Resensi Film: “Transcendence”, Petaka bila Manusia ‘Menjadi’ Seperti Tuhan
SOSIOLOG agama Rudolf Otto dengan gemilang membahas pengalaman fascinosum et tremendum, ketika membahas tentang pengalaman ‘religius’ manusia akan Yang Ilahi dengan siapa manusia merasa sekaligus takjub dan gentar. Inilah dasar darimana sikap religius manusia muncul dan kemudian nilai-nilai itu dibakukan oleh kelompok beriman dalam sebuah tatanan sosial-religius yang bernama agama.
Film dengan latar belakang ambisi manusia cerdas bernama Dr. Will Caster (Johnny Depp) tentu saja tidak bicara gamblang tentang pengalaman fascinosum et tremendum itu. Namun, ketika hasil penemuannya menjadikan kaum cendikia dan militer sampai pada getaran yang fascinated and fearful, di situlah manusia bisa menjadikan hasil karyanya sebagai ‘agama’ baru.
Teknologi sebagai ‘agama’ baru
Di sini ‘agama’ baru yang dipuja itu adalah hasil riset teknologi yang berhasil diciptakan oleh Dr. Caster. Ia dipuja sekaligus diintai kematiannya karena jangan-jangan hasil teknologinya itu nantinya membuat celaka banyak orang.
Padahal sejatinya justru tidak. Dr. Caster menciptakan teknologi canggih berupa sistem komputer yang membuat orang merasa takjub sekaligus takut demi tujuan mulia: menyembuhkan penyakit dan ‘membangkitkan’ orang dari kematian. Singkat kata, apa pun namanya Dr. Caster sudah seperti “Tuhan” yang punya kuasa dan kekuatan untuk membangkitkan apa yang rusak dan mati menjadi “manusia baru”: sungguh plek, sama seperti yang dulu.
Meski mati, namun sistem komputer yang dia ciptakan berhasil ‘membuat’ dia hidup kembali, sekalipun pada awalnya tidak punya wadag korporal. Itulah yang menbuat istrinya Dr. Evelyn Caster (Rebecca Hall) takjub sekaligus gentar, karena sekali waktu eksistensi suaminya yang hidup di ‘dunia lain’ ini tidak bisa lagi dia kendalikan. Tak terkecuali Max Waters (Paul Bettany), sahabat setia pasangan ilmuwan ini.
Dilema hidup
Apa maunya Caster, ya di situlah kejadian harus tergelar. Persis di sinilah jejaring intelijen AS yang dimotori oleh ilmuwan Joseph Tagger (Morgan Freeman) menjadi pihak yang sangat berkepentingan. Di satu pihak dia mengucapkan selamat atas ‘prestasi’ gemilang pasangan Caster; namun pada pihak lain bersama agen FBI Donald Buchanan (Cillian Murphy), dia menaruh curiga dan ingin melenyapkan hasil kreasi cerdas intelektualitas manusia ini.
Antara mempertahankan teknologi demi kebaikan dengan keharusan memusnahkannya karena dianggap membahayakan ‘keamanan nasional’. Inilah dunia kebatinan yang kemudian dialami oleh Dr. Evelyn Caster bersama Max Waters di sebuah kota ‘antah berantah’ yang semuanya dikendalikan oleh sistem komputerisasi canggih.
Transendensi
Trancendence –sesuai arti katanya—yakni melampaui batas-batas kemampuan manusiawi adalah film science dengan tema serius. Menjadi sangat menarik, karena penampilan aktor kondang Johnny Depp yang sangat berkelas.
Berbeda dari gaya tampilannya yang cenderung dikasting selalu congkak dan eksentrik seperti diThe Tourist dan The Pirates of Carribean, di Transendence ini Johnny Depp dibesut harus tampil serius, tanpa tawa dan dingin. Tapi ya itulah kekuatan seorang Depp. Ia mempesona tidak hanya karena ketampanannya; lebih karena dia mampu membawa pesona bagaimana sistem komputerisasi nan canggih hasil ciptaannya itu bisa membuat orang lain mengalami “transendensi” akan Yang Ilahi.
Di sinilah –kata Rudolf Otto—pengalaman akan yang fascinosum et tremendum menjadi tergelar di depan mata.***
Baca juga Resensi Film: “The Amazing Spider-Man 2”: Kenapa Emma Stone “Gwen Stancy” Harus Mati?
Baca juga Resensi Film: “The Amazing Spider-Man 2”: Kenapa Emma Stone “Gwen Stancy” Harus Mati?