Resensi Film: “Brick Mansions”, Dulu Musuh tapi Sekarang Malah Berkawan
ANEKA hubungan yang begitu rumit terjadi di antara pusaran kelompok geng preman pimpinan Tremaine Alexander (RZA), polisi anti narkoba Damien Collier (alm. Paul Walker) dan Lino (David Belle). Semua orang a saling berusaha menghancurkan dan bahkan berniat membunuhnya. Namun, di sini tidak ada musuh abadi. Yang ada kemudian hanyalah kepentingan ‘bersama’ untuk menggulung penjahat berdasi di balik meja pemerintahan kota Detroit.
Lino semula ada penjahat kelas kakap anggota geng Tremaine. Namun, kemudian berkianat karena membuang puluhan kilo narkoba. Damien mulanya menjadi antek seorang pengusaha Yunani Geoge the Greek yang kotor, namun kemudian menjebloskannya ke penjara.
Lola (Catalina Denis) –cewek bahenol berdarah Hispanik—semula adalah kekasih Lino. Liar dan ahli gelut. Namun, meski sudah pisah lama, keduanya menjadi rujuk kembali dalam kisah yang serba rumit ini.
Duel keras lucu tanpa henti
Dibesut oleh sutradara Perancis Camille Delamarre dengan naskah garapan sutradara ngetop Luc Besson, Brick Mansions sejatinya adalah film terakhir Paul Walker –tokoh film Fast and Furious—sebelum akhirnya tewas dalam sebuah tabrakan tunggal pada tanggal 30 November 2013.
Di sini, Paul tampil menawan. Bukan saja dia jago kepruk, melainkan aktingnya semakin mendarat dengan sosok peran polisi baik yang harus dia mainkan sebagai Damien. Lawan mainnya adalah Lino yang sangat kawakan dalam urusan duel dan jago kepruk dengan kualitas prima: loncatan-loncatan indah layaknya jago kungfu legendaris Jackie Chan alias Chen Lung.
Dari 5 menit pertama, kita sudah disuguhi adegan-adegan dahsyat bagaimana Lino bisa ‘merayap’ dan ‘terbang’ tinggi menjulang melintasi ‘batas’ antara dua gedung pencakar langit. Pun pula, layaknya cicak, dia bisa merayap indah tanpa harus jatuh ke tanah. Spiderman ini bernama Lino dengan pacarnya yang seksi, namun ternyata jago kepruk juga.
Sekilas, film ini seperti kisah daur ulang atas film lawas berjudul District 13.
Meski film anyar ini karya besutan bersama antara produser Eropa dan Kanada, namun citarasa Amerika begitu kental. Bukan saja karena lokasi kisah kejahatan di balik kerah besi ini terjadi di Detroit, AS, tapi juga ragam corak yang norak lazimnya para geng Amrik suka berkata-kata kasar dan mengacungkan satu jari tengah.
Biasanya film action gaya Amerika hanya urusan gedebag-gedebug saja. Namun untunglah, Brick Mansion bukan saja urusan pentungan dan jotosan yang memang ciamik. Lebih dari itu, ini bicara tentang rumitnya pertalian antarmanusia. Kadang musuhan, namun bisa menjadi kawan karena kepentingan yang sama. Absurd memang, karena memang itulah dunia ‘politik’ kaum preman yang nyaris mirip sama dengan dunia politik Indonesia.
Tak ada yang musuh atau teman abadi, selain hanya kepentinganlah yang bermain dan selalu eksis menyetir hidup manusia. Brick Mansions membuktikan kebenaran adagium ini.***
Baca juga Resensi Film: “X-Men: Days of Future Past”, Yang Luar Biasa Menakutkan Manusia
Baca juga Resensi Film: “X-Men: Days of Future Past”, Yang Luar Biasa Menakutkan Manusia