Resensi Film: “Lucy”, Keampuhan Daya Pikir Manusia

SATU lagi film dengan judul Lucymengeksplorasi kemampuan otak manusia. Kendati secara struktural otak manusia tidak jauh berbeda dengan mamalia, namun kompleksitas kortek dan juga ukurannya jauh di atas mamalia.
Menurut para ilmuwan, umumnya otak manusia hanya bekerja 20% dari seluruh kapasitas kemampuannya. Lalu bagaimana jadinya bila otak manusia dapat bekerja secara maksimal, 100 %?
Evolusi daya pikir

Dalam film Lucy arahan Luc Besson, pengembangan kemampuan otak manusia digambarkan secara bertahap.
Mula-mula otak akan mempengaruhi sensitivitas inderanya dalam menghubungkan manusia dengan lingkungannya. Kemudian seseorang akan mampu menyerap informasi dengan sangat cepat.
Pada level yang lebih tinggi, seseorang dapat membaca pikiran sesamanya, bahkan mengontrolnya. Sampai akhirnya manusia memiliki kesadaran bersejarah (historical awareness) yang melampaui waktu hidupnya.
Seperti yang terjadi pada tokoh Lucy (Scarlett Johansson) dalam film berdurasi 89 menit, ia dapat kembali ke tahap dimana ia masih dibentuk sebagai embrio dari sel telur dan sperma.
Bahkan lebih jauh ke belakang, ia memasuki zaman pra-sejarah. Lalu ia mampu mengerti saat alam semesta belum terbentuk sebagai galaksi yang sekarang ini.

Dengan kata lain, semakin otak manusia digunakan lebih maksimal, manusia akan semakin mampu melintasi batas ruang dan waktu. “I am everywhere,” demikian kata Lucy pada saat otaknya mencapai 100%.
Ini sangat mengagumkan bukan?
Otak dan obat terlarang
Kekaguman manusia akan daya pikir dalam film berkategori genre science fiction, adventure and action cukup menarik ketika dibungkus dengan kisah penyelundupan obat-obatan terlarang.

Obat jenis ini, CPH4, diselundupkan ke empat negara, yakni Italia, Perancis, Cina dan German oleh Mr. Jang (Choi Min-sik) yang terkenal sadis dan berdarah dingin.
Lucy termasuk salah satu orang yang dipakai untuk menyelendupkan CPH4. Parahnya, obat itu ditanamkan di dalam perut. Tanpa disengaja, preman-preman penadah obat terlarang tersebut menyiksa Lucy.
Pada saat perut lucy ditendang, CPH4 dalam perut itu bereaksi dan mempengaruhi sel otak dan akhirnya memacu maksimalitas kerja otak Lucy.
Secara menakjubkan ia berubah. Ia memiliki karakter seorang pejuang ampuh. Ia kemudian menjadi penyelesai persoalan dalam film yang juga dibintangi oleh Morgan Freeman yang berperan sebagai Professor Samuel Norman.
Pada akhirnya, Mr Jang dan anak buahnya berhasil dibekuk. CPH4 berhasil dimusnahkan. Sedang Lucy bagaikan ditelan ruang dan waktu. Ia hilang.
Kritik film
Film ini seolah-olah mau menyuarakan keemasan Zaman keemasan Modern. “zaman ini mengendus kekuatan baru yang bekerja dari dalam. Abad ini menyebutnya akal budi.. Akal budi menjadi pemersatu dan pusat dari abad ini.”
Itu yang dikatakan oleh Ernst Cassirer.
Akal budi dianggap sebagai solusi dan sang pembebas di dalam masyarakat. Pernyataan ini terlalu berat sebelah untuk postmodern.
Nyatanya, penemuan nuklir, teknologi komputer, dan obat-obatan sebagai buah kehebatan akal budi masih mendatangkan aneka persoalan dalam masyarakat. Perang, kevulgaran dari privasi, dan bahaya kimia untuk kesehatan menjadi momok masyarakat. Dan sebenarnya film Lucy sudah memaparkan hal tersebut.
Revolusi akal budi yang dibawa oleh Lucy masih perlu dilengkapi dengan revolusi mental yang mengedepankan etika, nilai kemanusiaan dan keutamaan dalam mewujudkan masyarakat adil, sejahtera dan damai.***
Baca juga Resensi Film: “Hercules”, Saatnya Bertindak Lazimnya Manusia Setengah Dewa

Popular Posts