Resensi Film: “The Monuments Men”, Selamatkan Nilai Peradaban Manusia
JAS MERAH
Jas Merah atau kependekan dari “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” adalah hal yang mutlak. Ungkapan Presiden Soekarno tersebut hendak menandaskan pentingnya sejarah dalam pembentukan identitas manusia. Gagasan seputar sejarah ini digali dari perpektif yang apik dalam film The Monuments Men.
The Monuments Men memberi sisi lain dari Perang Dunia II yang dimenangkan oleh Sekutu. Sisi itu adalah sejarah menyangkut pembangunan peradaban manusia yang syarat dengan nilai religious, dalam hal ini pengaruh kristianitas di Eropa.
Di satu sisi perang meninggalkan kematian dan hilangnya suatu generasi bangsa. Tetapi ada sisi lain yang sering dilupakan bahwa, “Dalam perang kita harus memperjuangkan budaya dan cara hidup. Bila kita tidak mengamankan hasil karya manusia, maka kita akan kehilangan sejarah.” Menghilangkan karya-karya seni berarti juga memusnakan sejarah yang telah dibangun oleh manusia selama ribuan tahun. Demikian kurang lebih ungkapan Frank Stokes yang dimainkan oleh George Clooney kepada teman-temannya.
Selamatkan karya seni
Dia bersama temannya tergabung dalam Monuments Men. Richard Cambel (Bill Murray), Jean Claude Clermond (Jean Dujardin), James Granger (Matt Damon), Walter Garafield (John Goodman) dan Preston Savitz (Bob Balaban) adalah bintang-bintang hebat yang terlibat dalam film ini. Mereka berperan sebagai sejarawan, seniman, arsitek, akedemisi dan sebagainya. Mereka entah sukarela atau direkrut mendedikasikan dirinya untuk menjaga kekayaan budaya dari kekejaman Perang Dunia II.
Misi mereka ialah untuk menyelamatkan karya-karya seni nan agung dari penghancuran rejim Nazi Jerman. Berkali-kali nama Michael Angelo dan Leonardo da Vinci yang sangat kondang, Rembrandt tokoh baroque dari abad ke-16, dan Pablo Picasso yang berasal dari Spanyol tetapi wafat di Perancis disebut-sebut dalam film ini. Pada masa itu Hitler berencana mengumpulkan masterpiece tersebut di Fuhrer Museum. Tetapi caranya cukup licik yakni dengan merampas/mencuri karya-karya hebat dari Perancis, Belgia dan Amsterdam.
Kendati latar belakang dari film ini adalah penghujung dari Perang Dunia II khususnya zaman Nazi di bawah pimpinan Hitler yang mencaplok wilayah-wilayah di Eropa, unsur kekerasan dan pembantaian sama sekali tidak ditampakkan. Memang beberapa kali adegan dar der dor ditampilkan, reruntuhan bangunan di mana-mana, dan erangan kesakitan para tentara muncul untuk memberi kesan suasana perang. Namun flm ini sepenuhnya adalah drama.
Cara lain beriman
Jika diikuti jalan ceritanya, film ini seolah-olah merupakan perjalanan rohani bagi anggota The Monuments Men. “Apa pun yang diambil dari kita, tidak pernah akan bisa hilang,” salah satu ungkapan dalam film produksi Columbia Pictures dan Fox 2000 Pictures. Kalimat tersebut dikatakan ketika team yang dipimpin oleh Frank berhasil menemukan patung Madona dan kanak-kanak Yesus hasil karya Michel Angelo yang berada di Brugge, Belgia.
Sebelumnya, Donald (Huge Boneville), salah satu dari tim The Monuments Men, menulis surat di hadapan patung itu tentang kerinduannya bisa beristirahat damai. Donald memang kemudian ditembak di hadapan Madona ketika berusaha menjaga warisan sejarah di sebuah gereja di Belgia.
Penemuan patung Madona dan Kanak-kanak Yesus seolah-olah menjadi tujuan dari perburuan para Monuments Men. Bisa diumpamakan, inilah cara para monuments men menyembah Allah. Mereka beriman dengan memaknai sejarah, meraup makna dari sebongkah batu dan selembar kanvas, serta melestarikan karya itu.
Maka patut kalau The Monuments Men mendapat banyak pujian karena bisa mengangkat sisi yang lebih humanis dari sebuah perang. Film yang diangkat dari buku Robert M Edsel cukup menarik dan patut dinikmati. Jas Merah!***
Baca juga Resensi Film: “The Grandmaster”, Duel demi Martabat Leluhur dan Keluarga
Baca juga Resensi Film: “The Grandmaster”, Duel demi Martabat Leluhur dan Keluarga