Resensi Film: “Gravity”, Kacaunya Omongan dan Ngawurnya Cerita

DUA bintang besar yakni Sandra Bullock dan George Clooney dalam film anyar Gravity sama sekali tidak menjamin kualitas cerita. Dibandingkan film sejenis bertitel Apollo 13dengan sederet bintang papan atas sekelas Tom Hanks, Kevin Bacon, Garry Sinise yang dirilis hampir 10 tahun lalu, Gravity hasil besutan sutradara Alfonso Cuaron ini sungguh terasa tidak berkelas.
Saya mau menyebutnya sebagai ampang alias tidak ada selera. Serba datar, tidak masuk akal, dan terkesan hanya main-main saja. Yang menarik hanyalah satu-dua hal: sound-effectdan panorama ruang angkasa saja.
Selebihnya membosankan dan terlalu berlebihan menonjolkan seorang astronot perempuan Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock) yang dengan mudahnya bisa ‘loncar pagar’ dari satu pesawat ulang-alik ruang angkasa ke bilikspace shuttle berikutnya. Itu pun milik negara orang lain dan begitu gampang membuka akses menuju bilik pilot space shuttle tersebut.
Itulah mengapa penonton pun sama sekali tak berkesan, ketika Dr. Ryan harus dan kemudian berhasil meninggalkan pesawat Explorer milik AS yang hancur berkeping-keping kena tabrak “banjir” rongsokan benda-benda angkasa seperti satelit dan rudal. Ia melompat pagar dari Explorer menuju Soyuz milik Russia dan kemudian mengunci diri di dalam kokpit Shenzhou milik RRC.
Belum lagi kalau harus menghitung jarak ratusan bahkan mungkin ribuan kilometer dari pusat stasiun ruang angkasa AS dan space shuttle Explorer menuju Soyuz dan kemudian Shenzhou
Omongan ngawur
Sistem kerja di wahana ruang angkasa mengandaikan disiplin tinggi dan tertib luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan sejak di awal film ini, bagaimana Komandan Kowalski (George Clooney) seperti anak kecil bermain-main dengan pakaian astronotnya menikmati indahnya wahana ruang angkasa minus daya gravitasi bumi. Sementara beberapa anak buahnya bekerja keras membereskan beberapa problem teknis akibat sistem komunikasi rusak atau masalah lainnya.
Begitu Kowalsky datang mendekati Dr. Ryan yang tengah sibuk memperbaiki program data, materi omongan mereka sama sekali tidak mencerminkan tingginya derajad tanggungjawab serta risiko besar yang menghadang mereka, bilamana projek yang mereka emban dalam misi itu gagal. Isi percakapan mereka dengan Houston –stasiun pengendali NASA di bumi AS—juga tidak mencerminkan kualitas masalah yang harus mereka perbaiki.
Kita memiliki istilah: ngalor-ngidul ora karuan alias materi diskusi jarak jauh antara Explorer di ruang angkasa dengan Houston di AS terlalu ngelantur kemana-mana. Bahasanya sama sekali tidak formal, mencerminkan betapa rendahnya disiplin dan tanggungjawab seorang astronot.
Keteledoran itu akhirnya terbukti, meski skenarionya memang sudah dirancang begitu dan tidak ada sangkut pautnya dengan rendahnya derajad komunikasi astronot dengan Houston. Bencana besar menimpa karena stasiun pusat ruang angkasa AS dihantam badai ‘banjir’ serpihan satelit yang porak-poranda karena hantaman rudal Russia.
Keanehan lain juga muncul pada diri Sandra Bullock yang dengan gagah perkasa masuk ruang kokpit pesawat ulang alik di wahana ruang angkasa dengan dengan seragam tanktop dan celana pendek. Pikir saya, mana ada astronot sedikit  ‘berbugil ria’ di angkasa luar?
Praktis, film ini hanya dibintangi dua orang: Sandra Bullock dan George Clooney.
George memilih ‘hilang’ demi keselamatan anak buahnya itu. Selebihnya, kemunculan para astronot lain hanya seperti lewat saja, karena sejak awal mereka sudah dikasting harus mati terbakar karena stasiun pusat ruang angkasa mereka terbakar dihantam badai serpihan satelit.
Di ujung cerita, lagi-lagi Sandra Bullock dengan kostum tanktop dan celana pendeknya muncul dari perairan setelah nyemplung tanpa kendali dari pesawat Shenzhou milik China yang dia naiki tanpa izin.***
Baca juga Resensi Film: “Prisoners”, Satu Langkah untuk Berubah dari Baik Menjadi Jahat

Popular Posts