Resensi Film: "The Help", Melihat Pelayanan dari Kacamata Pelayan

PERMENUNGAN makna hari-hari besar dalam Pekan Suci membawa kita ke dalam refleksi akan kasih, pelayanan, dan pengorbanan. Pada kesempatan Misa Kamis Putih di pusat rehabilitasi bagi orangtua dan kaum disfabel, Paus Fransiskus berpesan: “Jadilah pelayan satu bagi yang lain.” Keteladanan diberikan oleh Yesus yang membasuh kaki para rasul pada Perjamuan Malam Terakhir. Tindakan serupa dilakukan Paus dan seluruh imam pada misa Kamis Putih di seluruh dunia.
Pesan tersebut membuat saya teringat akan film menarik yang saya tonton dua hari sebelumnya,The Help. Sebuah film yang memang berkisah tentang pelayan alias pembantu rumah tangga.
Era civil rights di AS
The Help (2011) merupakan film besutan Tate Taylor, hasil adaptasi dari buku Kathryn Stockett (2009) dengan judul sama. Film ini mengambil latar belakang sejarah era civil rights di Amerika Serikat pada tahun 1960-an di kota Jackson, Mississippi. Pada saat itu, di AS sedang gencar berlangsung gerakan penghapusan diskriminasi terhadap warna negara ‘berwarna’.
Dikisahkan di situ ada sosok Eugenia “Skeeter” Phelan, wanita muda yang baru lulus sarjana dengan pandangan idealis dan tidak rasial. Skeeter (Emma Stone) yang bekerja sebagai penulis kolom tips rumah tangga di sebuah koran lokal bercita-cita menjadi penulis. Ia memiliki ide menulis dari perspektif para pembantu kulit hitam yang bekerja pada majikan kulit putih.
Adegan dalam film “The Help”
Baginya, mereka sama sederajat dengan semua yang lain; dia sendiri walaupun memiliki orangtua lengkap, lebih diasuh dan dididik oleh pembantu keluarga mereka sejak kecil. Nilai-nilai kebaikan dan kehidupan ditanamkan sang pelayan, Constantine.
Gagasan tulisan tersebut disetujui oleh seorang editor penerbitan besar dan dia diminta segera memulai projek buku tersebut mumpung masalah civil rights lagi hangat di masyarakat. Rupanya mencari narasumber yang bersedia bercerita tidak segampang yang dia kira. Pada awalnya dia hanya mendapatkan dua sumber yaitu Aibileen Clark (Viola Davis) pelayan separuh baya yang telah mengasuh lima anak kulit putih, hidup sebatang kara sejak anak tunggalnya meninggal karena kecelakaan kerja.
Sumber keduanya adalah Minny Jackson (Octavia Spencer), seorang pelayan dengan tiga anak dan suami yang kejam. Minny yang jagoan bikin kue juga jagoan silat lidah, sifat yang membuatnya harus berpindah kerja beberapa kali.
Mereka tidak setara
Sebagian masyarakat kulit putih di Jackson, Mississipi, masih memandang rendah orang kulit berwarna, menganggap mereka tidak setara. Teman Skeeter yang rasis, Hilly Holbrook bahkan membuat inisiatif perlunya pemisahan toilet di rumah karena orang kulit berwarna membawa ‘penyakit’ yang berbeda dan bisa membahayakan kulit putih. Dia memecat Minny Jackson yang terpaksa menggunakan toiletnya karena di luar sedang terjadi angin taufan.
Kisah demi kisah diceritakan keduanya kepada Skeeter dalam pertemuan rahasia mereka di rumah Aibileen Clark. Tetapi editornya meminta agar lebih banyak pelayan yang berkisah, tidak hanya dua orang. Tugas yang sulit dilaksanakan Skeeter mengingat para pelayan takut bercerita lantaran kekhawatiran akan dipecat oleh majikan mereka ketika buku tersebut diterbitkan.
Keberanian mereka muncul ketika salah seorang pelayan ditangkap polisi atas tuduhan mencuri oleh Hilly Holbrook dan terjadinya insiden pembunuhan atas seorang kulit hitam. Buku itu akhirnya diterbitkan dengan menggunakan nama-nama samaran, walaupun Skeeter khawatir akan reaksi negatif dari keluarga-keluarga yang diceritakan. Rupanya Minny memiliki kartu truf berupa kisahnya tentang Hilly Holbrook yang begitu buruk sehingga akan membuat Hilly yang berpengaruh di masyarakat berupaya menyangkal bahwa kisah-kisah dalam buku tersebut terjadi di Jackson.
Film ini tidak sekelam film-film tentang perbudakan, karena pada masa itu perbudakan memang sudah dihapuskan. Tetapi ketidakadilan bisa kental dikenali, walau juga berbalut hal-hal yang mengundang senyum. Tentu tidak seberat film 12 Years a Slave atau Django Unchained, tetapi tetap menarik untuk ditonton. Nilai-nilai kehidupan banyak tersirat dalam film yang mencetak box office ini.
Dengan modal $25 juta, film ini berhasil mendulang $ 211,6 juta. Tak ketinggalan sejumlah penghargaan disabet, seperti piala Oscar untuk permainan akting Octavia Spencer (aktris pendukung terbaik), film terbaik Screen Actors Guild Award, dan juga nominasi Oscar sebagai film terbaik, aktris terbaik (Viola Davis) dan aktris pendukung terbaik (Jessica Chastain).
Film yang bisa membuat kita bersyukur bahwa kita tidak hidup di era tersebut, tetapi juga sekaligus berefleksi bahwa masih banyak ketidakadilan dalam bentuk lain yang terjadi di era sekarang.***
Baca juga Resensi Film: “Oz the Great and Powerful”, “Goodness” Lebih Mulia Dibanding “Greatness”

Popular Posts