Resensi Film: “Fast and Furious 7”, Film Aksi dengan Citarasa Keluarga
FILM anyar Fast & Furious sekuel
ketujuh masih dipadati penonton walau telah diputar hampir sepekan
terakhir ini. Penonton yang rela duduk sampai ke baris depan sungguh
menunjukkan kepopuleran film ini. Secara ekonomi, film ini pasti
mendatangkan pundi melimpah bagi produsernya.
Walaupun biaya produksinya ‘wah’ mencapai 250 juta dolar, tetapi
hanya dalam tempo dua pecan ditayangkan sudah meraup lebih dari 400 juta
dolar. Padahal bisa dipastikan masih panjang umurnya di bioskop-bioskop
seluruh dunia, belum lagi bentuk produk lainnya yang akan menyusul.
Jangan ditiru!
Penggarapan yang serius tampak dari cerita yang menarik dengan
adegan-adegan spektakuler dari mobil-mobil sport yang berseliweran
sepanjang film. Adegan seharga 3.5 juta dolar yang ‘terbang’ dari satu
gedung pencakar langit ke gedung lainnya ditampilkan begitu memikat.
Juga adegan kejar-kejaran seru yang mudah-mudahan tidak mendorong
orang-orang meniru.
Patut diingatkan oleh orangtua yang anak remajanya kesemsem berat dengan para pembalap di serial FF7
ini: semua adegan diperhitungkan dengan matang; dikerjakan dalam
kondisi yang terkendali; dilakukan oleh para ahli. Boleh manjakan mata
Anda, tapi ingatkan otak Anda bahwa itu hasil permainan kamera.
Nasib naas kecelakaan tunggal mobil sport yang merenggut nyawa Paul
Walker sang pemeran utama pada 30 November 2013 harusnya cukup menjadi
peringatan keras tentang bahayanya aksi kebut di jalan. Mobil Porsche
yang dikendarai Roger Rodas dengan Paul Walker duduk di kursi penumpang
waktu itu dipacu antara 130-150 km/jam, demikian diungkapkan hasil
penelitian polisi.
Teknologi CGI
FF7 sempat tertunda setahun pembuatannya karena kematian
mendadak Paul Walker. Pihak produser Universal Pictures menghentikan
produksi waktu itu dan meminta masukan kepada keluarga Paul Walker apa
yang mereka inginkan terhadap rencana FF7.
Akhirnya FF7 disepakati dilanjutkan. Awalnya proses
kelanjutan akting Paul Walker direncanakan dilakukan oleh aktor yang
perawakannya mirip, tetapi akhirnya peran pengganti dilakukan oleh dua
saudara laki-laki Paul Walker yang kemudian dimodifikasi oleh perusahaan
special effects Weta Digital kepunyaan sutradara ternama Peter Jackson,
yang sukses berkreasi dalam trilogi The Lord of The Rings.
Dengan teknologi CGI (Computer Generate Imaginary) yang canggih, sosok Paul Walker seakan hidup berperan dalam film tersebut.
‘Mata Tuhan’
Fast Furious rupanya berkembang menjadi serial ‘super hero’,
lepas dari tren awalnya sebagai ajang lomba kebut-kebutan bawah tanah.
Secara finansial, seluruh seri FF sukses besar.
FF1 (2001) yang diproduksi hanya dengan biaya 38 juta dolar
mendulang pundi 207 juta. Tentu daya jualnya yang tinggi membuat
produser membuat kisah lanjutannya. Seri berikutnya mulai menyangkut
masalah dan intrik yang lebih besar dan luas. Mulai dari FF 5 porsi balapan liar dikurangi drastis, karena pihak Universal Film ingin melebarkan pasar ke target penonton yang lebih umum.
FF7 malah menampilkan tim Toretto sebagai pahlawan yang
menyelamatkan dunia dengan berhasil mengambil kembali ‘Mata Tuhan’ yaitu
suatu teknologi canggih yang bisa mengintip apa saja lewat peralatan
digital di dunia. ‘Mata Tuhan’ yang bisa menemukan apa saja di muka bumi
selama ada peralatan digital di dekatnya.
“Kalau dulu dibutuhkan satu dekade untuk menemukan Osama Bin Laden,
dengan ‘Mata Tuhan’ cukup satu pekan saja, ” demikian diungkapkan Frank
Petty, agen rahasia yang diperankan Kurt Russel di film tersebut.
Maka cerita perebutan yang dibumbui kejar-kejaran, ledakan, dan humor menjadi napas film ini. Sebagai tontonan, FF7 jelas sangat menghibur.
Toretto yang katolik
Hal menarik bagi penonton yang kebetulan katolik adalah kalung tanda
salib yang dikenakan Toretto sang kepala jagoan sepanjang film tersebut.
Juga bagaimana dia membuat tanda salib di depan peti mati Han yang
terbunuh.
Walaupun bekas kriminal sebagai pencuri ulung, Toretto tidak terlihat
membunuh, bahkan ketika berhadapan dengan musuh jahatnya, Deckard Shaw
(Jason Statham) dia tidak menembakkan peluru di senapannya tapi malah
memilih berkelahi ala jalanan. Toretto juga ydi tiap kemunculannya
meminta ada yang memimpin doa syukur sebelum makan.
Hal terpenting yang selalu dikatakannya adalah ‘keluarga’.
Mudah-mudahan nilai inti ikatan kasih dalam keluarga bisa dibawa
pulang para penonton yang memenuhi setiap teater saat ini, selain
terhibur dengan kehebatan dan kecanggihan film ini.***
Baca juga Resensi Film: “Le Règne de la Beauté”, Usai Pengakuan Berdamailah Pasangan Suami-istri
Baca juga Resensi Film: “Le Règne de la Beauté”, Usai Pengakuan Berdamailah Pasangan Suami-istri