Resensi Film: “Boyhood”, Antara Waktu, Cerita dan Dia

SELAMA kurun durasi 165 menit,  mata dan telinga saya tak mau melepaskan adegan demi adegan dalam film baru Boyhood. Saya seperti tersihir oleh cerita garapan Richard Linklater. Anda tentu ingat siapa Richard Linklater bukan? Ia adalah orang yang mengarap triloginya Ethan Hawke.
Linklater menunjukkan kemampuannya dalam film drama triloginya: Before Sunrise, Before Sunset, dan Before Midnight. Ketiganya kebetulan sudah saya tonton secara bertahap sejak 10 tahun yang lalu. Hebatnya trilogi ini mampu mencemplungkan saya (baca: penonton) dalam percakapan yang sangat hidup dan penuh majik. Padahal semua topik obrolan adalah isu keseharian hidup.
Kronologi kehidupan
Film Boyhood digarap selama 11 tahun dari tahun 2002 sampai dengan 2013. Wow, ini suatu periode yang sangat panjang. Memang faktanya film ini memberikan suatu kronologi nyata dari tokoh yang sama secara khusus pada masa kanak-kanak.

Richard Linklater mengatakan, “Saya mempunyai sebuah harapan yang sudah lama ingin diwujudkan, yakni membuat cerita tentang hubungan antara orangtua dengan anaknya yang terjadi selama masa kanak-kanak yang diakhiri pada saat si anak masuk college. Namun dilemanya ialah si anak berubah banyak dan itu membuat banyak kisah yang harus disesuaikan dengan perubahan anak.”
Boyhood menceritakan keluarga mungil: Mason Evans Jr (Ellar Coltrane) dan saudarinya Samantha (Lorelei Linklater) yang bertumbuh dewasa dengan ibunya yakni Olivia (Patricia Arquette). Olivia telah bercerai dari Mason Sr. (Ethan Hawke). Namun hubungan keluarga ini tetap baik dengan Mason.
Tokoh utama dalam Boyhood adalah Mason Evans Jr. Film ini dengan setia memotretnya dari umur 6 tahun yang dilanjutkan pada babak baru ketika ibundanya, dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2004 mengajak berpindah. Mereka berpindah agar Olivia bisa menyelesaikan kuliahnya dan bekerja demi masa depan keluarganya.
Olivia menikah dengan profesornya Bill Welbrock (Marco Perella). Sayangnya keluarga ini karam semenjak Bill tidak bisa lagi menahan kelakuannya yang bergantung pada alkohol. Mereka bercerai. Kemudian Olivia berkerja sebagai guru psikologi.
Figur ayah
Hal yang menarik dari cerita ini adalah, kendati masing-masing memiliki urusan sendiri, berjuang dengan situasi baru karena hidup mesti terus bergulir. Namun dalam setiap babak hidup keluarga kecil Olivia, Mason Senior selalu muncul untuk memberi waktu bagi anak-anaknya walaupun hanya weekend untuk ngobrol, bermain, dan makan bersama.

Tapi justru disitulah kekuatan film ini. Obrolan dari soal mainan, musik, pacaran, alat kontrasepsi dan aktivitas harian seolah-olah menjadi bahan pengajaran penting. Mason Sr. tahu dengan baik memilah-milah topik yang disesuaikan dengan tahap perkembangan psikologis anaknya.
Dari situlah penonton dengan jelas akan melihat bagaimana Mason Jr. bertumbuh sampai masuk SMA dan mulai pacaran. Ia berkembang dalam hal fotografi dan sempat meraih kejuaraan. Semuanya tidak lepas dari obrolan-obrolan yang ternyata sangat membentuk karakter Mason Evans dan Samantha.
Film ini mau berkata, “Jangan main-main dengan masa kanak-kanak.”
Karena memang ada ahli psikologi yang menekankan masa pertumbuhan kanak-kanak bagaikan pondasi dasar dalam pembentukan karakter anak di kemudian hari: dari soal kebiasaan entah itu tanda salib, makan bersama, mengurus kamar maupun cuci piring; atau juga soal nilai hidup seperti benar-salah, kebebasan diri, respek pada orang tua, maupun materi.
Dalam film ini, figur ayah begitu penting dalam memberi penekanan akan kebiasaan dan nilai yang akan dianut oleh si anak.
Tuhan dalam waktu
Akhirnya Mason Evans mendapat beasiswa dan tinggal di asrama. Lalu film selesai. Simpel bukan? Semua orang mungkin memiliki kisah yang serupa. Bisa jadi lebih heboh dibanding film ini. Namun ada satu hal yang patut saya sampaikan untuk film yang menyabet banyak penghargaan, bahkan penghargaan lebih dari tujuh festival film internasional.
Boyhood mengingatkan saya pada kisah St. Agustinus dalam bukunya “Pengakuan”. Dalam buku itu Agustinus tak henti-hentinya memuji Tuhan dalam setiap momen hidupnya. Ia seperti tengah membuat analisa kronologis perjalanan hidupnya dari kanak-kanak sampai ditangkap oleh Tuhan.
Hebatnya Agustinus, ia menempatkan kisah hidupnya dalam sebuah perspektif yang lebih luas. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.”
Ia menempatkan dirinya dalam kisah penciptaan Allah. Hidupnya bukan hanya tentang mencuri mangga, atau membuat ibundanya, St. Monica menangis tiada henti, atau kisah kumpul kebonya. Ia melihatnya sebagai sejarah keselamatan.
“Thus, my son, take the books of my Confessions and use them as a good man should–not superficially, but as a Christian in Christian charity. Here see me as I am and do not praise me for more than I am. Here believe nothing else about me than my own testimony. Here observe what I have been in myself and through myself. And if something in me pleases you, here praise Him with me–him whom I desire to be praised on my account and not myself. “For it is he that had made us and not we ourselves.” Indeed, we were ourselves quite lost; but he who made us, remade us. As, then, you find me in these pages, pray for me that I shall not fail but that I may go on to be perfected. Pray for me, my son, pray for me!” demikian pesan Agustinus di pembukaan bukunya.
Saya berani mengatakan film Boyhood tak lain dan tak bukan merupakan bentuk “pengakuan” di zaman ini. Babak demi babak dalam cerita itu mengajak saya untuk berani juga menatap kronologi hidup. Kalau bisa jangan ada yang terlewati, karena semakin saya masuk dalam kisah ku, semakin saya menemukan Tuhan yang selalu bekerja dan mencurahkan rahmat.
Sebagai orang beriman, demikian pesan Agustinus, justru dalam kronologi itulah kita tiada pernah lelah menyebut Dia, empunya hidup ini. Karenanya kita akan semakin menjadi sempurna. “As, then, you find me in these pages, pray for me that I shall not fail but that I may go on to be perfected.”
Semoga Boyhood mengajak Anda bertamsya dengan kisah hidup Anda yang mengagumkan.***
Baca juga Resensi Film: “Mockingjay Part I”, Harapan itu Bernama Katniss

Popular Posts