Resensi Film: “The Edge of Tomorrow”, Ambil Untung dari Perang

PEPATAH lama mengatakan Si vis pacem, para bellum. Kalau mau damai, maka kobarkanlah perang. Adagium lama ini kiranya menjadi pembuka saya untuk melihat kira-kira apa yang bisa menjadikan film The Edge of Tomorrow ini menjadi menarik untuk dibahas.
Perdamaian –seperti kata peribahasa Latin tersebut—sering kali barulah dicapai, setelah sekian lama berperang . Ketika kedua belah pihak sudah sampai babak belur , maka kemudian kedua kubu bersebelahan lalu merasakan urgensinya harus segera menghentikan pertikaian untuk kemudian berdamai.
Kalau tidak, ya bodhol semua: korban semakin banyak,ekonomi hancur dan peradaban manusia pun terperosok. Mengutip sesanti dari tradisi kristiani modern, maka budaya kematian merajai dunia dan karenanya perlu sekali lagi dikobarkan budaya kehidupan.
Peluang
Namun siapa nyana, kalau dalam pergerakan menggelorakan budaya kehidupan pasca perang itu muncul tokoh-tokoh yang ingin mengeruk keuntungan. Ibaratnya begini kalau diceritakan dengan mudah: pabrik-pabrik senjata tentu saja berkepentingan “harus” ada perang agar kemudian bisa menjual senjata mereka.
Menjual senjata tentu saja terjadi setelah perang usai, perdamaian diteken dan baru kemudian muncullah kebutuhan harus “mengamankan diri” dari risiko serangan musuh. Persis di sinilah, jual-beli senjata menjadi marak.
Mayor Bill Cage (Tom Cruise) datang ke London menemui Panglima Pasukan Gabungan Jenderal Brigham (Brendan Gleeson) bukan untuk berperang. Melainkan malah menyatakan diri takut berperang dan menuduh jenderal Amerika ini berkutat dengan rencana serangan perang yang massif di Pantai Normandia, Perancis.
Alkisah, kisah-kisah heroik Pasukan Sekutu dalam “D-Day” 6 Juni saat merebut pantai Normandia dari kepungan Pasukan Nazi Jerman tiba-tiba masuk dalam khasanah cerita film ini. Di situ dikisahkan entah bagaimana Cage bisa bertemu dengan Rita Vrataski (Emily Blunt), prajurit tangguh yang dinobatkan sebagai pahlawan perang di Verdun.
Rententan kisah kilas balik antara kedua tokoh ini benar-benar membosankan. Diulang-ulang hingga saya terpaksa memejam mata saking bosannya.
Semula, saya kira The Edge of Tomorrow sekelas asyiknya seperti Mission Impossible. Namun, ternyata tebakan saya salah hingga kemudian saya memilih tidur nyenyak di bangku bioskop.***
Baca juga Resensi Film: “The Monuments Men”, Selamatkan Nilai Peradaban Manusia

Popular Posts