Esai Sastra: Pasang Surut Majalah Kebudayaan Indonesia (oleh Jakob Sumardjo)
Majalah
kebudayaan adalah majalah minoritas, dicetak sangat terbatas dan dengan harga
yang dibanting pula. Majalah kebudayaan adalah makanan elite budaya kita saja.
Sejarah majalah budaya Di Indonesia mencatat bahwa hampir 5 pct bernafas tidak
lebih dari tiga tahun, sebabnya adalah, yang pertama lantaran neraca
dagangnya selalu negatif, merugi, karena majalah tak laku di pasaran , kedua
karena majalah-majalah begitu mati lantaran tidak ada karangan budaya yang
berbobot untuk dimuat, terakhir yang sering kita dengar adalah pengasuh-pengasuh
tergoda untuk bekerja di tempat
lain karena jaminan sosial pegawai yang lebih
baik. Namun, ada majalah yang dapat bertahan puluhan tahun, bernama Pujangga
Baru, terbit tahun 1933 dan mati sebagai konfrontasi tahun 1962. Majalah ini
mampu hidup di tiga zaman. Berikutnya adalah majalah Basis, terbit tahun 1951
dan sampai detik ini tetap terbit dalam cetakan offset dan kertas yang licin,
majalah ini akan memegang rekor panjang dalam sejarah kebudayaan Indonesia,
selain itu nama-nama majalalah seperti Panji Pustaka,Indonesia,Gelanggang-nya
Siasat, Pustaka dan Budaya termasuk majalah yang berumur panjang (lebih dari 10
tahun penerbitan).
Semuanya sudah almarhum, dan belum pernah terdengar kabar
pengalamannya. Namun berdasarkan data-data dapatlah kita duga rahasia
suksesnya, Panji Pustaka, hidup dari tahun 1945, 16 tahun lamanya,dapat
bertahan lama karena tidak ada masalh keuangan,punya sponsor,hidupnya bukan
tergantung dari dirinya,tapi berkat dukungan Pemerintah Belanda yang waktu itu
berkuasa, gaji pegawai terjamin (PGPN kolonial tentunya) majalah bukan untuk
dijual tapi disebarluaskan, demi keuntungan kurtural.
Perkara sponsor sama halnya dengan majalah-majalah Indonesia, Budaya, Pustaka
dan Budaya serta Budaya Jaya. Masing-masing mempunyai sponsor pemerintah (P dan
K) atau pemerintah daerah. Untuk majalah Gelanggang dan Mimbar Indonesia
rahasia awetnya karena karena keduanya memang tidak mengkhususkan diri dalam
majalah seni,sastra dan budaya saja,tapi majalah berita umum, sehingga terjual
laris. Yang benar-benar gelap bagi kita adalah rahasia suksesnya Basis dan
Pujangga Baru, kedua majalah ini usaha swasta 100 pct,jadi menggantungkan
hidupnya dari hasil penerbitannya. Pujangga Baru diusahakan oleh Sutan
Takdir Alisjahbana, beliau kita kenal selain sebagai sastrawan dan budayawan
juga pengusaha yang maju. Gabungan dari kemampuan dagang dan kemampuan seni
inilah yang memungkinkan majalah budaya ini hidup lama. Sedang
majalah Basis, kita hanya tahu bahwa majalah ini diusahakan oleh pastur-pastur
Jesuit yang memang terkenal dinamika dan maju. Mungkin rahasia suksesnya
terletak pada ketekunan, ketrampilan dagang dan budaya,kesediaan metelar
pengasuh-pengasuhnya artinya perhitungan gaji dianggap selesai.
Dari 32 majalah budaya kita hampir semua redakturnya adalah orang-orang
yang kita kenal sebagai sastrawan Indonesia,misalnya Chairil
Anwar(Gelanggang),Sanusi Pane(Timboel), Nugroho
Notosusanto(Kompas),Idrus,Achdiat (Indonesia) Usmar Ismail(Arena), Muhammad
Yamin ( Jong Sumatra), Ajip Rosidi( Prosa,Budaya Jaya)irjo Mulyo( Budaya).
Diantara mereka muncullah nama H.B. Jassin yang gigih bertahan sebagai redaktur
majalah budaya. Sejak masa jepang beliau sudah menduduki 8 kursi redaktur
majalah budaya dan sastra,seperti Panji Pustaka,Panca Raya, Mimbar Indonesia,
Zenith,Bahasa dan Budaya,Kisah,Seni dan Horison. H.B Jassin disebut sebagai
pembaptis sastrawan Indonesia sejak kemerdekaan,itu bisa dimaklumi,sebab semua
hasil sastra yang terbit harus lolos dari penilaiannya.
Dari kenyataan diatas dapat disimpulkan
majalah-majalh budaya kita memang diasuh oleh orang-orang yang kompeten. Dan
dapat dipahami bahwa banyaknya terbit majalah budaya merupakan barometer
perkembangan budaya zamannya. Sekarang ini kita hidup dengan hanya 3
majalah budaya yaitu Basis,Horison dan Budaya Jaya. Tahun 1950-1960 kita pernah
memiliki kurang lebih 17 majalah kebudayaan,suatu zaman emas sastra Indonesia.
Tahun 1920-1930 kita hanya memiliki 3 majalah budaya,karena kekurangan ini
ditopang oleh badan penerbit Balai Pustaka.
Tahun
1930-1940 kita hanya memiliki 2 majalah budaya yaitu Panji Pustaka dan
Pujangga baru. Tahun 1940-1950 kita punya 10 majalah budaya,meskipun sebagian
hanya berusia kurang dari 1 tahun. Jelas bahwa majalah budaya tidak pernah bisa
berusia panjang,dari 32 majalah hanya 4 yang mencapai umur 10 tahun,2 majalah
yang usianya lebih dari 20 tahun,ini berarti hanya 6 pct saja majalah budaya
Indonesia bisa lestari. Majalah budaya kita selama ini hanya untuk kaum
terpencil,belum mencapai suatu tungkatan elite. Dengan sedikit menurunkan
ketinggian kurturalnya maka majalah-majalah budaya dapat diharapkan memperoleh
publik yang cukup menghidupi dirinya,tentu saja orang harus tetap menghidupkan
majalah-majalah budaya murninseperti sekarang ini, terbitkanlah majalah budaya
apresiasi yang menjembatani gap budaya tersebut. Gap antara pekerja dengan
insinyur-insinyurnya, gap antara orang awam dan sastrawan-sastrawannya.***
Baca juga Esai Sastra: Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri
Baca juga Esai Sastra: Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri