LAUT SEBAGAI GLOBAL COMMONS


Setelah tiga minggu ini kita mengenal apa itu laut dan bencana ekologis yang terjadi atasnya (SEE) , pagi ini dan hari-hari ke depan kita akan mencermati, menimbang-nimbang, dan merenungkan (JUGDE), serta merumuskan apa yang bisa kita lakukan bersama (ACT).

Hari ini, kita akan merenungkan satu konsep fundamental yang menjadi inti dari krisis sekaligus harapan bagi lautan: laut sebagai global common. Samudra, dengan segala kekayaan dan peran ekologisnya, adalah warisan kolektif seluruh umat manusia, bukan milik negara, perusahaan, kelompok, atau individu manapun. Dengan menggali inspirasi dari terang Ensiklik Laudato Si', gagasan dasar ini menjadi landasan etis merajut kembali relasi kita dengan lautan dan sesama.

 

Apa itu "Global Common"?

Commons adalah konsep klasik yang diangkat dari tradisi agraris Inggris, merujuk pada sumber daya bersama yang dapat diakses dan digunakan oleh komunitas tertentu, seperti padang rumput desa atau hutan komunal. Common tidak dimiliki secara pribadi, tetapi ada hak dan tanggung jawab kolektif untuk pengelolaannya. Kalau ini di tarik ke skala global, "global common" adalah sumber daya atau area di luar yurisdiksi nasional yang penting bagi keberlangsungan hidup seluruh planet dan umat manusia. Mereka adalah milik bersama, yang akses dan pemanfaatannya harus diatur demi kepentingan kolektif.

Laut, khususnya laut lepas (perairan di luar Zona Ekonomi Eksklusif negara manapun) dan dasar laut internasional di bawahnya, adalah contoh global common yang paling nyata dan krusial. Mengapa?

1. Sistem penopang kehidupan global: Laut adalah sistem biologis dan fisik raksasa yang mengatur iklim global, menghasilkan lebih dari separuh oksigen yang kita hirup, dan menyerap karbon dioksida dalam skala masif (IPCC, 2019). Fungsi-fungsi vital ini melampaui batas negara dan memengaruhi setiap manusia di planet ini, tanpa terkecuali.

2. Keanekaragaman hayati tak terbatas: Lautan menaungi jutaan spesies, banyak di antaranya belum teridentifikasi. Keanekaragaman hayati laut ini tidak hanya memiliki nilai intrinsik yang luar biasa, tetapi juga memberikan layanan ekosistem krusial, seperti penyerbukan alga, dekomposisi, dan menjaga rantai makanan yang kompleks. Banyak spesies migran, seperti tuna, paus, dan penyu, melintasi ribuan kilometer di laut lepas, menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari warisan yang melampaui klaim kedaulatan mana pun.

3. Sumber daya yang dibagi: Selain keanekaragaman hayati, laut juga kaya akan sumber daya mineral (misalnya nodul polimetalik di dasar laut dalam), energi (gelombang, pasang surut), dan genetik (untuk obat-obatan baru). Manfaat potensial dari sumber daya ini secara logis seharusnya menjadi milik bersama dan dimanfaatkan demi kebaikan seluruh umat manusia.

4. Jalur konektivitas global: Lautan telah menjadi arteri utama perdagangan dan komunikasi global selama berabad-abad. Kebebasan navigasi adalah prinsip fundamental hukum laut internasional, yang esensial untuk konektivitas ekonomi dan budaya antarnegara.

Konsep laut sebagai global common menegaskan bahwa tidak ada satu pun negara atau entitas yang memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi atau merusak lautan. Sebaliknya, ada tanggung jawab kolektif untuk melindungi, mengelola secara lestari, dan memastikan akses yang adil terhadap sumber dayanya demi generasi sekarang dan mendatang.

 

Ancaman "Tragedi Commons" (Tragedy of the Commons) di Lautan

Meskipun secara fundamental laut adalah common, kenyataannya, yang sudah dan swring terjadi adalah "tragedi commons”, fenomena ketika sumber daya bersama dieksploitasi secara berlebihan karena setiap pengguna bertindak demi kepentingan egoisnya, tanpa mempertimbangkan dampak kumulatif pada sumber daya itu sendiri (Hardin, 1968). Tidak ada yang merasa perlu bertanggung jawab atas kelestariannya, sementara sebenarnya kelestariannya mutlak dibutuhkan demi keberlanjutan hidup bersama. Di lautan, tragedi ini sungguh nyata dalam berbagai bentuk:

1. Overfishing global dan penipisan stok ikan: Setiap negara, atau bahkan armada penangkap ikan swasta, termotivasi untuk menangkap ikan sebanyak mungkin. Tanpa regulasi dan penegakan yang efektif di laut lepas, terjadi perlombaan untuk menguras stok ikan. Akibatnya, lebih dari sepertiga stok ikan komersial dunia saat ini ditangkap pada tingkat yang tidak berkelanjutan, dan hampir 60% lainnya dieksploitasi secara maksimal, dengan sedikit ruang untuk peningkatan (FAO, 2020). Ini bukan hanya krisis ekologis, tetapi juga krisis sosial yang mengancam ketahanan pangan dan mata pencarian jutaan nelayan kecil.

2. Polusi laut yang merajalela: Lautan telah menjadi tempat pembuangan sampah global. Diperkirakan 8 hingga 12 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahun (Jambeck et al., 2015). Polutan ini berasal dari berbagai negara dan aktivitas, namun tidak ada satu pun pihak yang bertanggung jawab penuh atas dampaknya. Mikroplastik, yang kini ditemukan di seluruh ekosistem laut, dari permukaan hingga palung terdalam, dan bahkan dalam tubuh manusia, menunjukkan bagaimana polusi di satu tempat dapat memiliki dampak global (Barboza et al., 2018).

3. Pengasaman dan pemanasan laut akibat perubahan iklim: Atmosfer adalah global common lainnya yang telah dieksploitasi untuk emisi gas rumah kaca. Laut, sebagai penyerap panas dan CO$_2$ utama, menjadi korban utama. Pemanasan laut menyebabkan pemutihan karang massal dan perubahan pola arus, sementara pengasaman laut mengancam organisme pembentuk cangkang (Hoegh-Guldberg et al., 2017). Meskipun emisi berasal dari negara-negara tertentu, dampaknya dirasakan oleh seluruh ekosistem laut global.

Perlombaan eksplorasi sumber daya dasar laut: Minat terhadap mineral langka di dasar laut dalam, seperti nodul polimetalik dan sulfida hidrotermal, semakin meningkat. Tanpa kerangka tata kelola global yang kuat, ada kekhawatiran bahwa penambangan dasar laut akan dimulai tanpa penilaian dampak lingkungan yang memadai dan tanpa mekanisme pembagian keuntungan yang adil (Wedding et al., 2015). Ini berisiko merusak ekosistem dasar laut yang rapuh dan unik secara permanen.

 

Laut sebagai "Commons" dalam Perspektif Laudato Si'

Ensiklik Laudato Si' Paus Fransiskus memberikan lensa teologis dan etis yang sangat kuat untuk memahami laut sebagai global common. Paus dengan konsisten menekankan bahwa bumi adalah "rumah kita bersama" (LS 1), sebuah karunia ilahi yang dipercayakan kepada seluruh umat manusia. Ini adalah pengakuan/afirmasi eksplisit dari konsep commons, dengan penekanan pada aspek sakral dan komunalnya. Paus Fransiskus secara tegas menyatakan:

Iklim merupakan salah satu sisi kesejahteraan umum, milik semua dan untuk semua. Pada tingkat global, iklim merupakan suatu sistem yang kompleks, terkait dengan banyak syarat mutlak untuk kehidupan manusia. (LS 23).

Meski kutipan ini spesifik menyebut iklim, tetapi prinsipnya dapat dengan mudah diperluas ke lautan, yang adalah komponen tak terpisahkan dari sistem iklim global dan penopang kehidupan. Laut, dengan demikian, adalah "barang bersama" yang tidak dapat dieksploitasi oleh segelintir pihak demi keuntungan, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap seluruh keluarga manusia dan ciptaan lainnya.

Ajaran Sosial Gereja (ASG) memperkuat ini dengan prinsip "tujuan universal benda-benda" (universal destination of goods). Prinsip ini menyatakan bahwa semua kekayaan bumi, pada dasarnya, ditujukan untuk kesejahteraan semua orang. Sumber daya laut, sebagai bagian dari kekayaan ini, tidak boleh menjadi monopoli atau subjek eksploitasi yang merugikan orang banyak atau generasi mendatang.

"Setiap tindakan perusakan lingkungan adalah tindakan tidak menghormati Tuhan dan tindakan ketidakadilan terhadap orang miskin dan generasi yang akan datang." (Paus Benediktus XVI, Caritas in Veritate, 2009, no. 48, sering dikutip oleh Paus Fransiskus)

Ketika global common seperti laut dirusak, ia tak semata-mata masalah lingkungan; tetapi juga masalah etika dan keadilan. Mereka yang paling menderita dari "tragedi commons" adalah seringkali yang paling rentan: masyarakat pesisir yang kehilangan mata pencarian, negara-negara berkembang yang bergantung pada sumber daya laut, dan generasi mendatang yang akan mewarisi lautan yang rusak.

 

Jalan ke Depan, Jalan Kembali ke Keadilan dan Tanggung Jawab Bersama

Memahami laut sebagai global common menjadi langkah pertama kita bersama membangun dan berjuang untuk solusi yang lestari. Kita dituntut untuk:

1. Mendorong tata kelola global yang adil: Mendukung dan memperkuat perjanjian internasional seperti Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) dan perjanjian baru seperti Kesepakatan tentang Keanekaragaman Hayati Laut di Luar Yurisdiksi Nasional (BBNJ Agreement), yang bertujuan untuk mengatur penggunaan dan konservasi commons laut secara adil.

2. Membangun solidaritas ekologis: Mengembangkan solidaritas global yang melampaui batas-batas nasional, mengakui bahwa kita semua adalah penjaga laut. Ini berarti mendukung negara-negara berkembang dalam upaya konservasi mereka dan memastikan bahwa mereka memiliki akses yang adil terhadap manfaat laut.

3. Melawan individualisme dan konsumerisme berlebihan: Merefleksikan dan mengubah pola konsumsi dan produksi kita yang telah berkontribusi pada eksploitasi laut. Setiap tindakan kita memiliki dampak pada global common.

4. Membela perdamaian di laut: Menolak militerisasi dan konflik di lautan, yang hanya memperburuk eksploitasi dan menghalangi upaya konservasi. Laut harus menjadi zona kerja sama, bukan konfrontasi.

Laut adalah kado tak ternilai, warisan bersama yang mesti kita jaga dengan penuh kasih dan tanggung jawab. Sebagai umat Katolik, tidak cukup kita membangun kesalehan pribadi, kesalehan publik adalah wujud jawaban panggilan dan perutusan kita sebagai umat beriman. Dan sebagai bagian dari keluarga manusia dan segenap ciptaan, mari mendengarkan rintihan laut sebagai global common dan berani bertindak untuk melindungi "rumah bersama" ini demi kesejahteraan semua.

 

Para Penjaga Garam di Samoa

Dalam tradisi lisan masyarakat Samoa, ada sebuah mitos tentang "Tagaloa-a-vai" (Tagaloa dari Air), dewa pencipta yang berdiam di lautan. Ia adalah sumber segala kehidupan dan pemberi kesuburan. Masyarakat Samoa secara historis memiliki praktik fa'a Samoa (cara hidup Samoa) yang sangat menghargai alam, termasuk laut. Mereka memiliki sistem pengelolaan sumber daya laut tradisional yang kuat, dengan area tertentu dilindungi sebagai 'tabu' (terlarang) untuk sementara waktu agar stok ikan dapat pulih. Mereka memahami bahwa laut adalah matapuna (mata air kehidupan) yang harus dijaga bersama, bukan diambil secara individual tanpa batas. Kita belajar bahwa kearifan tradisional telah lama mengakui konsep commons dan dengan kreatif dalam dialektika kebudayaan berabad-abad lamanya, membangun -manajemen kolektif untuk keberlanjutan dan keterpeliharaan martabat segenap kehidupan._ Mari bergerak kawan !


Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com

Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI

Dari Sejarah : 23 Juni setiap tahun, Hari Pelayanan Publik Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Public Service Day). Pelayanan publik yang efektif dan berintegritas sangat krusial dalam implementasi kebijakan lingkungan, pengelolaan sumber daya alam, dan penanganan bencana. Pelayanan publik yang baik berarti regulasi lingkungan ditegakkan, program konservasi berjalan, dan infrastruktur ramah lingkungan dibangun. Pada saat terjadi bencana lingkungan respons cepat dan terkoordinasi dari badan-badan publik (BPBD, dinas terkait) sangat menentukan dalam meminimalkan dampak dan melindungi masyarakat serta lingkungan. Tanggal 20 Desember 2002, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi A/RES/57/277 yang menetapkan 23 Juni sebagai Hari Pelayanan Publik Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tanggal ini memperingati pembentukan United Nations Programme on Public Administration and Development (UNPAD) tahun 2000, yang bertujuan memperkuat kapasitas administrasi publik di negara-negara berkembang.

Popular Posts