Resensi Film: “Boys of Abu Ghraib”, Pengakuan Tentara Perang Irak
JACK Farmer (Luke Moran) bermimpi dapat menyumbangkan dirinya untuk negaranya: USA. Dia menjadi tentara untuk perang di Irak. Sesampai di Irak, dia bersama beberapa rekannya ditempatkan di Abu Ghraib di sekitaran Bagdad.
Abu Ghraib itu semacam kota mati karena pada zaman Perang Irak-Iran, menurut para intel, merupakan daerah pabrik pembuatan senjata kimia. Selain itu, terdapat sebuah penjara di sana yang dipakai oleh rezim Saddam Hussein. Setelah kekalahan Irak, tentara Amerika memakai penjara itu.
Membunuh kebosanan
Bagi penyuka film aksi dan perang, kendati film ini memiliki setting tahun 2004 dan latar belakang invansi tentara Amerika, Boys of Abu Ghraib pertama-tama adalah film drama. Di dalamnya diramu kisah pergulatan tentara-tentara Amerika yang tengah ditugaskan di penjara Abu Ghraib.
Seperti buku harian, film yang sebenarnya lebih interest pribadi Luke Moran (dia penulis, pengarah, produser, dan pemeran utama), mengambarkan secara singkat dan padat kehidupan tentara sehari-hari yang diwarnai oleh ketidakpastian, ancaman kematian dan menunggu saat dipulangkan ke negaranya.
Jack salah satu tentara muda yang bertugas untuk mengurusi tahanan perang mengalami krisis suara hati. Haruskah Jack mengikuti perilaku tentara lainnya Tanner (Sean Astin) yang semena-mena menyiksa tahanan ataukah berperilaku manusiawi.
Dalam kesepian di tempat tugas dan menanti saat pulang itulah Jack menjalin persahabatan dengan tahanan yang terlihat lugu (Omid Abtahi). Akan tetapi tekanan pekerjaan mempengaruhi situasi psikologisnya dan tak terelakkan lagi hati Jack semula yang berelaskasih pun “terjangkiti” gaya Tanner.
Jack diformat oleh lingkungan untuk berperilaku brutal dan tanpa ampun.
Buah mimpinya untuk mengabdi negara tersebut hancur. Kepulangan Jack membawa trauma. Dirinya pun tahu mesti menyandang stigmata perang. Mass media mengangkat perilaku kejam para tentara di penjara Abu Ghraib yang sangat keji.
Itulah harga yang harus dia bayar dari sebuah perang.
Jempol untuk film
Film ini memang dapat membuat lelah penonton. Apalagi adegan-adegan di dalamnya seperti pengulangan. Penonton disuguhi jadual harian yang membosankan. Sepi dari kontak fisik. Para tokoh menyampaikan pesan apa yang saban hari mereka buat dan lewat ekspresi wajah.
Namun sebenarnya penonton diajak memasuki perang psikologis para macho yang rindu kompetisi dan tantangan tetapi kenyataannya sehari-hari mereparasi mobil, membuang kotoran para tahanan, dan pengarahan-pengarahan. Ini yang membuat film ini secara khusus menjadi menarik.
Juga hal yang patut mendapat pujian atas film ini ialah pengambilan gambar yang impresif. Suasana penjara yang mencekam, keadaan para tahanan setelah disiksa (kendati penyiksaan tahanan tidak disajikan sebagai menu film), lingkungan padang pasir yang senyap, dan tentunya adegan-adegan simbolis lainnya.
Akhirnya, film ini juga menyuarakan azas kemanusiaan dalam perang. Betapa azasinya sebuah penghargaan terhadap nilai hidup entah itu kepada mereka yang telah melakukan kejahatan perang ataupun pertama-tama kepada mereka yang lemah dan tidak bisa membela diri.
Jempol untuk film ini. Selamat menikmati.***
Baca juga Resensi Film: “Drive Hard”, Suami Kalah Pamor dengan Istrinya
Baca juga Resensi Film: “Drive Hard”, Suami Kalah Pamor dengan Istrinya