Resensi Film: “Riddick”, Lawan Jadi Kawan

IBARAT dalam dunia persilatan yang sering kita baca di komik-komik, sejarah dendam atas kematian anggota keluarga bak garis panjang lurus tiada putusnya. Begitulah dendam kesumat yang membakar jiwa Boss Johns (Matt Nable)  hingga akhirnya ia bersama gerombolan serdadu bayarannya mendarat di sebuah planet antah berantah.

Misinya hanya ingin membunuh Riddick (Vin Diesel) yang konon pernah membuat anaknya celaka hingga menemui ajalnya. Namun, Boss tidak sendirian dalam hal ini, karena tim lain pimpinan Santana (Jordi Mollà) juga punya keinginan sama: menyembelih leher Riddick dan memenggal kepalanya demi segepok uang bayaran.

Nah, di wahana planet antah berantah inilah kisah saling intip dan saling kerja antara Riddick dengan kelompok Boss dan Santana berlangsung. Tidak terlalu menarik untuk saya, karena skenario cerita di sini justru lebih banyak mengumbar kehebatan Riddick bermain dengan kematian atas makhluk-makhluk ganjil mirip tyrex yang tidak hanya haus darah tapi juga beracun.

Berebut saklar

Permusuhan antara Riddick dengan Boss berakhir dengan kesepakatan bersama yakni berbagi saklar. Namun, hal ini ditentang oleh Santana yang akhirnya membawa dia pada ujung pedangnya sendiri: tertebas kepalanya dan masuk kotak kematian.

Untunglah, di tengah keraguan menjalani pertemanan itu ada tokoh perempuan bernama Dahl (Katee Sackhoff).  Sekalipun sejatinya dia ini adalah seorang jago kepruk anak buah andalan Boss, namun Dahl berubah sikap terhadap Riddick. Bisa jadi karena chemistry mereka nyambung: perempuan memang harus menjalin cinta dengan lelaki.

Di ujung cerita, Riddick berakhir dengan happy ending. Berkat berbagi saklar, baik Boss dan Riddick berhasil memiliki wahana transportasinya masing-masing untuk kemudian berpergian entah kemana.
Science fiction
Tahun-tahun terakhir ini, tampaknya Hollywood semakin getol dengan film-film berbau science fiction dengan sound effect dahsyat dan wahana aneh-aneh mempersona. Sejak muncul Transformer dan kemudian Avatar, banyak aneka alat-alat transportasi semi ruang angkasa hadir dalam film-film masa kini.

Sebagian merasa senang dengan hal itu, namun saya kurang menyambutnya dengan gembira. Alasannya terlalu absurd dan yang selalu absurd  biasanya susah dimengerti selain hanya bisa menerima hal itu sebagai keniscayaan belaka.

Kalau keniscayaan itu terjadi dalam sebuah panggung bernama kehidupan, maka hal itu menarik karena  kita lantas harus bicara eksistensialisme. Namun kalau absurditas itu muncul dalam sebuah film –setting sosial yang direkaya oleh skenario tulisan—maka susahlah kita bicara tentang eksistensialisme.

Yang mesti kita bicarakan adalah nihilisme, yakni ketika semua hal menjadi nihil alias tidak berarti apa-apa karena semua ada dalam tataran pikiran: dunia ide-ide.***
Baca juga Resensi Film: “The Italian Job”, Jangan Terlena oleh Teman Sendiri

Popular Posts