Resensi Film: “The Hobbit: The Desolation of Smaug”, Membangunkan Naga Pemarah dari Tidur Panjangnya
SMAUG –demikian nama naga besar yang arogan dan pemarah ini—dalam film anyar The Hobbit: The Desolation of Smaug akhirnya dibuat marah oleh kelompok kurcaci, Thorin dan Hobbit. Smaug yang sekian lama menikmati tidur panjangnya akhirnya terbangun, lantaran Hobbit ingin mencuri harta karun Arkenstone yang tersembunyi di balik ‘reruntuhan’ harta karun yang dikuasai Smaug.
Melihat The Hobbit: The Desolation of Smaugbagi saya ibarat menyaksikan dongeng epos yang menarik dimana para tokohnya datang dari ‘dunia lain’ namun menjadi sangat hidup dan seakan-akan ada lantaran kekuatan daya ‘sihir’ penceritaanya. Film ini sedemikian menawan oleh beberapa hal yang menurut saya memang indah dan enak dilihat.
Pertama, visual dan sound effect-nya yang sedemikian prima sehingga dunia lain itu bisa hadir seakan-akan benar-benar eksis di dunia kasat mata.
Kedua, alam panorama Selandia Baru yang sedemikian indah dan menawan hingga membuat mata termanjakan oleh pemandangan alam yang asri, hijau, dan indah.
Ketiga, karya film hasil besutan Peter Jackson ini menjadi elok oleh karena jalinan ceritanya yang tidak berbelit-belit dan tidak membosankan. Jangankan 160 menit, barangkali kalau sekuel The Hobbit ini dibuat sampai tiga jam, penonton juga tidak bosan meninggalkan gedung bioskop lantaran adegan-adegannya seru dan menawan.
Yang memesona saya tentu saja penampilanyang sangat kharismatik dari penyihir sepuh bernama Gandalf (Ian McKellen) dimana Bilbo Baggins (Martin Freeman), Thorin Oakenshield (Richard Armitage) dan sekawanan kurcaci ikut bersama mereka. Namun, perjalanan mereka bersama akhirnya dibuat kandas, ketika kawanan ini harus merelakan Gandalf berpisah untuk sebuah urusan tertentu.
Dalam perjalanan menuju the Lonely Mountains inilah, kawasan pengembara ini terpaksa berurusan dengan kaum peri pimpinan Legolas dan pendekar perempuan jago kepruk bernama Tauriel. Namun, belakangan dari yang semula menjadi musuh, kawanan peri ini justru menjadi ‘pelindung’ perjalanan terutama setelah salah satu kurcaci yang cakep menjadi tambatan hati Tauriel.
Smaug yang tidurnya diganggu gugat oleh kawanan kurcaci, Bilbo dan Thorin akhirnya melesat ke udara dengan satu niatan: memporak-porandakan permukiman nelayan dimana tinggal Bard yang konon memiliki panah hitam sebagai satu-satunya senjata yang mampu membunuh Smaug.
Smaug yang perkasa, namun di sini Smaug menjadi bulan-bulanan para kurcaci yang berhasil membangkitkan amarah murkanya. Dan ketika nafsu kekuasaan dan amarah itu hendak dilampiaskan ke permukiman penduduk di tepi telaga, dengan cerdasnya Peter Jackson menyudahi suguhannya dengan dua kata: The End.
Sekuel berikutnya tinggal nunggu kapan waktu tayangnya.***
Baca juga Resensi Film: “The Hobbit: An Unexpected Journey”, Ksatria Kurcaci di Tengah Pergumulan antara Yang Baik dan Buruk
Baca juga Resensi Film: “The Hobbit: An Unexpected Journey”, Ksatria Kurcaci di Tengah Pergumulan antara Yang Baik dan Buruk