Sinopsis Novel: "RUMAH KACA" (Karya: Pramoedya Ananta Toer, 2006)
Inilah puncak dari tetralogi
pulau buru, Rumah Kaca. Inilah klimak dari perjalanan seorang Raden Mas Minke,
seorang yang menjadikan tulisan tulisannya sebagai alat perjuangan.
Memperjuangkan harga diri pribumi yang belum lagi mengenal Indonesia saat itu.
Di bukunya yang keempat ini Pramoedya memberikan kejutan dengan menggeser tokoh
sentral dari Minke ke Pangemanann, yang tak lain adalah agen Gubermen yang
berhasil menyingkirkannya sehingga dibuang ke Ternate!
Pangemanann seorang Indo Menado
didikan Perancis yang akhirnya mengabdikan diri sebagai Polisi Hindia.
Penugasan pertamanya di Hindia dianggap berhasil dalam memadamkan pemberontakan
si Pitung di Cibinong, Bogor sekarang. Sekretariat Negara memberikan tugas yang
lebih menantang : melakukan apapun yang dianggap perlu untuk membendung makin
berkibarnya Minke dengan Harian Medan dan Syarikat Dagang Islam-nya.
Buku ini seolah mengisahkan kilas
balik kejadian dalam 'Jejak Langkah' dalam perspektif Pangemanann. Dengan
kelicinannya sebagai agen rahasia, dia tak berhenti dengan pembuangan Minke.
Dirancangnya kerusuhan rasial yang mengadu dombakan antara pribumi dengan kaum
Tionghoa, dimulai dari kota Sukabumi, disambung dengan kota kota lainnya di
seluruh pulau Jawa. Sebuah operasi yang gilang gemilang untuk mendiskreditkan
SDI yang kemudian bertransformasi menjadi Syarikat Islam.
Namun angin perubahan tak dapat
dilawan. Alih alih organisasi kemasyarakatan makin surut, malah berdiri partai
pertama di Hindia ini : Indische Partij, yang didirikan trio DWT. Keranjingan
atau kesadaran berorganisasi tumbuh deras kala itu. Sampailah jaman pada tahun
1914, dimana berkobar perang dunia pertama di Eropa. Gubernur Jenderal Idenburg
mengakhiri masa jabatannya.
Penggantinya mulai mengubah sikap
terhadap para pembangkang. Raden Mas Minke dibebaskan dari pembuangannya di
Maluku. Dia kembali ke Batavia. Hanya untuk menemui kenyataan semua asetnya
telah disita. Dan Syarikat yang dilahirkan dan dibesarkannya telah
mengacuhkanya.
Minke mati menderita. Sebuah
potret sejarah dimana bangsa ini memang mudah lupa. Mudah melupakan jasa orang
orang yang memberikan jiwa dan raganya untuk kemajuan. Sebuah bangsa yang tak
pandai berterima kasih. Terima kasih kepada Paramoedya yang masih mau
mengingatkan.***