Resensi Film: “The Imitation Game,” Dedikasi dan Tudingan Masyarakat
BILA ingin menikmati film The Imitation Game,
Anda memerlukan ekstra konsentrasi. Selain menggunakan latar belakang
historis Perang Dunia II pada awal abad 19-an, Anda diajak menggeluti
dunia para pemecah sandi yang rumit. Juga kronologi film produksi Black
Bear Pictures yang dibuat maju-mundur agar Anda bisa menangkap secara
global cerita film, bisa menyebabkan bingung.
Biografi Alan Turing
Film ini berfokus pada tokoh Alan Turing (Benedict Cumberbatch), seorang ilmuwan jenius namun terpenjara oleh pengalaman masa lalunya yang membuatnya kehilangan rasa humor, cenderung autis dan menjadi homoseksual. Sebagai ilmuwan muda, Turing termasuk seorang pekerja keras dan penuh dedikasi terhadap pekerjaannya.
Film ini berfokus pada tokoh Alan Turing (Benedict Cumberbatch), seorang ilmuwan jenius namun terpenjara oleh pengalaman masa lalunya yang membuatnya kehilangan rasa humor, cenderung autis dan menjadi homoseksual. Sebagai ilmuwan muda, Turing termasuk seorang pekerja keras dan penuh dedikasi terhadap pekerjaannya.
Alan Turing bergabung dengan tim pemecah kode (chriptographer)
dalam Perang Dunia II melawan pasukan Jerman. Ketidakpuasannya pada
cara kerja manual mendorong Turing menciptakan Christopher, mesin
pemecah kode. Dengan sikap yang terkesan asosial, tentu kreasi Turing
ini membuat rekan-rekannya merasa terbuang. Bayangkan saja, mesin ini
mampu menggantikan peran ratusan orang dalam memecahkan kode.
Untuk memperkuat teamnya, Turing merekrut Joan Clarke (Keira
Knightley) dalam timnya. Rupanya Joan yang kelak menjadi istri Turing,
bisa menyelamatkan relasi Turing dengan rekan-rekan timnya: Alexander
(Matthew Goode) dan Hilton (Matthew Beard). Kerja tim ini sangat luar
biasa sehingga mampu membaca gerakan pasukan Jerman.
Dengan memecahkan kode tersebut, Pasukan Sekutu dapat memotong laju
pergerakan perang sehingga dapat menyelamatkan ribuan orang dari
keganasan perang.
Namun apa mau dikata, Anda kemudian akan menyaksikan bahwa si jenius
Alan Turing akhirnya mendapatkan hukuman mati. Seperti yang ditampilkan
dalam film, Turing berada dalam penjara di tahun 1952 atas tuduhan
homoseksual. Setelah bekerja pada pemerintah sebagai ilmuwan pemecah
kode, Turing hidup seorang diri sambil berjuang melawan penyakitnya.
Masyarakat pada era itu menolak keras homoseksualitas. Masyarakat
lebih ngeri terhadap kecenderungan seksualitas ini ketimbang bahaya
perang. Akibatnya tanpa pengampunan, bahkan atas segala usaha Alan
Turing untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, akhirnya
perjalanan seorang ilmuwan yang mendedikasikan diri untuk kemajuan
teknologi berujung pada hukuman mati.
Perlu belaskasih
Spontan, kesan yang muncul setelah menonton film ini ialah: tidak adil. Dalam konteks masyarakat yang cukup keras dengan cara pandang hitam-putih, benar-salah, baik-buruk, Alan Turing menerima kenyataan bahwa persembahan dirinya untuk kemajuan zaman dihancurkan oleh kecenderungan homoseksualnya.
Spontan, kesan yang muncul setelah menonton film ini ialah: tidak adil. Dalam konteks masyarakat yang cukup keras dengan cara pandang hitam-putih, benar-salah, baik-buruk, Alan Turing menerima kenyataan bahwa persembahan dirinya untuk kemajuan zaman dihancurkan oleh kecenderungan homoseksualnya.
Padahal kalau merunut kisahnya, kecenderungan itu muncul karena
tekanan lingkungan di asramanya dulu. Alan adalah korban sebuah
lingkungan yang represif. Lalu tidak ada bukti yang menunjukkan kalau
kecenderungan itu mengarah pada kelakuan seksual sebagai gay.
Sayangnya, pengakuan dirinya sebagai homoseksual (bisa dikatakan
sebagai bentuk kejujuran dan keterbukaan atas situasi dirinya), justru
dijadikan senjata oleh masyarakat (dalam hal ini undang-undang dan nilai
zaman) untuk menghabisinya.
Menarik untuk mengangkat gagasan yang oleh Gereja Katolik kembangkan
saat ini. Gereja pada prinsipnya mengecam semua tindakan jahat/dosa (action) namun tidak pernah membenci pribadinya (person). Tuhan mengajak umat manusia untuk mencintai sesama sebagai pribadi namun dengan tegas menolak tindakan jahatnya.
Hal ini begitu jelas diwartakan oleh Kitab Suci, sejak jaman purba
Allah melawan semua bentuk kejahatan dan dosa tetapi seketika juga
memberi kesempatan kepada setiap pribadi yang ingin bertobat. Itulah
gagasan teologi belas kasih Allah yang dengan gencar diserukan oleh Paus
Fransiskus.
Kasus Alan Turing dapat menjadi pembelajaran bagi kita bersama. Kita
harus berani menjebol tembok penghakiman dan lebih mengembangkan
hospitality dengan berteman dengan para homoseksual. Kita membantu
pribadi-pribadi ini menemukan panggilan hidupnya bukan dengan
menghukumnya.
Bagaimana pun mari kita taruh di meja dan diskusikan tentang soal ini lebih mendalam.***
Baca juga Resensi Film: "Begin Again", Kuasa Musik
Baca juga Resensi Film: "Begin Again", Kuasa Musik