antar bintang. Secara etimologis, film itu mencerminkan ‘kehidupan antara’ itu sebagaimana terkandung dalam pemaknaan linguistiknya dalam bahasa Latin: “inter” berarti antara dan “stella” artinya bintang.
Jenis kehidupan di “antara” gugus galaksi bintang itu masih dalam status ‘tak diketahui’, namun manusia justru terbetot minatnya untuk menguak misteri kehidupan di antara para bintang ini. Dalam balutan ambisi memecahkan misteri kehidupan di gugus galaksi bintang inilah, astronot yang jenius sekaligus ambisius Cooper (Matthew McConaughey) lalu dipertemukan dengan Prof. Brand (Michael Caine), putrinya yang cantik dan astronot Amelia Brand (Anne Hathaway), Romilly (David Gyasi) dan Doyle (Wes Bentley).
Setelah melalui perdebatan panjang dengan putrinya Murph (Mackenzie Foy) yang begitu menyayat hati, Cooper bersama rombongan astronot itu pun terbang mengangkasa. Misi penerbangan luar angkasa tersebut memikul banyak tugas disertai prosedur tertentu bila harus menghadapi situasi sulit. Tingkat probabilitas kesuksesan misi ini juga sedikit.
Itu berarti, misi penerbangan ini bisa sukses namun juga bisa gagal. Persis di titik kemungkinan bisa gagal inilah Murph menangis tak karuan. Ia sesenggukan dan hatinya marah, ketika ayahnya bersikukuh meninggalkan keluarganya hanya demi menembus perjalanan waktu dan menguak misteri kehidupan ‘di antara bintang’ ini. Cooper memberikan tanda mata berupa jam kuno bermek Hamilton sebagai petunjuk kasih dan persamaan waktu/umur manakala nanti berjumpa kembali di bumi namun sudah dengan persepsi waktu/umur yang berbeda.
Di balik ‘black hole’
Perjalanan misi penerbangan ke ruang angkasa ini bukan yang pertama kali bagi Coooper. Namun, ia tetap bernafsu melakukannya karena ingin menguak tabir rahasia wahana kehidupan di balik black hole yang belum terpecahkan. Misi penerbangan NASA sebelumnya yang dipimpin Dr. Mann and Lazarrus gagal dan kabar mereka tak pernah diketahui, sampai akhirnya Cooper kaget menemukan Dr. Mann masih hidup tersimpan rapi dalam ‘peti kehidupan’ di ruang angkasa.
Ambisi Mann yang berhasil ‘dihidupkan’ kembali malah mematahkan misi Cooper untuk mengambil sampel jenis kehidupan di sejumlah planet lainnya. Alih-alih berterimakasih, Dr. Mann malah mencoba membunuh Cooper hingga kemudian perjalanan pulang kembali ke bumi melalui pesawat ulang-alik Endurance banyak menemui hambatan.
Salah satunya adalah persepsi waktu. Kita sudah terbiasa dengan konsep waktu linear: sehari identik dengan 24 jam, 1 jam sama dengan 60 menit, 1 menit identic dengan 60 detik dan seterusnya.
Absurditas waktu
Wahana kehidupan di gugusan bintang punya konsep waktu berbeda. Maka dari itu, Cooper dan Amelia terbengong-bengong ketika mendapati astronot koleganya Romilly sudah beranjak tua, ketika mereka baru saja kembali dari planet lain.
Menjadi semakin kaget lagi, ketika Cooper mendapati Murph juga sudah dewasa dan bahkan si sulung Tom pun sudah beristri dan memberinya cucu laki-laki yang dinamai Coop. Di wahana ruang angkasa –teristimewa di pesawat ulang-alik Endurance—perjalanan waktu (baca: umur manusia) sepertinya tetap mengikuti hukum alam di bumi: Cooper masih perkasa dan Amelia pun masih cantik mempesona. (Baca juga: “Big Hero 6″, Baymax Sang Bintang)
Anomali kehidupan dalam perspektif absurditas waktu inilah yang menurut saya menjadi pesona luar biasa film fiksi ilmiah hasil besutan Christopher Nolan. Sutradara ini juga yang menggarapThe Darknight Trilogy dengan kecanggihan menciptakan daya fantasi yang menakjubkan.
Bagi saya, Interstellar sebenarnya tidak hanya menawarkan soal absurditas waktu. Tetapi juga anomali kehidupan. Saya ingin menyebut dua hal, yakni pola relasional antarmanusia dan kondisi kehidupan di planet bumi.
Saya mulai yang kedua karena dari sinilah semua kisah itu berasal.
Di awal film ini tersaji pemandangan kehidupan keluarga kecil yang hidup di belantara ladang jagung. Mereka tinggal di sebuah pondok kecil, kumuh, sementara lingkungan mereka pun juga tak kalah muramnya: banyak debu dimana-mana. Kehidupan keluarga kecil ini lesu: Cooper –mantan astronot—sudah menduda; pun pula Donald, ayah mertuanya. Putrinya Murph selalu merasa dikejar-kejar hantu, sementara Tom yang ingin mandiri selalu terkekang aturan keluarga.
Cooper sendiri hidup dalam situasi imsomnia. Tidurnya selalu diganggu oleh mimpi-mimpi buruk tentang misi penerbangan sebelumnya yang nyaris membuatnya mati.
Lingkungan sekitar juga dihantui mimpi buruk: wabah penyakit, hama jagung yang ganas, badai debu yang membuat paru-paru manusia menjadi ringkih. Semua berujung pada pertanyaan: masihkah planet bumi ini layak dihuni manusia? Perlukah mencari planet lainnya yang ditengarai punya ciri-ciri kehidupan sama seperti di bumi?
NASA –badan antariksa AS pimpinan Prof. Brand—punya ambisi menjawab pertanyaan—pertanyaan itu. Maka dari itu, misi penerbangan ruang angksa dengan Cooper sebagai kapten dirancangbangun dari stasiun pengendali daratan NASA yang lokasinya justru berada di ladang jagung tersebut. Untuk apa? Supaya tidak dikritik masyarakat, karena telah membakar uang rakyat hasil pembayaran pajak.
Interstellar berakhir mengharukan
Murphy dewasa (diperankan oleh Jessica Chastain) sudah beranjak menjadi sepuh sekali dan bahkan hampir sekarat. Cooper tetap saja seperti dulu: segar sekalipun dibisiki dokter umurnya sudah mencapai angka 125 tahun. Pertemuan Cooper sepuh namun berwajah muda dengan anaknya Murph yang sudah jadi nenek-nenek dan punya anak-cucu banyak menjadi sesi mengharukan dalam Interstellar ini.
Inikah pola kehidupan manusia –terutama interaksi personal manusia—nanti di zaman tak berujung ketika anomali kehidupan dan absurditas waktu mulai menguasai alam pikir manusia? Itu pertanyaan nakal saya, karena persis di situlah pola-pola relasi manusia menjadi susah ‘terukur’, karena dimensi waktu/umur juga sudah tidak mengikuti hukum bumi.
Cooper divonis sudah berumur 125 tahun, meski wajahnya masih sangat bugar seperti umur 35 tahun. Ia ingin menghibur anaknya Murp yang ternyata sudah jadi nenek-nenek dan yang sebentar lagi akan meninggal dunia. Cooper dibuat keki, ketika Murph mengaku lebih suka dekat dengan anak-cucunya daripada ayahnya yang di waktu kecil telah ‘tega’ meninggalkan keluarganya untuk misi penerbangan ruang angkasa.
Interstellar menjadi lebih menarik, karena film ini tak semata-mata menjual daya fantasi manusia yang luar biasa. Ia juga bicara tentang ketidakmengertian manusia ketika berhadapan dengan gejala-gejala alam yang dia tidak bisa mengerti secara gamblang dan jelas. Dalam kondisi bertanya kritis dan tetap domblong itulah, anomali kehidupan dan absurditas waktu menjadi misteri kehidupan yang tak terjawab.***
Baca juga Resensi Film: “A Most Wanted Man”, Obat Penenang bagi Negara Barat
Baca juga Resensi Film: “A Most Wanted Man”, Obat Penenang bagi Negara Barat