Resensi Film: “Noah”, Drama Religius Superhuman

INI film drama aksi religius. Film Noah (“Nuh” demikian lebih akrab di telinga kita) sebenarnya sudah agak lama beredar (sekitar bulan April yang lalu) namun sepertinya tidak banyak beredar di bioskop Indonesia. Film Noahdiangkat dari kisah Kitab Kejadian 6:9-9:29. Kisah sepanjang 3 bab tersebut dinarasikan kembali dengan interpretasi zaman ini oleh Darren Aronofsky dan Ari Handel selama 138 menit.
Darren berusaha keras menggambarkan zaman ribuan masehi sebelum Yesus ini dengan cukup apik. Berdasar sejarah peradaban manusia, tentu masa itu terhitung masa purbakala yang jauh dari kemapanan. Bangsa manusia digambarkan sebagai bangsa nomaden yang menggembara. Secara spesifik mereka belum memiliki agama yang pakem namun kepercayaan kepada Sang Pencipta, pandangan akan alam semesta dan jati diri manusia telah dipunyai. Maka memang pekerjaan berat bagi Darren untuk memvisualisasikan jaman ini dengan pesan yang sangat relevan untuk masyarakat postmodern sekarang ini.
Kalau harus berkomentar tentang pesan dari fim yang diperankan oleh jagoan-jagoan Hollywood seperti Russell Crowe, Jennifer Connelly, dan Anthony Hopkins, secara singkat dalam satu kata ialah superhuman. Mengapa superhuman?
Noah dan kapal raksasa
Setelah mengalami beberapa penampakan dan pencerahan, Noah menemui kakeknya Methuselah, untuk menegaskan arti wangsit yang dia dapatkan. Singkatnya, sang pencipta kecewa dengan ciptaannya yang bergelimang kejahatan maka Dia hendak menghapuskan apa yang telah diciptakannya dengan mengirim banjir bandang. Untuk itulah Noah berkata pada istrinya tentang semua yang dia kerjakan dengan membuat sebuah kapal raksasa, “Belas kasih Allah sudah lewat, sekarang saatnya penghakiman.”

Kecenderungan hati manusia untuk berbuat jahat telah menjadikan manusia kalap dengan membunuh satu sama lain dan rakus menkonsumsi binatang-binatang. Sebagai jawabnya Sang Pencipta menetapkan penghakiman yang dilukiskan dengan kemarahan alam semesta yang telah digunduli dan dirusak oleh manusia. Hal serupa ditegaskan oleh Methuselah ketika didatangi oleh istri Noah, “Keadilan? Ciptaan alam ini sudah dirusak karena kita ngawur dan menyalahgunakannya. Maka kita harus dimusnahkan.”
Penghakiman sebenarnya konsekuensi kegawuran manusia itu sendiri.
Mengapa Noah dan keluarganya selamat? Noah dipilih oleh Allah karena dia berbeda dari manusia lain. Noah dikatakan benar karena dia tekun mendengarkan sang Pencipta dan taat kepadaNya. Digambarkan Noah sangat kaku bahkan tanpa kompromi dalam menjalankan kehendak Allah. Sikap kepada anak ragilnya yang ngeyel, kemarahan pada istrinya yang membujuknya untuk berlunak hati, dan sikap kepada menantunya yang tidak taat, bahkan Noah nyaris tega menyembelih cucu kembarnya, menjadi bukti kesetiaannya pada kehendak Allah.
Sebab dosa
Di satu sisi film Noah menayangkan manusia Noah yang berusaha mengikuti pesan Allah tetapi di sisi lain film ini membeberkan manusia lain yang mendengarkan dirinya sendiri. Personalisasi dari pribadi yang mendengarkan diri sendiri ialah Raja Tubal Cain. Dia secara tegas memahami arti manusia berlawanan dengan Noah. Manusia itu mahkluk paling mulia dan serupa dengan Allah maka dia punya kuasa atas alam semesta.

Berkali-kali pesan ini disampaikan. “Kita adalah manusia, kitalah yang menentukan hidup dan mati kita. Kita memilih hidup. Ayo kita hancurkan mahkluk-mahkluk itu, bunuh Noah dan rebut kapal itu,” pidato si raja di hadapan bangsanya yang mirip orang barbar. Atau apa yang dikatakan olehnya kepada anak Noah,
“Keunggulan manusia adalah ketika kita memutuskan apa yang kita maui.”
Inilah konsep superhuman yang diserukan dalam film ini. Nietzsche, filsuf modern menyerukan hal ini. “God is dead.” Manusia hanya bisa bebas kalau berhasil “membunuh Tuhan” karena Tuhan itu memenjarakan manusia dan membuat manusia tidak bebas. Kurang lebih demikian gagasan Nietzsche.
Film Noah juga menekankan hal ini sebagaimana dapat disaksikan pararelnya dari peristiwa Eden dimana manusia memilih untuk tidak mendengarkan Tuhan, dilanjutkan dengan pembunuhan Habel oleh Kain sampai zaman Noah. Semua itu berujung pada penghakiman. Maka dapat disimpulkan konsep sekularisme inilah yang ditajamkan dalam film Noah sebagai sumber malapetaka dunia.
Memilih ego atau Dia
Setelah 40 hari terombang-ambing di air, keluarga Noah mendarat di sebuah pulau. Di sana Noah terlibat percakapan dengan menantunya. Si menantu menanyakan alasan Noah mengurungkan niatnya untuk menghabisi cucu kembarnya. Noah menjawab, “Ketika aku melihat gadis kecil itu, hatiku dipenuhi cinta.”

Lalu si menantu berkata, “Dia memilihmu untuk suatu alasan. Dia menunjukkan padamu kelemahan manusia… keputusan hidup memang diletakkan ditanganmu olehNya. Dia meminta kita untuk membuat keputusan bila engkau mau menyelamatkan sesuatu… dan engkau memilih belas kasih. Memilih cinta. Dia memberi kita kesempatan kedua untuk menjadi seorang ayah, seorang kakek…”
Demikianlah kritik jitu dari Noah untuk manusia modern, “Menjadi manusia sejati itu bukan dengan mendelete suara Tuhan dalam keputusan kita untuk menyelamatkan dunia karena jika demikian buahnya adalah kehancuran. Menjadi manusia sejati berarti berani memilih belas kasih (sifat sang Pencipta) dalam setiap keputusan kita.”
Tentu saja Darren dan Ari tidak bermaksud bermisi tetapi mereka mau menyajikan hiburan (juga mengeruk uang) dengan materi bertema religious. Namun setidaknya kita mendapatkan pelajaran bahwa Superhuman adalah persoalan manusia dari jaman purbakala hingga jaman ini. Superhuman inilah penyebab kehancuran dunia.***
Baca juga Resensi Film: “Heaven is for Real”, Kunci Melihat Surga

Popular Posts