Resensi Film: “Le Règne de la Beauté”, Usai Pengakuan Berdamailah Pasangan Suami-istri

KALI ini, sebuah film garapan sutradara Denys Arcand yang pernah menggondol Oscar berkat filmnya The Barbarian Invasions (2003) membetot perhatian saya sepanjang menikmati hari libur Trihari Suci. Tidak saja karena sutradara kelahiran French Canada –tepatnya Quebec yang penduduknya semuanya berbahasa Perancis (francophone)— ini mampu menampilkan panorama scenic yang menawan di Quebec lengkap dengan suasana summer, winter dan spring. Melainkan lebih karena film besutan tahun 2014 ini berkisah tentang hidup manusia modern zaman sekarang. Yakni, sukses di ladang pekerjaan belum tentu menjamin sukses membina hubungan rumah tangga dalam biduk perkawinan.
Luc Sauvageau (Eric Bruneau) punya modal ketampanan dan kecerdasan hingga meraih sukses sebagai arsitek kenamaan kelas papan atas baik di Eropa maupun di Kanada: tepatnya di Toronto. Namun, jauh dari keramaian dunia kerja, istrinya yang menawan Stéphanie (Melanie Thierry) justru merenda garis hidup yang sepi di permukiman indah di Quebec lantaran sering ditinggal pergi kerja oleh Luc.

Serba monoton, rentan renggang
Dunia kerja Luc yang penuh persaingan di panggung arsitektur dan hidup monoton yang dilakoni Stephanie sebagai guru olah raga di sebuah lycée (sekolah menengah) membawa keduanya ‘renggang’ di urusan ranjang. Ujung-ujungnya, Luc kecantol hatinya berkat rayuan asmara Lindsay yang kesepian (Melanie Merkosky), sementara Stephanie terjerat asmara hubungan lesbi dengan kawan dekatnya.
Meski di kemudian hari, Luc didera kecemasan terkena penyakit kelamin dan Stephanie mengalami depresi karena hidupya serba mononton, keduanya tetap berusaha menyenangkan satu sama lain. Namun, mirip pepatah yang mengatakan bau busuk pun akan segera terungkap oleh perjalanan waktu, maka Stephanie yang merasa ada ‘sesuatu’ dalam diri Luc akhirnya mengalami depresi. Ia nyaris bunuh diri dengan membiarkan dirinya tergolek lemah tanpa makan-minum sekedar ingin ‘menghukum’ dirinya atas ketidakmampuannya ‘menegur’ perselingkuhan suaminya.
Luc pun didera perasaan skrupel yang senantiasa membebat ujung sanubarinya, setiap kali usai bergumul merespon gejolak asmara Lindsay yang terus menggodanya. Maka tibalah saatnya, ketika pasangan suami-istri ini berani mengutarakan isi hatinya. Semacam confessiones (pengakuan dosa) satu sama lain yang mereka lakukan sembari duduk di atas sebuah bangku menghadap aliran sungai bersih nan tenang St. Lawrence River di kawasan hijau di Quebec.
Kanada –kali ini hanya Toronto dan Quebec—yang diekspose sutradara Denys Arcand memang sungguh indah. Lanskap hijau, telaga nan bening, hamparan salju di perbukitan, dan jalanan super bersih dan rapi tersaji di film Le Règne de la Beauté yang kemudian dilansir dengan judul baru sebagai An Eye for Beauty.
Judul dalam bahasa Inggris ini tepatnya mengarah pada sosok Luc. Ia tampan, cerdas, kaya, namun juga punya citarasa tinggi dalam meretas kesempatan bisa mengencani perempuan lain selain Stephanie istrinya yang blonde. Waktu konferensi di Paris, ia mengencani gadis lain. Belakangan waktu pulang di Toronto, ia mengencani Lindsay  hingga kemudian mendapati Stephanie menjalani jalur kehidupan biseksual yang membuat dia terseok kaget.
Le Règne de la Beauté besutan Denys Arcand adalah film indah tentang kisah kehidupan rumah tangga yang tak jarang rentan oleh gejolak perselingkuhan. Dunia kerja telah membawa orang ke tata pergaulan luas hingga  kenal dengan banyak pihak. Dunia pergaulan luas inilah yang juga  telah membawa Luc sampai mengingkari cintanya terhadap Stephanie. Sebenarnya, Luc adalah seorang pria yang lurus hati namun menjadi lemah ketika rayuan asmara datang dari sosok perempuan kesepian yang mendamba cinta dan hasrat birahi.
Sekali lagi, film produksi Kanada besutan Arcand ini tidak terlalu banyak cerita tentang adegan ranjang. Ini lebih bicara tentang konflik batin, ketika pribadi-pribadi dalam sebuah tatanan masyarakat modern terhempas kuat dalam cengkeraman dunia kerja dan juga menikmatinya, namun hatinya sepi oleh cinta sejati di rumah.
Stephanie mengalami kekosongan cinta,  setiap kali rumah mereka kosong karena Luc sering dan senantiasa bepergian jauh untuk waktu yang lama. Efeknya dahsyat hingga sekali waktu dia sendiri sampai terperangah hebat  mendapati kondisi kejiwaannya ternyata rapuh. Itu terjadi saat Stephanie bersama Luc nonton berita sajian politik tentang kekerasa di Libya pasca tumbangnya Kolonel Muammar Khaddafi,
Berita itu memang sensational dan juga keji, ketika saat tersaji mantan Pemimpin Libya yang kharismatik itu akhirnya tertangkap massa di sebuah gorong-gorong dan kemudian membantainya dengan sadis.
“Apakah semua ini riil?,” gugatnya kepada Luc yang duduk di sampingnya.
Luc secara fisik memang berada di sisinya, namun sejatinya hati dan perasaan Luc ‘terbang’ ke lain tempat: bukan di Quebec, tempat mereka berdua tinggal, namun di Toronto tempat Lindsay –kekasih selingkuhannya– tinggal.
Kedekatan fisik tak membuat Stephanie mampu meraih hati Luc. Pun pula sama, meski adadi sisi Stephanie, tapi gelojot cinta Luc sudah diambil oleh teman selingkuhannya di Toronto: Lindsay.
Itulah dunia kerja manusia modern, ketika para pekerja profesional seperti Luc bisa mengalami solitude.  Perasaan sepi nyenyet itu terjadi menyergap dirinya, saat berada jauh dari pelukan Stephanie dan tiba-tiba saja muncul perempuan lain  bernama Lindsay yang ingin menggoda hasrat kelelakiannya.***
Baca juga Resensi Film: “Ada Surga di Rumahmu”, Surga Begitu Dekat Kita

Popular Posts