Sinopsis Novel: "LINTANG KEMUKUS DINIHARI" (Karya: Ahmad Tohari - Penerbit: Gramedia Pustaka, 1985)
Rasus telah pergi bersama tentara pimpinan
Sersan Slamet. Hal ini membuat Srintil sakit hati karena Rasus pergi tanpa
pamit. Srintil mulai berubah sikapnya, ia sering merenung dan menangis. Bahkan
Srintil berani menolak untuk tampil menari. Suatu hari Srintil melihat
anak-anak kambing yang sedang menetek, tiba-tiba hasrat untuk
memiliki bayi muncul dibenaknya. Pak Marsusi yang datang untuk menemui Srintil
tidak dapat terwujud. Srintil pergi ke pasar Dawuan, ia pun beristirahat di
salah satu warung nasi. Semua orang yang melihat Srintil nampak kasihan.Di pasar
Dawuan Srintil bertemu dengan Kopral Pujo dan mendengar berita bahwa Rasus
telah pergi ke markas batalyon. Mendengar berita itu, Srintil menjadi lebih
murung. Kemudian datang Nyai Sakarya dan mengajak Srintil pulang ke Dukuh
Paruk.
Srintil sakit untuk waktu yang cukup lama.
Hanya bayi yang bernama Goder yang dapat menyembuhkannya. Srintil kembali sehat
dan kini wajah dan bentuk tubuhnya sangat menarik perhatian orang-orang yang
melihatnya. Suatu hari Pak Marsusi datang lagi ke rumah Kertareja, Srintil pun
mau menemuinya. Namun Srintil tetap dengan menggendong Goder. Srintil ingin
diajak pergi jalan-jalan, tapi menolak. Pak Marsusi yang datang dengan membawa
kalung emas kecewa dan marah besar. Nyai Kertareja pun memarahi Srintil dan menyinggung
tentang orang tua Srintil yang telah tiada. Hal ini membuat Srintil bersedih.
Sakarya merasa Dukuh Paruk akan kehilangan
pamornya. Pikiran Sakarya bertambah kacau karena hampir setiap hari ada
kejadian-kejadian aneh. Ia pun pergi ke makam Ki Secamenggala untuk memberi
sesaji. Suatu hari pak Ranu datang untuk meminta Srintil untuk menari di hari
perayaan Agustusan. Srintil masih bimbang akan permintaan Pak Ranu. Srintil
kasihan melihat keadaan ekonomi keluarga Sakum yang serba kekurangan semenjak tidak
ada pementasan. Sakum dengan yakinnya meyakinkan kepada Srintil bahwa indang
ronggeng masih bersemayam dalam diri Srintil dan meminta Srintil untuk
melupakan Rasus.
Di suatu tempat, Pak Marsusi sedang bingung
dihadapan Pak Tarim. Niatnya untuk menghabisi nyawa Srintil melalui guna-guna
tidak terlaksana. Ia lebih memilih untuk membalas rasa malu dengan rasa malu
juga. Kabar gembira cepat tersiar, Srintil akan kembali menari dalam acara
Agustusan. Hanya Sakarya yang merasa agak risau karena permintaan yang
aneh-aneh dari pihak panitia di antaranya meminta Kertareja mengubah beberapa
bait dalam lagu-lagu yang akan dinyayikan dengan kata “rakyat dan revolusi”.
Srintil dengan usianya delapan belas tahun
akan menghibur Dawuan. Tapi Sakarya dan Kertareja bingung karena mereka tidak
diperbolehkan membakar sesaji. Akhirnya Sakarya pergi menjauh dan membakar
sesaji secara tersembunyi. Saat pentas semua orang nampak gembira, Srintil pun
ikut merasakannya. Namun Sakum yang dalam keadaan buta bisa merasakan bahwa gerakan
tarian Srintil lebih kepada emosi. Srintil dalam tariannya merasa bahwa ia
tidak lagi bersedih karena Rasus telah pergi. Srintil tergugah hatinya ketika
melihat sosok pemuda bernama Tri Murdo. Kejadian yang tidak disangka datang,
srintil mendadak sesak nafas berulang kali hingga akhirnya pentas berakhir.
Kertareja yang merasa janggal, pergi ke kerumunan orang. Ia mendapati Pak
Marsusi yang sedang menyamar. Ternyata Pak Marsusi orang yang membuat Srintil
sesak nafas dengan jimatnya.
Suatu hari datang seorang yang kaya raya
bernama Sentika dari Alas Wangkal. Sentika ingin meminta Srintil untuk menari
di rumahnya dan ingin Srintil menjadi gowok untuk anak
laki-lakinya. Srintil mau menerima tawaran itu. Melihat Waras anak Sentika
Srintil tertawa karena ternyata Waras mengalami keterbelakangan mental. Ini
menjadi tantangan tersendiri bagi Srintil untuk menjadi gowok. Malam hari
ketika pentas, Srintil mencoba memancing birahi Waras tetapi tidak berhasil.
Suatu hari Sentika dan Istrinya meninggalkan Waras untuk tinggal berdua bersama
Srintil. Setiap hari Srintil harus mengajari Waras tentang bagaimana pekerjaan
laki-laki dan suami, namun yang terjadi sangat mengecewakan. Waras tidak
memiliki tenaga layaknya lelaki, lebih lagi nafsu birahi. Bagi Srintil menjadi
gowiok adalah pengalaman yang tidak terlupakan.
Tahun 1964Dukuh Paruk menjadi sangat miskin.
Pentas ronggeng jarang terdengar. Tetapi suatu hari datang tawaran dari Pak
Bakar, seorang dari partai tertentu. Ronggeng kembali sering dipentaskan demi
untuk meraih simpati masyarakat. Sakarya dan Kertareja tidak bisa menolak
permintaan Pak Bakar karena ingin membalas budi, sebab kini rombongan ronggeng
telah diberi alat-alat elektronik untuk pementasan. Suatu malam ketika sedang
pentas, ada banyak penonton mabuk dan kesurupan. Mereka yang kesurupan merusak
sawah yang sedang mau panen. Terjadilah tawuran antara petani dan perusak padi
tersebut. Kejadian ini membuat Srintil dan rombongannya memutuskan untuk tidak
lagi pentas di acara Pak Bakar.
Suatu pagi warga Dukuh Paruk marah, makam Ki
Secamenggala dirusak. Mereka mendapati sebuah caping hijau tergeletak
disemak-semak. Mereka menduga orang dari partai yang masanya sering mengenakan
caping tersebut sebagai pelakunya. Orang dri partai tersebut memang tidak suka
dengan segala kegiatan warga Dukuh Paruk. Atas kejadian ini, Srintil dan
rombongannya kembali mau meronggeng. Srintil ingin menunjukkan perlawanan bagi
partai yang merusak makam leluhurnya.
Senja di Dukuh Paruk disambut keributan
besar. Hampir semua rumah di Dukuh Paruk terbakar habis. Sementara Srintil,
Kertareja beserta istrinya, dan Sakarya ditangkap polisi karena diduga terkait
gerakan Pak Bakar yang dilarang pemerintah. Orang-orang Dukuh Paruk tidak ada
yang mengetahui bahwa mereka menjadi korban fitnah Pak Bakar dan di dalam
penjara Srintil sangat tersiksa, ia harus menjadi korban atas kekejaman para
aparat.***
Baca juga Sinopsis Novel: "JENTERA BIANGLALA"
Baca juga Sinopsis Novel: "JENTERA BIANGLALA"