Esai Bahasa: Bergeming dan Tak Bergeming

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘bergeming’ berarti diam atau tidak bergerak sedikit juga. Salah kaprah dalam pemakaian kata ‘bergeming’ dan ‘tak bergeming’ selama ini telah membolak-balikkan arti sesungguhnya pada kata ‘bergeming’ itu sendiri.
Kesalahan fatal sesungguhnya. Bahkan kesalahan ini pun banyak terjadi di buku-buku yang sukses menjadi Best Seller di negara ini.
Contoh kalimat :
Politikus itu tetap bergeming pada pendirian yang diyakininya.
Apa yang ada dalam pikiran anda? Apakah anda berpikir bahwa si politikus itu berubah pendirian? Kalau itu yang menjadi asumsi anda, maka ada baiknya anda ubah persepsi itu. Karena sesungguhnya si politikus tidak akan mengubah pendiriannya dalam kalimat itu.
Lucu juga kadang kita bisa begitu salah mengartikan sebuah kata, bahkan justru terbalik mengartikannya. Pemakaian kata ‘tak bergeming’ yang salah ini sudah terjadi sekian lama. Kalau saya tidak salah ingat, baru ada pembenaran atau koreksi tentang salah kaprah ini beberapa tahun yang lalu dari beberapa pakar bahasa.
Salah kaprah ini berlangsung cukup lama, di mana ‘bergeming’ akhirnya mempunyai arti ‘bergerak’ dan ‘tak bergeming’ justru berarti ‘diam tak bergerak’. Demikian umumnya penggunaan kata ‘tak bergeming’ dalam menggambarkan teguhnya pendirian seseorang itu sehingga akhirnya kesalahan tersebut menjadi sesuatu yang lazim dan dapat dimaklumi.
Sampai kapan kita bisa menutup mata pada sebuah kesalahan dan justru menganggap itu sebagai sebuah kebenaran? Saya sendiri, jujur, baru beberapa tahun belakangan ini mengetahui tentang salah kaprah pemakaian kata ‘bergeming’ ini. Ini terjadi semata karena asumsi yang terbentuk karena begitu lazimnya kata ‘tak bergeming’ di masyarakat dan dunia literatur Indonesia sebagai sesuatu yang berarti ‘diam’.
Sebenarnya banyak sekali salah kaprah dan salah pemakaian kata dalam bahasa Indonesia. Kata ‘acuh’ dan ‘tak acuh’ kadang juga memberikan arti terbalik dalam asumsi pembaca dan penulisnya. Acuh sendiri berdasarkan KBBI berarti ‘peduli’. Lantas karena lazimnya merendengkan kata acuh itu dalam  sebuah idiom ‘acuh tak acuh’ yang berarti tidak peduli, maka ‘acuh’ sendiri akhirnya berubah makna menjadi ‘tak peduli’. Terbalik bukan?
Dari mana salah kaprah ini bermula? Banyak yang bisa dipersalahkan. Media sebagai sumber bacaan dan tontonan adalah tersangka. Tapi di atas semua itu, kemalasan adalah tertuduh utama. Sesungguhnya mencintai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita bukanlah semata menggunakannya dengan baik dan benar sesuai dengan kelaziman yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun. Malas untuk mencari arti dalam kamus. Malas untuk mempelajari kosa kata yang baru dan berbeda. Dan yang paling parah adalah malas untuk merubah kebiasaan yang salah. Hati-hati! Bahasa Menunjukkan Bangsa!
Dua kalimat penutup untuk kita semua :
Dia tak bergeming melihat kesalahan terjadi di depan matanya. Dia pun bergerak untuk meluruskannya. 
(Kalau ada yang menganggap dua kalimat di atas sebagai sebuah kontradiksi, maka ada baiknya mulai membuka-buka lagi Kamus Besar Bahasa Indonesia itu, hehehe…).***
Baca juga Esai Bahasa: Bahasa Latin Amburadul

Popular Posts