MELACAK SIKLUS PLASTIK



Penelitian oleh WWF (2019) menunjukkan bahwa rata-rata manusia dapat menelan sekitar 5 gram plastik setiap minggu, setara dengan satu kartu kredit. Hanya sekitar 9% dari semua plastik yang pernah diproduksi yang benar-benar didaur ulang secara global.

Mari kita jelajahi siklus hidup plastik, perjalanan yang panjang, ruwet, dan pastinya seringkali tersembunyi. Dimulai jauh sebelum sebuah bungkusan sampai di tangan kita dan berakhir jauh setelah kita membuangnya. Memahami rantai ini, mulai dari pengeboran minyak bumi hingga nasib akhirnya tercecer mengotori bumi, menjadi kunci untuk menemukan titik-titik tempat kita bisa melakukan intervensi. Pada  dapat bertindak.

1. Fase Hulu: Ekstraksi minyak dan gas

Kisah plastik dimulai di kedalaman bumi, jauh dari pandangan mata kita. Bahan baku utama sebagian besar plastik adalah minyak bumi dan gas alam, keduanya adalah bahan bakar fosil. Fase ini, fase ekstraksi hulu, melibatkan pengeboran yang seringkali merusak ekosistem, mengancam keanekaragaman hayati, dan berkontribusi pada deforestasi.

1. Pengeboran dan Kerusakan Lingkungan

Sumur-sumur minyak dan gas tak hanya menguras sumber daya tak terbarukan, tetapi juga sering menyebabkan pencemaran tanah dan air di area sekitar operasi. Tumpahan minyak, pelepasan gas metana (gas rumah kaca yang jauh lebih kuat dari CO₂ dalam jangka pendek), dan kerusakan habitat adalah konsekuensi yang tak terhindarkan.

Studi Environmental Integrity Project (2022) menunjukkan bahwa proyek-proyek ekspansi minyak dan gas baru di Amerika Serikat dapat menambah emisi gas rumah kaca tahunan setara dengan 50 pembangkit listrik tenaga batu bara, atau sekitar 50 juta mobil. Bagi kita yang percaya pada kesucian ciptaan, proses ini merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap keutuhan bumi.

2. Emisi karbon awal: Proses ekstraksi, transportasi minyak mentah dan gas, pemrosesan awal di kilang minyak, semuanya membutuhkan energi intensif dan melepaskan emisi gas rumah kaca yang cukup besar, yang turut menjadi pendorong utama krisis iklim. Center for International Environmental Law (CIEL) dalam laporannya "Plastic & Climate: The Hidden Costs of a Plastic Planet" (2019), memperkirakan bahwa tahun 2019, produksi dan insinerasi plastik secara global telah melepaskan lebih dari 850 juta metrik ton gas rumah kaca ke atmosfer, setara dengan emisi dari 189 pembangkit listrik batu bara 500 MW. Plastik sudah memiliki jejak karbon besar bahkan sebelum menjadi produk akhir. Dengan tren pertumbuhan, emisi ini diperkirakan akan naik menjadi 1,34 miliar mt CO₂e pada 2030, yang setara dengan 295 pembangkit.”


2. Fase Produksi: rantai olah yang berbuah polutan

Setelah diekstraksi, minyak bumi dan gas alam menjalani proses "alkimia" modern yang kompleks di fasilitas petrokimia. Di fase produksi, ini bahan mentah  diubah menjadi pelet plastik kecil yang disebut nurdles, siap untuk dibentuk menjadi berbagai produk.

a. Pabrik Petrokimia dan Jejak Kimia: 

Pabrik petrokimia adalah fasilitas yang sangat intensif energi, menjadi pusat dari produksi plastik modern. Proses utamany (termasuk di dalamnya cracking dan polimerisasi, saat monomer seperti etilen, propilen, vinil klorida, dan bisfenol A (BPA) dirangkai menjadi plastik) memerlukan suhu dan tekanan tinggi serta menggunakan berbagai bahan kimia reaktif. Selama proses ini, sejumlah besar _senyawa organik volatil (VOC), dioksin, furan, dan partikel berbahaya lainnya dapat dilepaskan ke udara dan air. _

Menurut US Environmental Protection Agency (EPA), beberapa bahan kimia yang terlibat dalam proses ini—seperti vinil klorida dan BPA—diidentifikasi sebagai karsinogen potensial atau pengganggu sistem hormon manusia. Paparan jangka panjang terhadap senyawa ini dapat meningkatkan risiko gangguan pernapasan, penyakit endokrin, hingga kanker (EPA, 2021).

b. Dampak kesehatan pada komunitas sekitar: 

Komunitas yang tinggal di sekitar kompleks petrokimia sangat rentan terhadap polusi ini. Contoh paling mencolok adalah kawasan yang dijuluki "Cancer Alley" di negara bagian Louisiana, Amerika Serikat. Di sepanjang Sungai Mississippi, terdapat konsentrasi tinggi fasilitas petrokimia, yang beroperasi di dekat komunitas berpenghasilan rendah dan minoritas kulit hitam. 

Berbagai studi independen dan laporan dari Greenpeace (2019) dan ProPublica (2021) menunjukkan bahwa wilayah ini mencatat tingkat penyakit kanker dan gangguan pernapasan yang jauh di atas rata-rata nasional, menjadikannya simbol dari ketidakadilan lingkungan—saat kelompok paling rentan menanggung beban terbesar dari pencemaran industri.

c. Emisi karbon sekunder dari produksi plastik

Selain dampak langsung terhadap kesehatan, proses produksi plastik juga menyumbang signifikan terhadap krisis iklim. Laporan dari Material Economics (2018) memperkirakan bahwa pada tahun 2015, produksi plastik global menyumbang sekitar 3,8% dari total emisi gas rumah kaca dunia. Ini termasuk energi yang digunakan untuk produksi bahan kimia dasar, operasi pabrik, serta pembakaran bahan bakar fosil dalam proses. Jika tren ini terus berlanjut, proporsi emisi dari industri plastik diproyeksikan akan terus meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade ke depan (Material Economics, 2018).


3. Fase konsumsi, puncak “kecanduan” kita

Ini adalah fase yang paling akrab dalam kehidupan kita sehari-hari: penggunaan plastik dalam bentuk kemasan makanan, botol minuman, peralatan rumah tangga, serat pakaian, hingga komponen kendaraan. Sayangnya, sebagian besar dari produk-produk ini—terutama kemasan— dirancang untuk digunakan sekali lalu dibuang. Lahirlah budaya konsumsi instan yang tidak sebanding dengan dampak lingkungan jangka panjangnya.

a. Kemasan sekali pakai: simbol budaya buang modern

Industri global telah mengondisikan masyarakat untuk menganggap plastik sekali pakai sebagai norma. Botol air minum, cangkir kopi, bungkus makanan, dan kantong belanja semuanya dirancang untuk digunakan dalam hitungan menit—namun dapat bertahan di lingkungan selama ratusan tahun.

Menurut Ellen MacArthur Foundation (2016) dan UNEP (2018), lebih dari 40% dari total plastik yang diproduksi secara global digunakan untuk kemasan, dan sebagian besar kemasan ini hanya digunakan sekali sebelum dibuang. Ini menciptakan pemborosan sumber daya skala besar, dengan dampak lingkungan dan sosial yang signifikan.

b. Mikroplastik Tak Terduga: Microbeads & Serat Sintetis

Tanpa kita sadari, produk sehari-hari seperti kosmetik, pasta gigi, dan pakaian sintetis juga secara aktif menyumbang pada pencemaran plastik dalam bentuk mikroplastik primer.

i. Microbeads, butiran plastik kecil yang dulu lazim ditemukan dalam produk perawatan pribadi, kini telah dilarang di banyak negara karena terbukti mencemari sistem air dan dimakan oleh organisme laut.

ii. Serat sintetis dari pakaian berbahan poliester, nilon, atau akrilik melepaskan ratusan ribu hingga jutaan serat mikroplastik saat dicuci. Studi Browne et al. (2011) dan Napper & Thompson (2016) menunjukkan bahwa satu kali pencucian dapat melepaskan lebih dari 700.000 serat mikroplastik, yang langsung masuk ke saluran air tanpa tersaring.

Ini menunjukkan kepada kita bahwa bahkan aktivitas harian sederhana seperti mencuci baju pun telah menjadi bagian dari siklus pencemaran plastik global.

c. Peran konsumen: kenyamanan versus tanggung jawab moral

Pada fase konsumsi ini, kita sebagai pribadi ada pada posisi sentral. Setiap pilihan untuk membeli produk dengan kemasan berlebihan, atau menerima kantong plastik sekali pakai, adalah bentuk persetujuan diam-diam terhadap sistem produksi dan konsumsi yang merusak ini. 

Sebaliknya, setiap tindakan sadar untuk menolak, menggunakan kembali, dan memilih alternatif berkelanjutan adalah bentuk intervensi moral dan ekologis. Jelas, ini adalah soal komitmen pada keadilan sosial dan keberlanjutan ciptaan, dan bukan semata-mata gaya hidup.


4. Fase Hilir: Sampah plastik sebagai warisan antargenerasi

Plastik pun memasuki fase pembuangan akhir. dan di sinilah masalah menjadi sangat kompleks dan pedih. Inilah titik saat "sampah" kita beralih dari masalah domestik menjadi publik, dan menjadi krisis lingkungan global.

i. Tempat Pembuangan Akhir (TPA): Gunung sampah yang tak terurai, sumber emisi tersembunyi. Sebagian besar plastik berakhir di TPA. Di sana, mereka akan bertahan selama ratusan bahkan ribuan tahun. TPA adalah sumber gas metana yang signifikan (dari dekomposisi organik yang tercampur di antara sampah plastik) dan lindi (cairan beracun yang terbentuk dari air hujan yang meresap melalui sampah) yang dapat mencemari tanah dan air tanah. EPA AS (2021) melaporkan bahwa TPA adalah sumber emisi metana terbesar ketiga yang disebabkan oleh manusia di Amerika Serikat.

ii. Pembakaran (Insinerasi): solusi semu yang membawa polusi udara berbahaya. Beberapa negara membakar sampah plastik (insinerasi) untuk mengurangi volume dan kadang menghasilkan energi. Namun, proses ini melepaskan gas rumah kaca (termasuk karbon dioksida dan dinitrogen oksida), dioksin, furan, dan partikel halus berbahaya lainnya ke atmosfer, yang dapat menyebabkan masalah pernapasan, kanker, dan penyakit lainnya. Sebuah studi oleh National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (2016) menyoroti bahwa insinerasi plastik dapat menghasilkan emisi yang berisiko kesehatan jika tidak dikelola dengan sangat ketat. Ini hanyalah mengubah polusi dari tanah menjadi udara, seringkali di komunitas yang sudah rentan.

iii. Pencemaran Lingkungan Alami: Skenario terburuk adalah saat plastik bocor ke lingkungan alami—sungai, danau, hutan, dan terutama lautan. Diperkirakan 8 juta metrik ton plastik berakhir di lautan setiap tahun dari sumber berbasis daratan (Jambeck et al., 2015), setara dengan membuang satu truk sampah plastik ke laut setiap menit. Di sana, ia terfragmentasi menjadi mikroplastik dan nanoplastik, memasuki rantai makanan, merusak ekosistem, membahayakan satwa liar, dan akhirnya kembali ke piring kita. Penelitian oleh WWF (2019) menunjukkan bahwa rata-rata manusia dapat menelan sekitar 5 gram plastik setiap minggu, setara dengan satu kartu kredit. Plastik di lingkungan alami adalah bukti nyata dari kegagalan sistemik dan pengabaian moral kita terhadap ciptaan.

iv. Daur Ulang: solusi yang belum optimal dan penuh tantangan. Meski daur ulang adalah bagian penting dari solusi, faktanya adalah hanya sekitar 9% dari semua plastik yang pernah diproduksi yang benar-benar didaur ulang secara global (Geyer et al., 2017). Tantangannya meliputi biaya yang tinggi, kompleksitas memilah berbagai jenis plastik, kontaminasi bahan plastik, serta kurangnya infrastruktur daur ulang yang memadai dan pasar untuk material daur ulang. Banyak plastik yang "dikumpulkan untuk didaur ulang" pada akhirnya berakhir di TPA atau dibakar karena tidak layak didaur ulang. Ini menunjukkan bahwa daur ulang saja tidak cukup untuk mengatasi banjir plastik; kita harus fokus pada pengurangan dan penggunaan kembali di awal siklus.


Panggilan Laudato Si': intervensi di setiap titik adalah tugas iman

Memahami seluruh siklus hidup plastik ini mengantar kita pada panggilan untuk pertobatan ekologis yang mendalam. Masalah kita bukan hanya tentang sampah yang kita lihat di tempat pembuangan, melainkan tentang seluruh sistem—dari ekstraksi hingga pembuangan—yang memungkinkan sampah itu ada dan terus meracuni seluruh ciptaan Tuhan. Setiap fase adalah sebuah "luka" pada rumah bersama kita. Meminjam ungkapan Paus Fransiskus :  sebuah manifestasi dari budaya pakai dan buang "Jika kita memperjuangkan kebaikan fundamental, tidak ada planet yang harus dibuang. Setiap tindakan kita memiliki konsekuensi global." (Paus Fransiskus, Laudato Si', 160, diadaptasi). Sebagai aktivis Katolik, peran kita ada di banyak titik :

i. Advokasi Hulu: Mendukung kebijakan yang membatasi ekstraksi bahan bakar fosil, mendorong investasi pada energi terbarukan, dan mengembangkan bahan baku alternatif yang benar-benar berkelanjutan untuk produksi material.

ii. Tekanan pada Produsen: Mendesak perusahaan untuk bertanggung jawab penuh atas seluruh siklus hidup produk mereka, berinvestasi dalam desain ramah lingkungan yang memprioritaskan pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang (prinsip ekonomi sirkular), serta mengurangi penggunaan plastik virgin (plastik baru).

iii. Edukasi Konsumen dan Perubahan Perilaku: Terus-menerus mengedukasi diri sendiri dan orang lain tentang dampak pilihan konsumsi, serta mempromosikan gaya hidup yang berpegang teguh pada prinsip "kurangi, gunakan kembali, daur ulang" (3R) dan bahkan "tolak" (menolak plastik sekali pakai).

iv. Dukungan Infrastruktur: Mendorong pemerintah dan sektor swasta untuk membangun dan meningkatkan fasilitas daur ulang serta sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan adil, terutama di komunitas yang paling terdampak.

Di dasar laut terdalam, Palung Mariana, pada kedalaman lebih dari 10.000 meter, mikroplastik telah ditemukan (Jamieson et al., 2017). Di puncak gunung tertinggi di dunia, Gunung Everest, jejak mikroplastik juga ada, dibawa oleh angin hingga ke "atap dunia" (Napper et al., 2020). Saat ini, kita sedang sibuk menabur warisan abadi di setiap sudut rumah bersama kita, plastik namanya.


Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com

Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI

Dari Sejarah 10 Juli 1985: Penenggelaman Kapal Rainbow Warrior oleh Agen Rahasia Perancis. Salah satu peristiwa paling terkenal dan kontroversial dalam sejarah gerakan lingkungan. Kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace yang saat itu berlabuh di Auckland, Selandia Baru, kapal ini sedang bersiap untuk memprotes uji coba nuklir Perancis di Mururoa Atoll, Pasifik Selatan. Dua agen rahasia Perancis mengebom dan menenggelamkan kapal tersebut, menewaskan seorang fotografer Greenpeace, Fernando Pereira. Peristiwa ini memicu skandal internasional besar, menyoroti bahaya yang dihadapi aktivis lingkungan dan praktik-praktik kontroversial negara dalam menghadapi protes lingkungan.

Popular Posts