Resensi Film: “The Grandmaster”, Duel demi Martabat Leluhur dan Keluarga

KEKERASAN dalam film sesungguhnya tidak harus selalu divisualisasikan dengan pemandangan darah berceceran dimana-mana. Inilah hebatnya film The Grandmaster dengan sederet bintang tenar: Zhang Ziyi, Tony Leung.
Film hasil besutan sutradara tenar Wong Kar-wai sama sekali tidak mengumbar darah. Sebaliknya ia memanjakan penonton dengan kekerasan namun dengan balutan artistik yan indah.
Kaca berserakan, denting senjata berdengung, air hujan memuncrat, kayu terbelah, dan masih banyak lagi. Kekerasan di The Grandmasterdibesut dengan sangat indah oleh Wong Kar-wai. Ini pula yang membuat saya terkagum menyaksikan perang tanding demi memperebutkan martabat leluhur dan keluarga melalui duel adu kehebatan kungfu.
Filsafat
Sesungguhnya, hebatnya The Grandmaster bukan perkara melulu soal kekerasan yang dibesut dengan indah, nyaris tanpa darah. Lebih dari itu, film ini bicara tentang filosofi kehidupan para pendekar kungfu di daratan Tiongkok sebelum negeri besar ini jatuh dalam genggaman penjajahan Jepang.

Ip Man (Tony Leung) yang hidup di belahan Selatan Tiongkok sebenarnya tidak berambisi jadi orang besar di jagad persilatan kungfu. Namun, karena harus menerima tantangan dari suhu paling top dari belahan Utara yang bernama Gong Yutian (Wang Qingxiang), akhirnya dia terpaksa meladeni tantangan duel.
Mana yang hebat: aliran kungfu dari Utara atau genre kungfu baru yakni wing chun, hasil besutan wilayah Selatan yang awalnya diprakarsai almarhum Chan Wah-shun, gurunya Ip Man. Duel indah dengan tataran dialog filosofis yang tinggi ini berakhir dengan ‘kemenangan’ Ip Man dan sejak itulah namanya berkibar di jagad persilatan.
The_Grandmaster_movie_screenshot_1
Utara vs Selatan: Duel antara dedengkot perguruan silat/kung fu dari Tiongkok Utara (kiri, diwakili oleh Gong Yutian) melawan aliran wing chun dari Tiongkok Selatan (kanan, diwakili oleh Ip Man). Duelnya indah, yakni berhasilkah mematahkan sepotong roti dalam sekali ayunan gerakan cepat khas kung fu tanpa harus merusak segalanya. (Ilustrasi/ist)
Namun, putri Gong Yutian yang menawan yakni Gong Er (Zhang Ziyi) tidak terima. Kekalahan aliran kungfu dari Utara yang direpresentasikan oleh ayahnya Gong Yutian mestinya jangan sampai kalah hingga malah memalukan oleh aliran kungfu Selatan yang direpresentasikan oleh Ip Man.
Karenanya, Gong Er minta tanding ulang. Syaratnya, kalau terjadi kerusakan di ruang duel itu maka yang merusak itulah yang harus mengaku kalah. Singkatnya, Ip Man terpaksa ‘kalah’ karena kayu dimana dia berpijak bergeser dan pecah.
Ternyata di balik duel indah itu, mata hati saling beradu pandang. Gong Er pun jatuh hati pada Ip Man dan membawa ‘kebahagiaan’ itu dalam kepulangannya ke Utara. Namun, sesampai di rumah, kabar tak sedap sudah menghadang: Gong Yutian –ayahnya—sudah mendepak murid kesayangannya Ma San (Zhang Jin) karena dinilai terlalu ambisius dan rakus kekuasaan.
Belakangan, Masan yang nantinya menjadi antek imperialis Jepang malah dikisahkan berhasil merebut ‘lisensi’ perguruan silat asuhan Gong Yutian.
Jepang masuk
Sejarah berputar cepat. Gelombang imperialisme Jepang merangsek masuk hingga sampai Tiongkok. Semua orang hidupnya jadi porak-poranda. Ip Man yang harus kehilangan anak dan istrinya di Foshan akhirnya mengungsi ke Hong Kong.

Begitu pun Gong Er. Telanjur berniat takkan menikah, takkan bermain kungfu, takkan mengajarkan silat sebelum melampiaskan dendam pribadi dan keluarganya atas Ma San, Gong Er pun ‘alih profesi’ menjadi tabib di Hong Kong.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Begitu kata pepatah. Gong Er mendapat tamu ‘pasien’ istimewa: Ip Man. Hati kembali beradu dengan hati. Namun itu tak kesampaian, karena ‘terhalang’ oleh niatan pribadi Gong Er yang memaksa diri harus mewujudkan janji diri menjunjung martabat keluarga dan nama besar perguruan silat asuhan Gong Yutian, almarhum ayahnya.
Maka, duel maut pun terjadi di sebuah stasiun Hong Kong antara Masan dan Gong Er. Sama-sama hebat dan sama-sama kuat. Namun, karena kurang satu jurus andalan perguruan, maka Masan pun kalah dan tubuhnya hancur disambar deru gerbong kereta api.
Gong Er puas, sekaligus meratapi ‘nasibnya’ sebagai anak perempuan. Dalam tradisi keluarga Tiongkok, anak perempuan tidak dianggap karena nantinya –selepas kawin—akan ‘hilang’ dan menjadi milik keluarga suaminya. Karenanya, hatinya tersayat ketika diejek Masan –sebelum duel- bahwa harta warisan perguruan silat Gong Yutian jatuh ke tangannya, dan bukan kepada anaknya kandungnya Gong Er.
Itu terjadi, “karena aku seorang perempuan!”.***
Baca juga Resensi Film: “Winter’s Tale”, Pertarungan Abadi di Dunia

Popular Posts