TAPAL BATAS
Alam memang rapuh. Tetapi rasa hormat-bakti kita atasnya, adalah kekuatan yang memulihkan. Bersama-sama, di tapal batas laut dan daratan, di tapal batas kehidupan, mari kita olah rasa itu, kawan.
Siang ini mari kita menatap garis batas daratan dan lautan : habitat pesisir. Habitat yang kadang terlupa lantaran kita sibuk berbicara tentang perubahan iklim atau pencemaran laut yang ada di mana-mana itu. Ekosistem di perbatasan darat dan laut ini, mulai dari hutan mangrove, estuari/muara sungai, hingga gumuk-gumuk pasir, adalah penjaga kehidupan yang kadang luput dari perhatian. Mereka adalah benteng, lumbung pangan, dan bagian tak terpisahkan dari identitas sosial-ekonomi-budaya banyak komunitas. Mari kita menjumpai mereka !
Ekosistem Kritis Pesisir
Habitat pesisir adalah kompleks ekosistem yang produktif dan strategis. Fungsi-fungsi vital mereka melampaui batas-batas nasional, menopang kehidupan laut dan darat, dan menyediakan jasa ekosistem tak ternilai bagi planet ini. Mengapa disebut fungsi-fungsi vital ? Karena peran mereka yang penting dan tak tergantikan bagi keberlangsungan ekologis, ekonomi, dan sosial, baik di tingkat lokal maupun global. Mengapa disebut vital? Karena tanpa fungsi-fungsi ini, akan terjadi keruntuhan sistem yang berdampak buruk pada kehidupan laut dan manusia.
a) Hutan mangrove: Pohon-pohon unik ini adalah benteng-benteng alami. Akar kompleksnya menjadi jejaring pelindung garis pantai dari abrasi, badai, bahkan gelombang tsunami. Sebuah studi pasca tsunami Samudra Hindia 2004 menunjukkan bahwa desa-desa yang terlindungi oleh hutan mangrove yang masih utuh mengalami kerusakan jauh lebih kecil daripada yang tanpa mangrove (Danielsen et al., 2005). Mangrove adalah tempat pembenihan, "tempat penitipan anak" (nursery ground) yang sangat penting bagi banyak spesies ikan komersial, udang, dan kepiting, yang sangat mendukung perikanan lepas pantai global (Nagelkerken et al., 2008). Peran hutan mangrove sebagai penyerap karbon biru juga penting; mangrove mampu menyimpan 5-10 kali lebih banyak karbon per hektar dibandingkan hutan terestrial/daratan, menjadikannya bagian penting dalam mitigasi perubahan iklim (Alongi, 2012; Macreadie et al., 2021).
b) Muara sungai (estuari): Pertemuan air tawar sungai dan air asin laut menciptakan lingkungan payau yang kaya nutrien. Ini menjadikan muara sebagai salah satu ekosistem paling produktif di bumi. Estuari menyediakan makanan berlimpah dan tempat berlindung berbagai biota laut, termasuk ikan yang bermigrasi. Mereka juga berfungsi sebagai filter alami, yang menjebak sedimen dan polutan sebelum mencapai laut terbuka.
c) Padang lamun: Hamparan rumput laut ini adalah "paru-paru bawah air" yang menghasilkan oksigen, menstabilkan sedimen, dan menjadi habitat esensial bagi spesies ikonik seperti dugong dan kuda laut. Seperti mangrove, lamun juga adalah penyimpan karbon biru yang penting, karena menyimpan 18% dari total karbon yang terkandung dalam sedimen laut global (Fourqurean et al., 2012).
d) Pantai berpasir dan gumuk pasir: Garis pantai adalah habitat penting bagi penyu laut bertelur dan berbagai burung pantai. _*Gumuk pasir, yang dibentuk oleh angin di belakang pantai, berfungsi sebagai penghalang alami yang melindungi daratan dari intrusi air laut dan badai.
e) Hutan pesisir dan -pulau-pulau kecil: Vegetasi sepanjang garis pantai juga berperan sebagai penyangga dan habitat. Pulau-pulau kecil, meskipun rentan, juga menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati endemik yang tinggi dan juga rumah bagi komunitas manusia dengan budaya maritim yang kaya.
Ekosistem ini membentuk jaring pengaman ekologis yang tak tergantikan, menopang kehidupan laut dan manusia di garis pantai, juga berkontribusi pada kesehatan ekosistem global kita.
Anatomi Hilangnya Habitat Pesisir
Arti penting habitat pesisir ini berkebalikan dengan kerapuhannya menghadapi tekanan manusia yang masif dan tak terkendali, sebuah "tragedy of the commons" di skala lokal, didorong oleh keserakahan, tata kelola yang lemah, dan pandangan jangka pendek manusia di dalamnya :
a) Reklamasi lahan dan pembangunan infrastruktur tepi pantai: Inilah penyebab utama hilangnya habitat pesisir secara langsung. Ribuan hektar hutan mangrove, rawa pasang surut, dan area intertidal ditimbun (dikubur hidup-hidup!) untuk memperluas daratan. Tujuannya beragam: pembangunan pelabuhan raksasa, bandara baru, kawasan industri, hotel mewah, resort pariwisata, dan perumahan elit. Di Indonesia proyek reklamasi di Teluk Jakarta menghancurkan lebih dari 5.000 hektar habitat pesisir kritis, termasuk mangrove dan padang lamun, mengubah garis pantai alami menjadi beton (Susanti & Sitorus, 2019). Tak hanya kerugian ekologis yang kita semua alami, tetapi juga perampasan ruang hidup yang memicu protes luas nelayan lokal. Mereka kehilangan akses ke daerah tangkapan tradisional mereka. Reklamasi juga menyebabkan peningkatan risiko banjir rob.
b) Pembabatan mangrove untuk akuakultur intensif: untuk memenuhi permintaan protein global, kita mengorbankan "tempat penitipan anak" alami bagi ikan. Area mangrove secara masif ditebang untuk dikonversi menjadi tambak udang atau ikan intensif. Di Asia Tenggara, diperkirakan 38% hutan mangrove hilang akibat diubah menjadi tambak budidaya antara tahun 1980 dan 2000 (Richards & Friess, 2016). Laporan FAO (2019) secara spesifik menyoroti bahwa akuakultur menyumbang lebih dari 50% dari total kehilangan mangrove global.
c) Abrasi pantai dan penambangan pasir yang merusak: Ancaman dobel ini dihadapi pantai-pantai kita. Kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global perlahan menenggelamkan habitat pesisir yang tak dapat bermigrasi ke daratan. Pproyeksi menunjukkan permukaan laut global bisa naik hingga 1 meter pada tahun 2100 (IPCC, 2021). Bukan hanya itu, abrasi juga diperparah oleh aktivitas manusia. Penambangan pasir pantai dan laut yang tak terkontrol menghilangkan sedimen alami. Di Vietnam, misalnya, eksploitasi pasir telah menyebabkan hilangnya puluhan kilometer garis pantai dan mengancam ratusan ribu rumah tangga (Syvitski et al., 2022).
d) Polusi dan limbah dari daratan: Sungai membawa limbah industri, domestik, dan pertanian ke estuari dan perairan pesisir. Sebagaimana pernah beberapa kali dibahas, polutan ini memicu eutrofikasi—ledakan pertumbuhan alga yang kemudian membusuk dan menguras oksigen, menciptakan zona mati yang tidak dapat menopang kehidupan laut. Lebih dari 400 zona mati telah diidentifikasi di seluruh dunia (Diaz & Rosenberg, 2008). Limbah padat, terutama plastik, memenuhi pantai dan mangrove, menjerat satwa liar dan secara fisik menghancurkan habitat. Diperkirakan 8 hingga 12 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahun (Jambeck et al., 2015), dan laporan UNEP (2021) menyebutkan polusi plastik ke lautan diperkirakan akan tiga kali lipat pada tahun 2040 jika tidak ada intervensi besar.
e) Perubahan penggunaan lahan dan urbanisasi masif: Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang pesat di wilayah pesisir menyebabkan tekanan luar biasa pada lahan. Sekitar 40% populasi dunia hidup dalam jarak 100 km dari pantai, menempatkan tekanan demografis yang belum pernah terjadi sebelumnya pada ekosistem pesisir (UNEP, 2010).
Dampak Berantai: Kehancuran Ekologis, Kemiskinan, dan Hilangnya Identitas
Hilangnya habitat pesisir menimbulkan dampak beruntun yang menciptakan lingkaran setan kemiskinan, ketidakadilan, dan kerapuhan budaya:
a) Bencana ekologis yang tak terpulihkan (irreversible):
i. Penurunan populasi biota laut: Hilangnya nursery ground berarti penurunan drastis populasi ikan, udang, dan kepiting. Secara global, 34% stok ikan dinilai sebagai overfished (FAO, 2022).
ii. Peningkatan kerentanan bencana: Tanpa benteng alami, masyarakat pesisir menjadi sangat rentan terhadap dampak badai, banjir rob, dan gelombang ekstrem. Kerugian ekonomi akibat bencana terkait iklim di wilayah pesisir telah meningkat empat kali lipat sejak 1980-an* (UNISDR, 2015).
iii. Percepatan perubahan iklim: Hilangnya penyerap karbon biru signifikan melepaskan karbon yang tersimpan kembali ke atmosfer dan mengurangi kapasitas alami bumi untuk menyerap emisi baru. Kerusakan 1% mangrove saja dapat melepaskan karbon yang setara dengan emisi dari 26 juta mobil setiap tahun (Pendleton et al., 2012).
b) Bencana sosial-ekonomi-kultural:
i. Peningkatan kemiskinan dan krisis pangan: Nelayan tradisional kehilangan mata pencarian mereka. Sekitar 3 miliar orang di seluruh dunia bergantung pada ikan sebagai sumber protein utama, dan kerusakan habitat pesisir mengancam ketahanan pangan mereka (FAO, 2022).
ii. Pengungsian iklim dan dislokasi komunitas: Kenaikan permukaan air laut dan abrasi memaksa ribuan orang untuk meninggalkan tanah leluhur mereka, menjadi pengungsi iklim. Dislokasi ini berarti putusnya ikatan sosial, budaya, dan spiritual dengan lingkungan.
iii. Hilangnya warisan budaya dan kearifan lokal: Banyak komunitas pesisir memiliki kearifan lokal dan praktik budaya yang erat terkait dengan ekosistem pesisir. Hilangnya habitat berarti juga hilangnya identitas budaya dan warisan tak benda yang tak ternilai, sebuah bentuk kolonialisme ekologis (Shipp, 2019).
iv. Konflik Sosial: Perebutan lahan pesisir untuk pembangunan seringkali menyebabkan konflik agraria antara masyarakat adat atau lokal dengan investor besar.
Berjalan ke depan, berjalan menyemai harapan
Hilangnya habitat pesisir -ruang alami- adalah dampak menyakitkan dari "paradigma teknokratis" dan "antroposentrisme menyimpang" (LS 101, 115) : alam adalah objek tak terbatas dari eksploitasi dan manipulasi manusia. Relasi manusia dan alam yang semestinya sebentuk panggilan untuk melayani-merawat-melestarikan, berubah menjadi relasi dominasi dan penghisapan. Kehancuran ekosistem pesisir adalah tanda dari "globalisasi sikap apatis" (LS 52) kita. Dan tidak hanya sampai di situ, ia juga harus mengorbankan saudara-saudara kita yang rentan : masyarakat pesisir. Benar, mereka yang miskin yang menjadi korban pertama dari kerusakan lingkungan. Di saat inilah, kita butuh komitmen serius dan aksi nyata, berakar pada pertobatan ekologis, digerakkan kerinduan akan keadilan sosial:
a) konservasi dan restorasi skala besar dengan partisipasi komunitas: Melindungi sisa-sisa ekosistem pesisir yang utuh dan berinvestasi dalam restorasi ekosistem yang rusak. Studi menunjukkan bahwa proyek restorasi yang melibatkan komunitas memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi (Bayraktarov et al., 2016).
b) perencanaan tata ruang pesisir berkelanjutan dan berpihak pada alam dan rakyat: Menerapkan regulasi yang ketat terhadap reklamasi dan pembangunan pesisir, memastikan studi dampak lingkungan yang transparan dan melibatkan partisipasi penuh masyarakat lokal. Prioritas pada pembangunan yang adaptif dan berbasis alam.
c) Pendekatan Ridge-to-Reef (R2R) terpadu: Mengelola lanskap secara holistik, dari hulu sungai (ridge) hingga ekosistem laut dalam (reef), untuk mengatasi polusi dan erosi dari daratan.
d) Reformasi kebijakan perikanan dan akuakultur: Mendorong praktik akuakultur yang bertanggung jawab dan berkelanjutan yang tidak mengorbankan mangrove. Mendukung perikanan skala kecil dan tradisional.
e) Pengurangan konsumsi berlebihan dan pengembangan kesadaran: Mengatasi akar masalah yang mendorong kerusakan, seperti permintaan pasar yang tidak berkelanjutan, dan mendorong gaya hidup yang lebih sederhana dan bertanggung jawab.
Di Pulau Paskah (Rapa Nui), berabad-abad lalu sebuah peradaban kuno runtuh sebagian karena penggundulan hutan palem masif (Diamond, 2005; Mieth & Bork, 2003). Setengah sumber daya darat mereka lenyap dan ekosistem pesisir mereka terancam. Di tengah kehancuran itu, kearifan lokal "mana" (penghormatan atas roh, kekuatan spiritual dan keseimbangan) tetap bertahan. Budaya tapu (larangan sementara) pada area penangkapan ikan diterapkan hingga sumber daya alam dipulihkan. Kini, mereka -masyarakat Rapa Nui- berjuang menghidupkan kembali praktik-praktik ini. Mereka berjuang untuk melindungi habitat pesisir mereka yang rapuh.
Alam memang rapuh. Tetapi rasa hormat-bakti kita atasnya, adalah kekuatan yang memulihkan. Bersama-sama, di tapal batas laut dan daratan, di tapal batas kehidupan, mari kita olah rasa itu, kawan.
Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com
Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI
Dari Sejarah : Pada tanggal 18 Juni 1971, film dokumenter pendek *"The House That Beavis Built" ditayangkan. Meskipun kurang dikenal secara global, film-film dokumenter lingkungan di era pasca Hari Bumi pertama ini mulai bermunculan mendidik publik tentang isu-isu seperti polusi, kerusakan habitat, dan konsumsi berlebihan. Film-film ini berperan penting dalam membentuk kesadaran publik dan memicu gerakan lingkungan.