Resensi Film: “The Butler”, Hitam-Putihnya Amerika di Hati Pelayan Gedung Putih

 AMERIKA Serikat sepanjang sejarah sebelum tahun 1965, ibarat sebuah sapu lidi. Namun, sapu lidi ini tidak terlalu tedas menyapu bersih sampah-sampah yang berserakan di tanah. Sapu lidi ini diikat dengan longgar hingga kotoran bisa ‘lolos’ dari ‘lobang jarum’ tarikan sapu lidi ini dan membiarkan kotoran itu tetap tinggal di tanah untuk kemudian terinjak-injak kaki manusia dan hewan.
Persis sebuah sapu lidi dengan ikatan longgar itulah dunia hukum di Amerika Serikat pada saat itu. Sistem hukum itu teramat longgar bagi warga AS berkulit putih. Namun, pada saat lainnya menjadi sangat kuat mencengkeram warga AS kulit hitam—warga kelas dua di Negeri Paman Sam ini– untuk kemudian bisa diinjak-injak sesuka hati.
Cecil Gaines (Forest Whitaker) adalah simbol ketidakberdayaan seorang warga AS berkulit hitam di sebuah negeri yang konon selalu mengedepankan pentingnya penghormatan atas hak-hak asasi manusia (HAM). Sebuah negeri yang konon sudah sering kita dengar telah terbiasa dan bisa menjunjung tinggi peradaban sosial zaman modern: kesetaraan hak dan harkat manusia di depan negara dan hukum.
Namun itu hanya terjadi di tataran diskursus politik. Realitas politik yang sebenarnya terjadi di perkebunan kapas nun jauh dari pusat ‘kebudayaan politik’ AS yakni Washington.
Budak belian
Orangtua Cecil hidup di lahan perkebunan kapas milik orang kulit putih di Macon, Georgia, AS. Kehidupan susah di bawah ancaman ini  adalah pelataran sosial dimana kaidah hukum dan moral sosial zaman modern nyaris dicampakkan dari sejarah peradaban Amerika. Orang kulit hitam masih dipanggil dengan sebutan ‘negro’ yang artinya budak.
Kosa kata bahasa Indonesia dengan cerdas menambahkan kata ‘belian’. Itu karena ‘negro’ tak lain adalah kaum budak yang bisa dibeli dengan uang. Tidak ada harga diri dan martabat manusia dalam diri seorang ‘negro’. Hidup dan masa depannya sungguh tergantung pada majikan yang membeli dan kemudian memperkerjakannya.
Itulah mengapa, ibu kandung Cecil yang bernama Hattie (Mariah Carey) sekali waktu (bisa) diperkosa dengan sangat lahap oleh majikan laki-laki pemilik perkebunan kapas dimana ibunya bekerja sebagai buruh, budak belian bersama ayah kandungnya. Pemandangan tak sedap itu terjadi di depan mata. Tak ayal, kekalapan ayahnya harus dibayar mahal dengan nyawa: ayahnya Earl Gaines akhirnya ditembak di depan mata Cecil karena nekad  ‘protes’ atas peristiwa istrinya (Mariah Carey) digauli oleh sang majikan di depan mata.
Sejak itu, ibunya jadi setengah gila. Sementara, ibu majikan (Vanessa Redgrave) pria yang laknat itu datang sebagai ‘malaikat pelindung’ yang mengajak Cecil kecil masuk ke rumah dan menjadikan ‘negro kecil’ ini sebagai budak di dalam rumah. Cecil tidak lagi menjadi budak belian di ladang perkebunan kapas, tapi menjadi butler rumah tangga keluarga kulit putih, sang pemilik perkebunan kapas ini.
Nasib baik di North Carolina
Roda berputar tidak terlalu cepat. Menginjak paruh dewasa, Cecil memutuskan hengkang dari suasana alam perkebunan kapas guna mencari peruntungan baru. Ia terdampar di North Carolina dan singkat cerita mendapat pekerjaan sebagai pelayan di sebuah resto di North Carolina. Itu pun terjadi atas kebaikan pria negro yang mengaku bernasib sama dengan Cecil –diperbukan oleh kaum kulit putih—namun punya kehidupan lebih layak dibandingkan kaum negro di perkebunan kapas.
Perjalanan Cecil akhirnya sampai ke Washington. Semula kerja di sebuah hotel mewah di Ibukota AS hingga kemudian direkrut betulan sebagai butler (pelayan rumah tangga) Gedung Putih –Wisma Kediaman Resmi Presiden Amerika Serikat.
Cecil naik pangkat. Dari lahan perkebunan kapas yang kotor, ia masuk ke lingkaran rumah yang lebih bersih. Lalu masuk dunia resto dan kemudian hotel hingga akhirnya tanpa sengaja ‘terdampar’ enak masuk ke pusat lingkaran elit politik Amerika: Gedung Putih.Hitam-putih
Satu hal pasti diajakarkan kepada semua butler di Gedung Putih. Boleh mendengar, tapi tidak boleh mendengarkan. Boleh melihat, tapi pura-pura tidak memperhatikan. Itu hukum praktis yang diajarkan oleh mentornya –seorang Kepala Rumah Tangga Gedung Putih.
Tak ayal, Cecil yang sudah paruh baya menjadi tahu seluk-beluk dunia politik AS pada masa itu dan mengerti kemana arah kiblat sistem hukum Negeri Paman Sam itu. Termasuk dalam menangani kasus rasialisme dan sistem diskriminasi yang kuat terhadap kaum kulit hitam.
Gedung Putih dan Ruang Oval –tempat kerja semua Presiden AS—adalah medan perang batin pertama yang dihadapi Cecil sebagai butler kulit hitam.
Medan perang batin kedua adalah rumah tangganya sendiri: istrinya Gloria Gaines  (Oprah Winfrey) mulai borjuis dan suka mabuk. Sementara anak lelaki pertamanya Louis Gaines kini mulai bertingkahlaku radikal, menunjukkan semangat anti apartheid (perlakuan diskriminatif kulit putih terhadap kaum kulit hitam), dan nggugu karepe dhewe (susah diatur).
Medan perang batin ketiga adalah tatanan sosial masyarakat AS di sekeliliing Cecil Gaines. Meski sudah 20 tahun bekerja di Gedung Putih hingga mendapat kepercayaan sebagai ‘pelayan senior’ yang boleh masuk ke Ruang Oval dan kamar pribadi Presiden AS, Cecil tetap saja digaji rendah. Protesnya atas kesetaraan martabat manusia tidak mendapat atensi dari Kepala Rumah Tangga Gedung Putih.
Medan perang batin keempat adalah dunia batinnya sendiri. Ia sering menangisi kematian ayahnya yang ditembak juragan kulit putih pemilik lahan perkebunan kapas yang juga sekali waktu menggauli ibu kandungnya di depan mata. Ia merintih sakit, ketika harus berseberangan ide dengan Louis Gaines –anak lelakinya—yang mulai ‘berpolitik’ mengusung isu rasialisme di AS.
Ia tak kuasa menerima kenyataan, ketika anak keduanya Charlie Gaines akhirnya berhasil menjadi tentara dan bergabung masuk dengan US Army berbarengan dengan serdadu kulit putih. “Sori, ini pasti salah alamat,” omongannya sontak keluar, ketika dua remaja kulit hitam dan kulit putih sama-sama berbaju US Army datang mengetuk rumahnya.
Cecil menangis tersedu-sedu, ketika harus menerima kenyataan sang pengetuk pintu yang bernama Charlie Gaines  itu akhirnya terbujur kaku di dalam sebuah cascade berselimutkan Stars and Stripes –bendera AS—sejenak sebelum bunyi tembakan salvo mengudara mengantar serdadu muda ini masuk liang lahat. Anak kedua Cecil tewas sebagai GI missing in action dalam Perang Vietnam.
Cecil menangis tersedu-sedu, ketika menerima kabar Presiden John F. Kennedy tewas ditembak di Dallas, sementara dia harus ‘menghibur’ Ny. Jacqueline ‘Jackie’ Kennedy yang gaunya berlumuran darah dan dengan nanarnya bersandar di sebuah lounge di Gedung Putih.
Cecil menunduk haru, ketika Presiden Richard Nixon dipaksa mundur dan keluar dari Gedung Putih lantaran terseret skandal politik Watergate. Cecil terhibur namun juga terhenyak, ketika Nancy Reagan resmi mengundangnya sebagai tamu istimewa dalam jamuan makan malam bersama istrinya di Gedung Putih di bawah tatapan mata sinis para sesama butler lainnya.
Cecil terhenyak, ketika sekali waktu di masa tuanya mendapati Louis Gaines –anaknya yang mursal itu—tiba-tiba menjadi tokoh politik ternama dan menjadi pejuang hak-hak kulit hitam. Cecil menangis lagi, saat istrinya tiba-tiba sudah tak kuasa menarik sebuah benda kecil di atas meja dan kemudian terkulai lemas di sandaran kursi untuk sejenak menghirup nafas terakhirnya sebelum akhirnya meninggal.
Cecil terpaku haru, ketika menyaksikan tahun 2008 Presiden Barrack Obama –manusia kulit hitam pertama—yang berhasil menjadi Presiden AS dan kemudian menghuni Gedung Putih yang telah dia tinggalkan karena usia pensiun.
The Butler memanglah sebuah film dengan kisah beneran. Sedikit cenderung menjadi melo-drama dengan tampilan sketsa kehidupan yang cenderung sedikit dibuat hiperbolik. Tak apalah, film serius ini tetap saya lihat sebagai film bermutu. Lebih karena sang sutradara Lee Daniels yang membesut The Butler ini bisa menemukan perempuan cantik klasik untuk memerankan legenda perempuan cantik sejagad: Ny. Jacqueline Kennedy dan suaminya yang super ganteng John F. Kennedy.
The Butler didukung oleh sejumlah bintang kulit hitam ternama: Cuba Gooding Jr, Lenny Kravits, Mariah Carey dan bahkan si Ratu Oprah Winfrey yang didapuk menjadi Ny. Gaines yang suka hidup bermabuk-mabukan.
Sejarah panjang politik AS yang terjadi di Gedung Putih yakni hitam-putihnya politik internasional dan gejolak dalam negeri AS dengan singkat terekam dalam hati seorang butler bernama Cecil Gaines.***
Baca juga Resensi Film: “The Counselor”, Seberapakah Anda Merasa Cukup?


Popular Posts