Resensi Film: “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, Cinta Menghidupkan Plus Membinasakan

A tragedy at last, when life ends with death. Ini bunyi pepatah lama dari orang pintar yang dengan indah menggambarkan betapa nelangsanya nasib kita, manakala hidup harus berakhir dengan sebuah tragedi alamiah: kematian.
Zainuddin (Herjunot Ali) terpuruk oleh faktisitas tersebut. Ia terdampar ke sebuah ‘dunia lain’ yang tak bisa dia pilih sendiri: Rangkayo Hayati (Pevita Pearce), kekasihnya, telah dia campakkan dari rumah lojinya yang mewah dan besar di Surabaya untuk dia kirim kembali ‘mudik’ ke Sumatra Barat. Di sini antara cinta dan kebencian –seperti madu dan racun—sama sekali tipis batasnya.
Cinto tak berbalas
Zainuddin sebenarnya masih cinto sama Hayati. Namun, kepedihan masa silam memaksanya memendam rasa cinta itu. Ia masih sedikit dendam sama Hayati yang ternyata lebih memilih pemuda kaya dan terhormat bernama Aziz (Reza Rahadian). Padahal, sejatinya ia masih ingin memiliki Hayati, namun gengsi memaksanya berbuat sebaliknya: ia tidak sudi memperistri janda almarhum Aziz yang pernah memperoloknya ketika masih bujang di Batipuh, Padang Panjang, Sumbar.
Akhirnya, Hayati mati. Kapal mewah Belanda Van Der Wijk yang mestinya membawa dia ‘mudik’ dari Surabaya ke Sumbar tenggelam dalam perjalanan. Hayati mati dalam pelukan mesra Zainuddin, ketika dendam sudah berangsur hilang dan bersemilah pengampunan sekaligus maaf di ujung akhir kehidupan Hayati.
Film lawas Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk adalah potret keburaman cinta di era masa silam, ketika Sumatra Barat masih keukeuh dengan budaya nini-mamak dimana penatua adat menentukan banyak hal. Termasuk soal jodoh dan perkawinan.
Cinta diam-diam antara Hayati dan Zainuddin akhirnya kandas karena terhalang oleh perbedaan martabat sosial, harta dan asal-usul. Karen tak mau menentang adat dan tradisi Minangkabau, Hayati pun pasrah dipinang Azis, pemuda kaya super flamboyan yang gemar clubbing dan judi di kalangan elit di Padang tahun 1930-an.
Sejarah berjalan dengan sangat cepat. Zainuddin sukses meraup ketenaran dan rupiah berkat bakatnya menulis. Ia menjadi public figure dan kaya raya hingga kemudian mendapat pekerjaan terhormat di Surabaya.
Hayati dan suaminya Aziz pun merenda kehidupan rumah tangga. Namun, kesepian senantiasa memeluk setiap malam Hayati yang harus menangis sendiri tanpa kehadiran Azis. Nasib membawa mereka ke Surabaya dan pucuk dicinta ulam tiba: Hayati bertemu kembali dengan Zainuddin.
Sudah beda status, pun pula sudah beda ‘nasib’. Lagi-lagi, pertemanan masa silam membawa mereka hidup dalam satu rumah hanya atas dasar kemanusiaan.


Sudah lamaa sekali saya tak pernah nonton film-film Indonesia. Kali ini, saya memaksa diri nonton filmTenggelamnya Kapal Van Der Wicjk ini. Orang bilang, permainan Pevita Pearce menawan. Benar juga, selain memang parasnya juga rupawan.
Sumbar era tahun 1930-an
Namun, saya lebih tertarik melihat setting masyarakat Sumbar pada era tahun 1930-an. Dengan ikatan budaya dan tradisi yang begitu kental, Sumbar tampil manis dalam balutan seloloid dimana rumah-rumah adat Minang, ragam bahasa lokal yang indah tampil menawan.
Hanya saja, penggambaran soal gaya hidup borjuis yang muncul di film ini serasa berlebihan. Apa betul gaya hidupla crême de la crême masyarakat elit Minang saat itu begitu? Di tahun 1930-an ketika perekonomian dunia dihantam resesi global (malaise), rasanya gambaran hidup borjuis anak-anak muda yuppies yang suka clubbing itu sangat norak.
Mungkin saja dulu begitu, dan mungkin saja memang sesuai dengan naskah novel aslinya hasil garapan sastrawan Buya Hamka. Saya sendiri belum pernah membaca buku novel satra ini. Hanya saja, di zaman malaise tahun 1930-an seperti itu, rasanya snob sekali bila gaya hidup orang muda kaya –baik di Sumatra Barat dan di Surabaya—mesti harus tampil dandy setiap hari: berjas berdasi, tuxedo, senantiasa dilayani jongos dari A-to-Z. Belum lagi, hidup dalam sebuah rumah loji yang sangat besar, mirip para bangsawan Eropa Abad Pertengahan di kastil-kastil nan mewah.
Tampilan itu serasa berlebihan, apalagi Indonesia di tahun 1930-an juga belum “berwujud”.
Kalau pun harus menyebut apa yang menarik dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk ini, maka saya mesti mengatakan bahwa tema besar yakni membina tautan cinta yang digagas Buya Hamka ini adalah tema kehidupan yang menggigit di zaman itu. Jalinan cinto bisa tak berbalas karena perbedaan status, martabat sosial, dan asal-usul.
Hayati dengan aroma kepolosan dan kecantikan Pevita Pearce menjadi pemikat nomor satu dalam film ini. Lainnya adalah tampilan pemandangan topografis kawasan Sumatra Barat dengan rumah gadangnya yang indah dan menawan.
Ragam bahasa Minang yang sungguh rancak menjadi pesona lainnya, selain tentu saja tragedi cinta yang mengakhiri ending film panjang ini: cinta itu menghidupkan sekaligus membinasakan.***
Baca juga Resensi Film: “In the Blood”, Istri Cintai Suami 100 %

Popular Posts