Esai Bahasa: Masyarakat dalam Penjara Bahasa

Bahasa dan bangsa adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa suatu bangsa, mencerminkan karakter bangsa itu sendiri. Jika mau disempitkan lagi, bahasa suatu suku dalam sebuah bangsa, menggambarkan karakter, kepribadian, pola tingkah laku dan kehidupan sosial suku tersebut.


Misalnya, dialeg dan bahasa suku Jawa yang halus dan tenang, sangat mencerminkan karakter dan gaya hidup orang Jawa yang sesuai kultur dan kehidupan sosial mereka. Bandingkan dengan dialeg dan bahasa suku Batak, Manado atau Ambon yang keras, kuat dan cepat dalam bertutur. Tentu saja ini dipengaruhi oleh alam dan pola tingkah laku keseharian mereka.
Nah, bagaimana dengan bahasa nasional kita, bahasa Indonesia dalam perkembangannya sekarang? Jujur harus diakui, bahasa Indonesia secara formal hanya ditemukan dalam konteks pendidikan. Selebihnya, bahasa nasional kita dikendalikan oleh media masa dalam kehidupan sehari-hari.
Hal paling utama yang saya soroti adalah peranan media masa yang sangat mempengaruhi gaya berbahasa masyarakat kita. Ungkapan-ungkapan yang diberitakan oleh media masa secara terus-menerus, akhirnya berkembang menjadi ungkapan-ungkapan baru di dalam masyakarakat. Gaya pemberitaan di media cetak, sinetron atau iklan di televisi, menjadi barometer perkembangan bahasa nasional kita. Apalagi bahasa nasional kita banyak menyerap dan mengadopsi istilah-istilah asing yang dinasionalkan.
Tahun lalu, dalam sebuah tulisan saya sempat mempersoalkan pemakaian nama “National Summit 2009” sebuah kegiatan yang dilaksanakan di awal pemerintahan SBY, sehari setelah perayaan Sumpah Pemuda. Kalau hanya berskala nasional, kenapa tidak memakai nama, Temu Nasional, Rembuk Nasional ataukah Musyawarah Nasional? Herannya, media masa ikut serta mempublikasikannya. Coba tanya lagi untuk seorang petani, adakah yang mengetahui arti “Summit?”
Hal ini sama buruknya saat pemerintah membuat program “Car free day” untuk masyarakat. Bagi saya, inilah cara kita sendiri untuk memenjarakan bahasa nasional. Kenapa tidak dengan ungkapan, “Hari tanpa berkendaraan?” Jika masyarakat membuat penafsiran lurus, apakah kata “car” (mobil) dapat digeneralisasi sebagai kendaraan? Bagaimana dengan sepeda motor? (lihat lagi tulisan saya “Salahmologi jilid 3)
Dalam pemberitaan-pemberitaan yang menyangkut persoalan hukum di negara ini, media masa acapkali membuat kesalahan-kesalahan bahasa yang secara tidak langsung mempengaruhi masyarakat itu sendiri. Harus saya akui, banyak kali dalam pemberitaannya, media tidak bisa memilah, saat kapan seseorang disebut sebagai tertuduh, terlapor, tersangka, terdakwa dan terpidana. 
Apalagi dalam segmen-segmen berita kriminal di televisi, ungkapan-ungkapan ini acapkali diberitakan tidak sesuai dengan kenyataannya. Apakah sebuah perkara dari kepolisian ke Kejaksaan, disebut penyerahan atau pelimpahan? Kadang-kadang ungkapan-ungkapan hukum seperti, lalai, sengaja, alpa diberitakan begitu saja, dianggap sama dalam sebuah kasus tanpa memperhatikan bahwa di dalam KUHP, ungkapan-ungkapan seperti ini mempunyai perbedaan yang cukup besar.
Yang paling heboh, siapa yang mengira, nama Markus, Matius dan Petrus yang saya tahu di dalam kitab suci orang Kristiani adalah nama-nama rasul dan murid Yesus, tiba-tiba berubah menjadi ungkapan-ungkapan negatif di negeri ini? Markus menjadi Makelar Kasus, sedangkan pada jaman Orde Baru, Matius (Mati Misterius) dan Petrus (Penembak misterius) menjadi ungkapan yang cukup terkenal saat itu. Kini, satu lagi nama orang yang dicatut menjadi ungkapan negatif, yaitu Marten alias Makelar Tender (proyek)
Bagaimana pula kepercayaan masyarakat untuk lembaga-lembaga peradilan di negeri ini makin dipercaya jika istilah Hakim dan KUHP ikut dipelesetkan menjadi “hubungi aku kalau ingin menang” dan “Kasih Uang Habis Perkara”. Di satu sisi, memang ada banyak kasus tentang hakim yang nakal, tetapi tidak semua seperti itu. Kalau istilah dan ungkapan ini terus berkembang di dalam masyarakat, tentu saja akan menjadi penjara bagi masyarakat itu sendiri, mengurung pola pikir akan penafsiran-penafsiran sempit. Hidup bernegara dan bermasyarakat, tentu saja kita masih membutuhkan lembaga penegak hukum.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan telah diundangkan. Pertanyaanya sekarang, kapan UU ini benar-benar diterapkan?
Maaf, bukannya saya pesimis, tapi seberapa sering sekolah-sekolah sekarang melaksanakan upacara bendera setiap senin seperti jaman kita dahulu? Ataukah lomba pidato dalam bahasa Indonesia, yang mulai terkikis karena diselenggerakan lomba pidato dalam bahasa Inggris dalam skala yang lebih besar.
Kalau bahasa nasional kita tidak dihargai oleh masyarakatnya sendiri, maaf, saya pikir kita belum merdeka karena terpenjara oleh bahasa – bahasa yang menyesatkan. Salam Damai untuk Indonesia Maju!***
Baca juga Esai Bahasa: Bahasa Indonesia yang Kalah di Negeri Sendiri

Popular Posts