MEREKA YANG TERUSIR, METEKA YANG TERAPUNG


Bagi para pengungsi, laut adalah harapan dan kematian

"Di dunia yang mengglobal ini, kita telah jatuh ke dalam ketidakpedulian yang mendunia, kita menjadi terbiasa dengan penderitaan orang lain: itu tidak berdampak bagiku; itu tidak menjadi perhatianku; itu bukan urusanku!"

Demikian paus Fransiskus, 8 Juli 2013, di Lampedusa, sebuah pulau kecil di selatan Italia tetapi menjadi gerbang utama ribuan pengungsi menyeberangi Mediterania, kunjungan perdananya setelah beberapa bulan terpilih. Tak lama sesudah kunjungan ini, krisis pengungsi menuju Eropa memuncak 2014-2016. Jutaan orang pengungsi masuk ke Eropa dari berbagai negara. Ribuan mati sia-sia di kerasnya lautan dan perjalanan. Kunjungan Paus Fransiskus ke Lampedusa, adalah sebuah pernyataan sikap politik Tahta Suci yang akhirnya terumuskan menjadi 4 tema utama penanganan pengungsi dari Vatikan

Di Lampedusa, di tengah tumpukan jaket pelampung dan sisa-sisa perahu yang hancur, Sri Paus melemparkan karangan bunga ke laut sebagai tanda duka cita.

 

Siapa Pengungsi di Lautan?

Dan kisah pengungsi di lautan, adalah kisah yang sangat lama. "Pengungsi di lautan" adalah individu atau kelompok yang menempuh perjalanan laut berbahaya untuk melarikan diri dari situasi mengancam jiwa atau kehidupan di tanah asal mereka. Istilah ini meliputi Pengungsi, pencari suaka, dan migran. Pengungsi (Refugees): adalah mereka yang melarikan diri dari konflik bersenjata, persekusi, atau kekerasan meluas dan memenuhi syarat perlindungan internasional di bawah Konvensi Pengungsi 1951 atau protokolnya. Pencari Suaka (Asylum Seekers): Pribadi-pribadi yang melarikan diri dari negara asal mereka dan mencari perlindungan internasional, tetapi status hukum mereka belum ditentukan. Migran (Migrants): adalah mereka yang bergerak, biasanya melintasi perbatasan internasional, terlepas dari alasan migrasi, durasi, atau status hukumnya.

Di lautan, perbedaan peristilahan ini sering menjadi kabur, mereka menanggung risiko yang sama dan ada dalam kondisi beresiko yang ekstrem. Mereka mencari keselamatan, mencari martabat di tengah lautan yang tak mereka kenal.

 

Mengapa mereka pergi ?

Gelombang pengungsi di lautan bukanlah fenomena tunggal, ia hasil dari krisis multidimensional yang ruwet dan saling terkait:

 1. Konflik bersenjata dan persekusi sistematis: adalah pendorong utama migrasi paksa. Contoh paling menonjol adalah krisis pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan brutal dan persekusi sistematis di Myanmar. Sejak 2017, ratusan ribu Rohingya melarikan diri melalui Laut Andaman dan Teluk Benggala dengan perahu rapuh, menghadapi kelaparan, penyakit, dan risiko tenggelam. UNHCR (2021a) melaporkan ribuan orang terdampar dan banyak yang meninggal di laut dalam perjalanan putus asa ini. Demikian pula, konflik di Suriah, Libya, dan Eritrea telah mendorong jutaan orang menyeberangi Laut Mediterania menuju Eropa, mencari keselamatan dari perang dan penindasan (UNHCR, 2023).

2. Kemiskinan ekstrem dan kurangnya peluang ekonomi: Di banyak negara, kemiskinan akut, pengangguran massal, dan kurangnya prospek masa depan membuat pilihan untuk bermigrasi secara tidak teratur menjadi satu-satunya harapan. Misalnya, migran dari negara-negara Afrika Barat (seperti Senegal dan Gambia) seringkali menempuh perjalanan ribuan kilometer melintasi Samudra Atlantik yang berbahaya menuju Kepulauan Canary Spanyol. IOM (2023) melaporkan peningkatan drastis kematian di rute ini karena kondisi perahu yang tidak layak dan jarak yang ekstrem.

3. Bencana alam dan dampak perubahan iklim: Perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, kekeringan ekstrem yang menghancurkan pertanian, dan badai yang kian sering juga memicu gelombang migrasi. Masyarakat di negara-negara kepulauan kecil yang terancam tenggelam atau di wilayah pesisir yang rentan abrasi, seperti beberapa bagian Bangladesh atau delta Mekong, mungkin terpaksa bermigrasi, termasuk melalui laut (IPCC, 2022). Laudato Si’Movement Oceania juga aktif memperjuangkan para pengungsi karena kenaikan air laut di Pasifik.

4. Ketidakstabilan politik dan pelanggaran Hak Asasi Manusia: Kurangnya tata kelola yang baik, korupsi endemik, dan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas seringkali menciptakan lingkungan yang tidak dapat ditinggali, memaksa individu untuk mencari perlindungan internasional.

 

Tragedi di Tengah Laut

Para pengungsi di lautan berada dalam kondisi kerentanan ekstrem, menghadapi bahaya yang sangat besar:

1. perahu yang tidak layak dan kelebihan muatan: Mereka seringkali dipaksa menaiki perahu-perahu kecil, rapuh, dan kelebihan muatan, tanpa peralatan navigasi atau keselamatan yang memadai. Banyak yang tidak bisa berenang. Perahu-perahu ini rentan terbalik, tenggelam, atau rusak di tengah badai. Pada tahun 2023, lebih dari 3.000 orang meninggal atau hilang di Laut Mediterania (UNHCR, 2024), sebagian besar akibat kecelakaan kapal. Data dari IOM Missing Migrants Project mencatat lebih dari 29.000 kematian dan kehilangan di laut secara global sejak 2014, sebagian besar di Mediterania (IOM, 2024).

2. Kekurangan pangan, air, dan medis: Kelaparan, dehidrasi parah, dan penyakit (termasuk penyakit menular) adalah ancaman konstan selama perjalanan yang bisa memakan waktu berhari-hari hingga berminggu-minggu. Banyak yang meninggal karena kondisi ini.

3. Kekerasan dan eksploitasi: Para pengungsi seringkali menjadi korban kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia di tangan penyelundup atau bahkan sesama penumpang yang putus asa (UNHCR, 2021b). Perempuan dan anak-anak sangat rentan terhadap eksploitasi ini.

4. Penolakan dan "Pushback": Praktik pushback oleh otoritas negara-negara tujuan adalah tragedi kemanusiaan. Ini melanggar hukum internasional sekaligus juga secara langsung menyebabkan kematian. Kapal-kapal yang ditolak masuk seringkali kehabisan bahan bakar dan perbekalan, meninggalkan para penumpang di tengah laut tanpa harapan.

5. Ketiadaan status Hukum: Mereka yang selamat dari perjalanan maut seringkali terperangkap dalam limbo hukum, tanpa status pengungsi atau imigran yang jelas. Ini membuat mereka rentan terhadap penahanan berkepanjangan, tidak memiliki akses ke layanan dasar seperti kesehatan atau pendidikan, dan hidup dalam ketakutan akan deportasi.

 

Tanggung jawab seluruh dunia

Krisis pengungsi di lautan adalah tanggung jawab kolektif yang menuntut pendekatan multidimensi:

1. Dimensi kemanusiaan dan HAM: Prioritas utama adalah menyelamatkan nyawa di laut. Ini berarti mendukung operasi SAR (Search and Rescue) yang kuat dan memastikan tempat pendaratan yang aman bagi semua yang diselamatkan, tanpa diskriminasi. Prinsip non-refoulement harus dihormati sepenuhnya.

2. Dimensi hukum dan tata kelola internasional: Perlu ada mekanisme pembagian tanggung jawab yang lebih adil antarnegara untuk memproses klaim suaka dan menampung pengungsi. Kerangka hukum internasional sudah ada, tetapi implementasinya seringkali lemah karena kurangnya kemauan politik dan beban yang tidak proporsional pada negara-negara garis depan.

3. Dimensi politik dan resolusi konflik: Mengatasi akar masalah adalah kunci. Ini berarti investasi serius dalam _pencegahan konflik, mediasi, dan pembangunan perdamaian _di negara-negara asal. Komunitas internasional harus bekerja sama untuk menegakkan hak asasi manusia dan tata kelola yang baik.

4. Dimensi pembangunan dan keadilan ekonomi: Mengurangi kemiskinan ekstrem dan menciptakan peluang ekonomi yang berkelanjutan di negara-negara asal dapat mengurangi dorongan untuk migrasi paksa. Ini melibatkan investasi dalam pendidikan, pekerjaan layak, dan pembangunan yang inklusif.

5. Dimensi lingkungan dan iklim: Mengakui dan mengatasi dampak perubahan iklim sebagai pendorong migrasi di masa depan. Membantu negara-negara yang rentan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim dan mempertimbangkan mekanisme perlindungan bagi "pengungsi iklim."

 

Dari Gereja untuk para pengungsi lautan

Gereja Katolik, di bawah Paus Fransiskus, menjadi salah satu suara paling lantang membela martabat para pengungsi dan migran, khususnya mereka yang terdampar di laut. Upaya Vatikan mencakup beberapa aspek :

1. Panggilan moral dan teguran politik: Paus Fransiskus secara konsisten menyerukan solidaritas, keramahan, dan belas kasih bagi mereka yang mencari perlindungan. Ia sering menyebut Laut Mediterania sebagai "kuburan massal", ia mengkritik "globalisasi ketidakpedulian" yang menyebabkan tragedi ini. Pesannya menegaskan setiap individu rentan di atas perahu adalah saudara dan saudari kita tempat kita melihat wajah Kristus di dalamnya.

2. Dukungan pastoral dan kemanusiaan: Melalui Dicastery for Promoting Integral Human Development (termasuk Migrants & Refugees Section), Vatikan memberikan dukungan konkret (bantuan kemanusiaan, penampungan, dukungan hukum, dan advokasi) kepada organisasi gereja dan LSM Katolik yang bekerja di lapangan, termasuk Caritas Internationalis dan Jesuit Refugee Service (JRS).

3. Advokasi kebijakan internasional: Vatikan aktif terlibat dalam dialog dan forum internasional (seperti PBB) untuk mendorong kebijakan migrasi yang manusiawi, menghormati HAM, dan mengedepankan pembagian tanggung jawab yang adil antarnegara. Vatikan juga menyerukan jalur migrasi yang aman dan legal untuk mengurangi ketergantungan pada penyelundup.

4. Menggarisbawahi ekologi integral: Paus Fransiskus memposisikan krisis pengungsi laut sebagai bagian dari krisis ekologi integral yang lebih luas.

 

Di sebuah museum kecil di Lampedusa

Di sebuah museum kecil di Lampedusa, ada sebuah instalasi seni yang sederhana : sepatu-sepatu usang. Sepatu bayi yang basah kuyup, sepatu sekolah yang sobek, sepatu kerja yang sudah usang—semuanya ditemukan terdampar di pantai setelah perahu-perahu pengungsi karam. Mereka adalah jejak terakhir dari kehidupan yang berjuang untuk bertahan. Setiap pasang sepatu adalah jiwa yang mencari rumah pengharapan.

"Setiap manusia yang tidak aman, setiap orang yang tak memiliki tempat berlindung, setiap pengungsi yang melarikan diri dari perang atau kelaparan, atau mencari kehidupan yang lebih baik, adalah saudara laki-laki dan perempuan kita, dan kita harus menyambut mereka. Mereka adalah orang-orang yang, seperti Yesus, tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala mereka." — Paus Fransiskus, Pesan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia 2018.

Berani mencintai mereka, kawan ?

 

Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com

Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI

Dari Sejarah : Hari Pengungsi Sedunia berawal dari pengakuan atas krisis kemanusiaan yang dialami para pengungsi, khususnya di Afrika. Beberapa negara di Afrika merayakan Hari Pengungsi, hingga diakui resmi oleh Organisasi Kesatuan Afrika (OAU) di tanggal 20 Juni. Penetapan Global: Pada 4 Desember 2000, Majelis Umum PBB dalam Resolusi 55/76 memutuskan, mulai 2001, 20 Juni dirayakan secara internasional sebagai Hari Pengungsi Sedunia. Keputusan ini diambil bertepatan peringatan 50 tahun Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi. Saat ini, jutaan orang di dunia meninggalkan rumah mereka bukan hanya karena konflik atau penganiayaan, tetapi juga akibat dampak perubahan iklim.

Popular Posts