Resensi Film: “Prisoners”, Satu Langkah untuk Berubah dari Baik Menjadi Jahat
DALAM tradisi teologi kristiani, persoalan “kejahatan” dan kemalangan (evil) menjadi sebuah pembahasan sangat menarik. Intinya, manusia bertanya: darimana datangnya evildalam kehidupan kita? Kalau Tuhan itu benar-benar Maha Kuasa, mengapa evil tetap saja eksis “mengganggu” kenyamanan dan ketenangan hidup manusia?
Nah, film Prisoners sejatinya memang digarap Dennis Villeneuve –sutradara yang membesutnya—sebagai genre film psycho-thriller. Namun, saya lebih tertarik melihat tontonan berupa jalinan seluloid di layar lebar ini dalam perspektif theodicea, sebuah mashab teologi kristiani yang berkutat dengan persoalanevil.
Dalam film Prisoners ini, Dennis Villeneuve seakan menyodorkan kepada para penonton atas persoalan theodicea itu dengan sebuah jawaban hitam-putih. Cara gampang untuk menjadi binal, buas, dan maniak kekerasan adalah cintailah Tuhan, lalu campakkan Dia, baru kemudian berbuatlah kejahatan.
Hitam putih kekerasan
Dibingkai dengan sebuah jalinan cerita yang eksplosif maraton, Prisoners mengetengahkan problem eksistential manusia modern sekarang ini. Yakni, darimana dan mengapa sampai ada kekerasan dalam kehidupan sosial manusia?
Dengan sangat cerdas, sutradara Dennis Villeneuve menampilkan persoalan theodicea ini melalui sejumlah figur penting dalam Prisoners.
Pertama-tama, tentu pada sosok bapak dua anak yang sayang keluarga yakni Keller Dover (Hugh Jackman). Ia menjadi brutal dan ganas lantaran sebuah obsesi ingin melindungi keluarganya dan mengorek info penting tentang keberadaan Anna Dover (Erin Gerasimovich) –puteri bungsunya—yang hilang diculik.
Berhadapan dengan Alex Jones (Paul Dano) –pemuda dengan tingkat intelegensi rendah—Dover menjadi serigala ganas. Ia menyekap Alex dan kemudian menyiksanya secara brutal di sebuah apartemen milik almarhum ayahnya. Dover –bapak keluarga yang baik hati dan sangat religius—tiba-tiba menjadi brutal; terkesan seperti tidak punya lagi nurani kemanusiaan. Padahal, di awal film ini dengan khusuk dia mendaraskan doa Bapa Kami saat mendampingi anaknya berburu rusa.
Tuhan telah “lari” dalam kehidupan Keller Dover ketika ia melakukan praktik kekerasan terhadap Alex Jones.
Kedua, persoalan theodicea secara tiba-tiba langsung menyergap dunia kebatinan seorang pastur tua di kawasan permukiman desa dimana keluarga Keller Dover dan sobat karibnya pasangan suami-istri Franklin-Nancy Birch (Terrence Howard dan Viola Davis) tinggal menetap. Pastur ini suka menerima tamu di pastoran yang datang menemuinya untuk pengakuan dosa. Namun, tiba-tiba saja dia kerasukan ‘roh jahat’ dan tanpa ampun membunuh orang dan kemudian menyekap mayatnya di ruang bawah tanah, setelah bapak ini mengaku diri di Kamar Pengakuan pernah membunuh sedikitnya 16 anak.
Pastur yang pemurah dan pemaaf tiba-tiba saja bisa menjadi kalap, melakukan kekerasan pembunuhan lantaran saking “cintanya” kepada Tuhan. Ia beranggapan harus menumpas kejahatan. Ambisinya menumpas kejahatan menjadi salah arah, justru karena dia sendiri melakukan kejahatan pembunuhan setelah mendengar confessions bapak pembunuh 16 anak ini.
Persoalan theodicea kembali muncul. Darimana datangnya kejahatan dan kemalangan (evil) hingga bapak itu tega membunuh 16 anak dan pastur itu juga tega menghabisi bapak pembunuh ini dengan cara memisahkan nyawanya dari tubuh ragawinya. Pertanyaan moral juga muncul: apakah kejahatan (membunuh) yang dilakukan pastur itu boleh disebut ‘baik’ hanya karena sebuah ambisinya membasmi kejahatan dengan cara melenyapkan nyawa seorang bapak pembunuh 16 anak?
Absurditas total, begitu filosof eksistensialis Jean-Paul Sartre sering kali mengistilahkannya ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan hidup manusia yang tiada juntrung penjelasannya.
Ketiga, persoalan theodicea dengan sangat gamblang mengemuka pada sosok misterius bernama Mrs. Holly Jones (Melissa Leo), perempuan sepuh yang sudah mulai renta dan terkesan sangat menyayangi orang lain. Alex Jones diakuinya sebagai ponakannya dan dia asuh sejak kecil sejak kedua orangtuanya meninggal. Kepada polisi dan Keller Dover, Ny. Jones mengakui pernah punya anak namun kemudian meninggal karena kena kanker.
Kanker menjadi pengalaman menyesakkan dalam kehidupan Mrs. Holly Jones. Kanker yang merenggut nyawa anaknya merupakan evil: sebuah pengalaman personal yang berujung pada gugatan eksistensial mempertanyakan dimanakah Tuhan berada ketika evil menerpa hidupnya. Sejak itu, kata Ny. Holly, jalan hidupnya berputar terbalik 360 derajad.
Menurut pengakuannya sendiri, hidup keluarganya menjadi berantakan. Pasangan hidupnya lalu suka keluyuran malam dan mabuk. Di ujung terakhir film Prisoners ini baru menjadi jelas, suaminya yang pembunuh 16 anak itu akhirnya harus menemui ajalnya di tangan pastur usai melakukan ritual penyesalan dan pertobatan melalui confessio.
Juga baru babak-babak akhir sebelum layar menutup dengan kalimat The End, penonton dibuat terkejut sekali karena justru Mrs. Holly Jones inilah otak di balik semua aksi kejahatan berupa penculikan anak-anak yang telah menggegerkan permukiman di AS itu selama beberapa tahun lamanya.
Korban Evil
Bagi penonton sekarang menjadi jelas, semua tokoh yang muncul di sini secara praktis ditampilkan oleh sutradara Dennis Villeneuve sebagai “korban-korban” kejahatan (evil’s spirit). Saya sengaja memberi imbuhkan kata “spirit” di sini, karena persoalan kejahatan ini sering kali tidak bisa dikategorikan sebagai hitam-putih secara jelas dan gamblang sebagaimana biasa berlaku di dunia kepolisian.
Sebagai penyidik kasus-kasus kriminal, detektif Loki (Jake Gyllenhaal) sudah terbiasa bermain dalam lingkaran sistem kerja hitam-putih yakni kasus hukum bisa kena jerat delik pidana karena ada barang bukti. Alibi bisa saja muncul dalam proses penyidikan seperti yang diperlihatkan Alex Jones saat diinterogasi oleh Loki.
Di hadapan Loki –reserse polisi ini—Alex tak lebih seorang pemuda dengan tingkat IQ rendah. “Nyaris sama dengan tingkat intelegensi anak-anak berumur 10 tahun,” kata Loki melapor kepada polisi komandannya.
Karena itu, Alex Jones pun dilepas setelah 48 jam tidak ditemukan bukti forensik apa pun di mobil caravan yang dia tabrakkan ke sebuah pohon saat hendak diringkus polisi. Tapi, justru keputusan kepolisian melepas Alex Jones inilah yang akhirnya membuat Keller Dover menjadi marah, beringas dan akhirnya bertindak brutal: menyandera Alex dan kemudian menyiksanya habis-habisan untuk mengorek keterangan dimana Anna Dover dan Joy Birch (Kyla Drew Simmons) diculik dan disekap oleh entah siapa.
Menjahit cerita
Kehadiran dektetif Loki bagi saya tidak terlalu penting dalam seluruh jalinan persoalan theodiceayang mungkin penonton lain tidak meminatinya. Loki hanyalah mirip seperti jarum dengan benang yang kemudian merangkai seluruh tokoh dalam film ini yang punya persoalan theodicea yang teramat eksistensial sifatnya.
Evil’s spirit telah merubah Keller Dover dari sosok manusia yang santun dan saleh (malah sering berdoa Bapa Kami dalam setiap kesempatan) tiba-tiba menjadi garang, ganas dan brutal. Istrinya (Maria Bello) yang semula ceria tiba-tiba menjadi sosok paranoid dan mulai nyandu dengan segala obat penenang, setelah Anna Dover hilang diculik oleh entah siapa. Franklin Birch yang semula juga dipertontonkan sebagai pria saleh tiba-tiba harus masuk dalam sebuah labirin kekerasan.
Perajut cerita kedua tentu saja Alex Jones, pemuda pengemudi caravan yang harus kehilangan keseimbangan mental –hingga dikira embicil oleh detektif Loki– karena nalar, nurani dan logikanya dikontrol oleh mekanisme drugs yang disuntikkan oleh Ny. Holly Jones –tantenya yang misterius ini.
Perajut cerita ketiga adalah sosok misterius bernama Bob Taylor yang suka membeli pakaian anak-anak dan manekuin serta menyelinap masuk ke rumah orang mencuri benda-benda ‘khusus’ khas milik anak-anak: boneka, kaos sepatu, dll. Sayang, misterinya hilang dengan terpaksa setelah dia mengalami frustrasi hebat usai interogasi oleh detektif Loki yang berakhir tragis: merebut pistol polisi dan kemudian menembakkan moncong revolver itu ke rongga mulutnya.
Ia mati mengenaskan: bunuh diri. Sama seperti ayah kandung Keller Dover yang mati bunuh diri di apartemennya tanpa sebuah histori yang lengkap.
Perajut cerita keempat tentu saja detektif Loki. Ia santun tapi juga kejam dalam upaya mendapatkan informasi akurat menguak tabir kejahatan.
Penentu cerita adalah Mrs. Holly Jones. Tiba-tiba saja, perempuan renta ini tampil berbeda sebagai wanita ganas dengan pistol di tangan siap menyalak ke hadapan Keller Dover. Ia bahkan mengubur hidup-hidup Dover di sebuah jogangan, persis di bawah sebuah mobil tua yang teronggok di rumahnya.
Barulah di akhir cerita, semua menjadi jelas, ternyata Nyonya Jones inilah sang ‘dalang’ penculikan dan kemudian melibatkan almarhum suaminya sebagai eksekutor pembunuh 16 anak-anak. Ketika suaminya hilang dan dibunuh oleh pastur, dia memanipulasi pscycho Bob Taylor dan kemudian Alex Jones dengan narkoba untuk melanjutkan projek evil’s spirit berikutnya: menculik anak-anak.
Nah, motivasi evil’s spirit apa yang telah menggiring Ny. Holly Jones ini menjadi paranoid seperti itu?
Kematian anaknya karena penyakit kanker menjadi pengalaman luka batin yang mendalam. Ia berontak terhadap Tuhan, menggugat kebaikan-Nya dan kemudian mulai tidak mempercayainya. Apa kerjaan Tuhan sehingga kemalangan terus saja menimpa manusia?
Salah dalam berdiskresi inilah pokok persoalantheodicea yang dihadapi Ny. Holly Jones dalam mengelola pengalaman tentang evil’s spirit. Karena itu, dia ingin balas dendam (melawan Tuhan) dengan cara mudah: memperdayai manusia agar punya pengalaman menyakitkan yakni betapa sedihnya harus kehilangan anak.
Ia menculik anak-anak agar para orangtua mereka ini bisa menjadi blingsatan dan kemudian menjadi marah terhadap Tuhan. Anna Dover dan Joy Birch adalah korban mereka terakhir, sebelum akhirnya Ny. Holly Jones harus meregang nyawa karena adu tembak dengan detektif Loki. Sementara itu, Keller Dover masih berjuang meniupkan sempritan merah milik anaknya –Anna—agar dari jogangan di bawah tanah itu terdengar sinyal kehidupan yang mengusik pendengaran detektif Loki.
Prisoners adalah film sangat bagus. Hanya ada tiga tembakan terdengar dalam film sepanjang hampir 2,5 jam ini, namun terasa sangat pendek justru karena jalinan ceritanya yang padat dan penuh makna.***
Baca juga Resensi Film: “Something the Lord Made”, Mati di Tangan Tuhan atau Manusia?
Baca juga Resensi Film: “Something the Lord Made”, Mati di Tangan Tuhan atau Manusia?