Resensi Film: “Dawn of the Planet of the Apes”, Kera Berjiwa Manusia

APA jadinya bila sekawanan kera –mulai dari gorilla, simpanse hingga orangutan—punya perasaan, sejiwa dan sepikir lazimnya umat manusia? Bisa kacau namun sekaligus bisa juga damai. Namun, film besutan sutradara Matt Reeves ini justru menawarkan opsi pertama: kekacauan di San Fransisco terjadi akibat ulah kudeta barbar yang dimotori oleh Koba, seorang simpanse tamak, ambisius dan membenci manusia.
Caesar justru berperan di kubu sebaliknya: berkawan dengan manusia lantaran dulu dia menjadi binatang peliharaan seseorang yang tidak diketahui namanya. Lalu ucul  (kabur) dan akhirya kembali ke habitat aslinya di hutan di Muir Woods.
Syaratnya satu
Permusuhan Caesar dengan Koba sebenarnya hanya dipicu oleh masalah sepele, yakni posisi batin kawanan kera terhadap manusia. Caesar –kepala kawanan kera—memilih berkawan dengan manusia, karena sosok Malcom, Ellie dan anak mereka Alexander yang bersikap ‘ramah’ terhadap kawanan kera. Sementara, Koba memilih jalur permusuhan dengan manusia karena luka batinnya di masa lalu karena pernah disiksa manusia.

Pertemuan tak sengaja antara Malcom cs dengan kawanan kera terjadi lantaran mereka masuk ke kawasan hunian simpanse.  mahkluk primata yang konon nyaris sepintar manusia ini. Karena gugup dan panik, Carver tanpa sengaja menembak Blue Eyes –anak Caesar– sementara temannya Ash –anak kera bernama Rocket—selamat tak kena terjang timah panas.
Insiden di tepian Muir Woods ini memicu permusuhan kelompok kera pimpinan Caesar melawan umat manusia di sebuah permukiman karantina di San Fransisco pimpinan Dreyfuss (Gary Oldman). Namun, sikap dan perilaku Malcom yang berkawan dengan kera akhirnya ‘melumpuhkan’ kemarahan kawanan Caesar.
Syaratnya hanya: jangan bawa senapan api ke Muir Woods, karena kawanan kera merasa terancam dengan hadirnya magasin dan mesiu ini.
Sesama kera dilarang saling bunuh
Pertemanan Caesar dan Koba berakhir rapuh. Pemali yang berlaku di dunia kera yakni sesama kera dilarang saling baku bunuh menjadi lumer, setelah Koba diam-diam bernafsu menjadi pemimpin kawanan kera menggeser Caesar dari singgasananya. Maka, prinsip umum seperti the survival of the fittest pun berlaku di sini: siapa yang kuat, maka dialah yang akan menjadi ‘Raja Kera’.

Setting duel penentuan siapa yang terkuat di kawanan kera ini memang terjadi: Koba berduel melawan Caesar yang sebelumnya berhasil dia tembak. Akhir cerita, Koba pun tewas karena kelicikan dan keangkuhannya.
Indonesia pasca pilpres
Persabahatan antarkera dan sikapnya yang bisa memusuhi namun juga bisa berkawan dengan manusia membawa saya pada refleksi tentang kondisi masyarakat Indonesia pasca pilpres ini.
Koba mencerminkan sosok kera yang tamak, haus kuasa, dan menaruh perasaan selalu curiga kepada manusia, sekalipun Malcom cs sudah menunjukkan niat baiknya. Tentu, di sini kawanan Dreyfuss yang berambisi menghidupkan jaringan pembangkit tenaga listrik di hutan Muir mesti diperkecualikan.
Koba mirip para politisi busuk yang ingin mengupayakan apa saja, asalkan keinginnya terpenuhi. Dan itu tak lain adalah nafsu untuk berkuasa. Ngeri memang kalau Indonesia pasca pilpres ini dikangkangi oleh model pemimpin yang haus kuasa dan menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertandingannya.
Koba memakai senjata buatan manusia untuk menggolkan ambisi kekuasaannya melawan dominasi Caesar.
Sosok pemimpin kera bernama Caesar berdiri di kubu berbeda. Karena pernah bergaul mesra dengan manusia, ia memilih bijak dalam melakoni hidup. Tegas anti membunuh sesama kera, Caesar pun juga tegas terhadap manusia: jangan bawa senapan masuk ke kawasan hunian kera di Muir Woods.
Namun Caesar pun punya hati berbelarasa lazimnya umat manusia yang punya nurani untuk bisa trenyuh dan berbelas kasih sekaligus berterimakasih. Karena itu, Caesar pun berkawan dengan Malcom ketika semua persyaratan itu dipenuhi. Termasuk kegigihan Ellie untuk menyembuhkan istri Caesar dan mengeluarkan peluru dari tubuh Caesar yang barusan ditembak Koba.
Koba dan Caesar ibarat dua kubu pasca pilpres Indonesia tahun 2014.
Yang satu memakai ilmu logika dan hati, pihak lainnya hanya mengandalkan ambisi untuk berkuasa.
Koba pun tak sungkan memakai senjata hasil rampasan dari umat manusia dan kemudian memakainya untuk meneror kawanan mereka sendiri: dunia kera.
Asyik benar nonton film Dawn of the Planet of the Apes, serasa nonton dinamika politik Indonesia pasca Pilpres 2014 yang sedemikian hebohnya karena tafsir berbeda atas hasil quick counts yang menghebohkan.***
Baca juga Resensi Film: “Noah”, Drama Religius Superhuman

Popular Posts