Resensi Film: “The Amazing Spider-Man 2”: Kenapa Emma Stone “Gwen Stancy” Harus Mati?
KEMATIAN kedua orangtuanya yang tetap misteri sepanjang hayat telah menguras energi kehidupan Peter Parker (Andrew Garfield). Ia menjadi nelangsa, tak tahu darimana sebenarnya dia berasal hingga tak jarang sering uring-uring dengan bibinya (Sally Field).
Kematian Norman Osbon (Chris Cooper) –pemilik imperium bisnis Oscorp—juga menyisakan jagad pelik bagi Harry Osborn (Dane DeHaan). Meski mewarisi harta kekayaan berjibun, hatinya dibuat sangat rapuh setiap kali didera pertanyaan: mengapa hidupnya menjadi sekarat dan pernah ‘dibuang’ oleh ayahnya sendiri.
Kematian Gwen Stancy (Emma Stone) juga menyisakan kegundahan pada saya. Setidaknya peluang kemunculan gadis blonde berparas manis ini sudah tipis dalam sekuel Spiderman berikutnya. Padahal, selain memang daya eksotisme Emma ketika bersepatu lars dan padangan mini-skirt, munculnya dara manis ini juga menjadi roh penyeguk jiwa bagi Spider-Man yang kesepian dan nelangsa setiap kali mengukir mimpi mencari jawab atas keberadaan orangtuanya.
Mimpi buruk tanpa henti
Kematian-demi-kematian menjadi ‘mimpi’ buruk bagi Spiderman, Harry Osborn, dan saya pribadi. Dan kematian Max Dillon yang belakangan beralih ujud menjadi Electron (Jammie Foxx) memang menjadi mimpi menakutkan. Tidak hanya bagi pasangan romantic Gwen Stancy dan Pater Parker; melainkan justru bagi seluruh warga penghuni New York.
Karena itu, hadirnya sosok manusia super-hero seperti Spiderman menjadi dambaan publik.
Namun, jauh di lubuk hati sana, Spiderman sesungguhnya adalah sosok pribadi yang rapuh, kesepian, nelangsa dan sakit. Apalagi ketika mengetahui Gwen harus segera pindah ke Inggris untuk bisa melanjutkan studinya di Ofxord University.
Meski skenario studi lanjut di Inggris itu batal lantaran bumi New York dibuat porak-poranda oleh Electron, namun sekali lagi –kematian—telah membuat jalinan relasi antar manusia menjadi ikut limbung karenanya. Pertemanan baik antara Peter Parker dan Harry Osborn rusak oleh ambisi. Relasi baik antara Gwen dengan Max di satu pihak dan dengan Peter di pihak lain berubah 360 derajad oleh kerapuhan manusia: kesepian yang absurd hanya karena Max selalu dianggap tidak penting dalam sebuah tatatan sosial.
Maklumlah Max hanyalah teknisi kecil di perusahaan raksasa Osborn. Ia hanyalah sekrup kecil di tengah mesin-mesin raksasa bernama industri bisnis.
Absurditas kehidupan
The Amazing Spider-Man 2 dengan segala pernak-pernik teknik sound-effect yang heubatsesungguhnya adalah kisah manusia tentang kesepian yang absurd. Juga tentang kematian yang dengan gampang bisa diterangkan dengan akal sehat, namun susah dipahami dengan hati.
Itulah sebabnya, kita tidak bisa mengerti mengapa Osborn Corp dengan sengaja menciptakan projek misterius sekaligus prestius namun justru membinasakan arsitek perancang programnya sendiri: Richard Parker yang tak lain adalah ayah biologis Peter Parker alias Spiderman. Mengapa pula, Norman Osborn harus meninggal dalam kesepian, sementara kerajaan bisnisnya melimpah ruah di tengah jagad dunia korporasi di belantara gedung-gedung tinggi di New York.
The Amazing Spider-Man 2 memanglah film hiburan semata. Namun, saya melihat bagaimana dunia modern yang kini dikuasai oleh teknologi rekayasaini sekali waktu akan menjadi ancaman serius bagi pemrakarsa sendiri. Para insinyur atau ahli rekayasa genetika bisa sekali waktu dibuat kagum sekalipun takut, ketika melihat hasil-hasil percobaan biologisnya malah melampaui perkiraan yang mereka bayangkan.
Itulah sebabnya, saya ikut bersedih karena Emma Stone yang menjadi pesona kokoh dalam film ini harus dibuat mati. Padahal, kehadiran Gwen menjadi roh kehidupan bagi Parker yang kesepian. Saya menjadi cemas menyaksikan bagaimana Rhino –badak baja berjiwa manusia Aleksei Sytsevich —nantginya akan menjadi ancaman selanjutnya bagi warga New York di sekuel berikutnya.
Selebihnya, The Amazing Spider-Man 2 benar-benar asyik.***
Baca juga Resensi Film: “Brick Mansions”, Dulu Musuh tapi Sekarang Malah Berkawan
Baca juga Resensi Film: “Brick Mansions”, Dulu Musuh tapi Sekarang Malah Berkawan