DUC IN ALTUM: Kehidupan di Kedalaman Tanpa Batas
Mencari Batas Baru Eksploitasi
Malam ini, mari kita menyelam ke kedalaman, merengkuh spektrum penuh dari samudra kita, sebuah wilayah yang paling asing dan misterius: Zona laut dalam. Setelah memahami lautan sebagai global common dan mengamati kerentanan habitat pesisir, kita dihadapkan pada petualangan baru : penjelajahan dan eksploitasi laut dalam, khususnya penambangan laut dalam (deep-sea mining) dan bioprospeksi. Tentu kita nggak lagi berurusan dengan fiksi ilmiah petualangan kapal selam, kita berhadapan dengan bentang realitas ‘baru’ yang berkembang pesat : kajian keilmuan, bisnis, hukum dan politik, diplomasi, teknologi, hingga kebudayaan. Maka bersamaan dengan terbitnya ‘dunia baru’ ini, terbit pula perdebatan sengit tentang etika, ekologi, dan tata kelola global. Laut dalam, dengan kegelapan abadi dan tekanan ekstremnya, adalah ekosistem -dunia- yang belum banyak dipahami dan rentan. Ya, mungkin di stulah -bersama angkasa luar- keserakahan manusia, menemukan ruang baru eksistensinya.
Laut Dalam: Sumber daya tersembunyi dan kehidupan yang unik
Zona laut dalam, terbentang dari kedalaman 200 meter hingga palung terdalam, mencakup lebih dari 60% permukaan bumi, juga sekaligus volume habitat terbesar di Bumi ini. Zona laut dalam adalah rumah bagi ekosistem luar biasa, makhluk-makhluk yang beradaptasi dengan kondisi ekstrem: dingin beku, kegelapan total, juga tekanan air yang sangat kuat hingga menghancurkan. Dan ya, betul, tersembunyi jauh di bawah sana, potensi-potensi sumber daya yang menggiurkan:
1. Deposit mineral: Dasar laut dalam kaya deposit mineral berharga yang terbentuk selama jutaan tahun. Ini termasuk:
a. Nodul polimetalik: Bongkahan mineral seukuran kentang yang tersebar di dataran abisal (dasar laut dalam yang luas), kaya akan mangan, nikel, tembaga, kobalt, dan unsur tanah jarang (rare earth elements). Diperkirakan deposit ini mengandung logam yang cukup untuk kebutuhan global selama ratusan tahun (Hein et al., 2013).
b. Massa sulfida hidrotermal: Deposit kaya tembaga, seng, emas, dan perak yang terbentuk di sekitar cerobong hidrotermal—celah-celah tempat air panas dan kaya mineral keluar dari dasar laut. Sebutlah ia, "oasis" kehidupan laut dalam.
c. Kerak kaya kobalt: Deposit mineral yang terbentuk di lereng gunung bawah laut, kaya kobalt, nikel, dan platinum. Permintaan untuk mineral-mineral ini didorong oleh revolusi energi hijau (baterai kendaraan listrik, turbin angin) dan teknologi tinggi (elektronik), yang membutuhkan bahan baku dalam jumlah besar.
2. Cadangan gas dan minyak: Meski penjelajahan pencarian gas dan minyak laut dalam telah berlangsung selama puluhan tahun, eksplorasi ke kedalaman ekstrem dan Arktik terus meningkat, termasuk juga di dalamnya potensi cadangan di zona sub-laut di bawah dasar laut.
3. Keanekaragaman hayati unik untuk bioprospeksi: Laut dalam menaungi jutaan spesies yang belum teridentifikasi, banyak di antaranya memiliki adaptasi biokimia yang luar biasa untuk bertahan hidup di lingkungan ekstrem. Organisme-organisme ini—mulai dari bakteri, archaea, hingga invertebrata dan ikan—punya potensi untuk menghasilkan senyawa baru yang bermanfaat bagi obat-obatan (antibiotik, antikanker), kosmetik, enzim industri, atau bioteknologi lainnya. Pasar bioprospeksi global diperkirakan bernilai miliaran dolar (Learmonth et al., 2021).
Potensi ekonomi dari sumber daya ini sangat besar, perlombaan eksplorasi dan lobi intensif bertumbuhan dari perusahaan-perusahaan pertambangan dan farmasi.
Ancaman dan Dampak dari Kedalaman
Meski potensi sumber daya laut dalam menggiurkan, aktivitas penjelajahan dan eksploitasi di lingkungan yang rapuh ini membawa ancaman dan dampak yang sangat serius, sebagian besar di antaranya, belum sepenuhnya kita pahami.
1. Kerusakan habitat fisik yang tidak dapat dipulihkan: Aktivitas penambangan laut dalam, seperti pengumpulan nodul polimetalik atau pengerukan massa sulfida, melibatkan alat-alat berat yang bergerak di dasar laut. Ini secara langsung menghancurkan habitat fisik dasar laut yang terbentuk selama ribuan hingga jutaan tahun. Satu operasi penambangan nodul dapat merusak area seluas ratusan kilometer persegi per tahun (Miller et al., 2018). Karena pertumbuhan di laut dalam sangat lambat (beberapa milimeter per tahun untuk organisme tertentu), pemulihan habitat yang rusak ini bisa memakan waktu ribuan hingga jutaan tahun (!), jauh melampaui rentang waktu manusia (Van Dover et al., 2017).
2. Gangguan ekosistem skala luas: Proses penambangan akan mengangkat sedimen dan organisme dari dasar laut, menciptakan "plume" sedimen —awan partikel lumpur yang dapat menyebar luas hingga puluhan bahkan ratusan kilometer dari lokasi penambangan, tergantung pada arus laut dalam (Wedding et al., 2015). Plume ini dapat:
a. Mengubur dan mencekik biota laut di area yang jauh dari penambangan langsung, menghambat pernapasan dan pencernaan mereka.
b. Mengurangi penetrasi cahaya di zona fotosintetik yang lebih dangkal, memengaruhi produktivitas primer.
c. Mencemari kolom air dengan logam berat dan toksin yang terlepas dari sedimen yang terganggu.
3. Ancaman terhadap spesies unik dan endemik: Laut dalam adalah "laboratorium evolusi" yang menghasilkan spesies-spesies dengan adaptasi luar biasa. Lebih dari 90% spesies laut dalam di area tertentu diyakini endemik —tidak ditemukan di tempat lain di Bumi (Glover et al., 2019). Banyak dari spesies ini belum teridentifikasi atau dipelajari secara memadai. Penambangan berisiko menyebabkan kepunahan massal sebelum kita sempat memahami nilai ekologis atau biokimia mereka. Hilangnya keanekaragaman hayati ini adalah kerugian ireversibel bagi planet.
4. Risiko lingkungan jangka panjang yang tak diketahui: Lingkungan laut dalam itu ekstrem, gelap, dingin, dan bertekanan tinggi. Proses ekologis di sana berlangsung sangat lambat. Akibatnya, dampak jangka panjang dari penambangan di lingkungan ini belum sepenuhnya dipahami. Studi dampak seringkali hanya dapat memodelkan skenario, dan minim data empiris jangka panjang karena penambangan skala komersial belum dimulai. Ketidakpastian ini menimbulkan risiko besar bagi ekosistem global, mengingat peran laut dalam dalam siklus biogeokimia planet (UNEP, 2020).
5. Dampak akustik dan getaran: Mesin penambangan yang beroperasi di dasar laut menghasilkan kebisingan dan getaran yang intens. Suara merambat sangat jauh di bawah air dan dapat mengganggu komunikasi, navigasi, dan perilaku makan spesies laut dalam, termasuk mamalia laut dalam yang sensitif terhadap suara.
6. Risiko dari bioprospeksi yang tidak teratur: Meski bioprospeksi tak merusak secara fisik seperti penambangan, pengambilan sampel berlebihan atau tanpa regulasi yang jelas bisa mengancam populasi spesies langka dan endemik. Selain itu, ada isu etis dan keadilan mengenai pembagian keuntungan dari senyawa-senyawa yang ditemukan, terutama jika berasal dari global common di laut lepas (Learmonth et al., 2021).
Masalah Tata Kelola: Siapa Pemilik Misteri Kedalaman?
Eksploitasi laut dalam, khususnya di laut lepas (area di luar yurisdiksi nasional), menimbulkan tantangan tata kelola yang kompleks dan mendalam dengan berpusat pada pertanyaan: siapa yang memiliki hak atas sumber daya laut lepas?
International Seabed Authority (ISA): Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) menyatakan dasar laut internasional dan sumber dayanya sebagai "Warisan Bersama Umat Manusia" (Common Heritage of Mankind). Untuk mengatur eksplorasi dan eksploitasi di area ini, dibentuk International Seabed Authority (ISA) yang berbasis di Jamaika. ISA bertugas menyusun peraturan (Mining Code) yang mengatur kegiatan penambangan dan memastikan bahwa manfaatnya dibagi secara adil, sambil melindungi lingkungan laut.
Perdebatan etis dan keadilan: Namun, peran dan efektivitas ISA menjadi pusat perdebatan etis dan politik yang sengit.
a) Konflik kepentingan: ISA bertanggung jawab mempromosikan penambangan sekaligus melindungi lingkungan. Para kritikus berpendapat bahwa ini konflik kepentingan intrinsik yang sulit diselaraskan (Gallo et al., 2019).
b) "Perlombaan ke Dasar Laut": Beberapa negara dan perusahaan menekan ISA untuk segera merampungkan Mining Code, sementara negara-negara lain, kelompok ilmuwan, dan organisasi lingkungan menyerukan moratorium atau jeda (precautionary pause) pada penambangan laut dalam hingga dampak lingkungannya benar-benar dipahami dan tata kelola yang kuat terbentuk. "Perlombaan ke dasar laut" (race to the bottom), dikhawatirkan menjadikan profit mengalahkan pertimbangan lingkungan (Thaler & Amon, 2019).
c) Keadilan antargenerasi: Apakah kita, generasi sekarang, berhak mengeksploitasi sumber daya yang tidak dapat diperbarui di ekosistem yang rapuh, yang seharusnya menjadi warisan bagi generasi mendatang?
\Status penambangan laut dalam berada di persimpangan jalan. Beberapa negara, seperti Nauru, telah memicu "aturan dua tahun" di bawah UNCLOS yang dapat memaksa ISA untuk menyetujui izin penambangan bahkan tanpa kerangka regulasi yang lengkap. Ini memicu kekhawatiran besar di kalangan konservasionis dan ilmuwan.
Paus Fransiskus mengingatkan kita: "Prinsip kehati-hatian secara otomatis tidak berarti hambatan total terhadap inovasi, tetapi menggarisbawahi gagasan bahwa intervensi baru dapat berisiko jika tidak ada data objektif yang memadai. Keputusan yang mengharuskan investasi baru dan yang dapat merusak lingkungan, mengharuskan analisis yang cermat tentang biayanya dan manfaatnya, dengan membandingkannya dengan semua kemungkinan alternatif." (LS 186)
Dalam konteks laut dalam, salah satu ekosistem paling kurang dipahami di Bumi, prinsip kehati-hatian adalah sebuah panggilan etis yang mendalam. Kita hanya memiliki data objektif yang sangat terbatas tentang dampak jangka panjang dari penambangan di lingkungan rapuh ini.
Di kedalaman laut, kita diundang pada kerendahan hati. Alam semesta penuh dengan misteri yang belum terpecahkan, keindahan yang belum tersentuh, kehidupan yang berdetak dengan caranya sendiri. Di kedalaman laut, semesta membisikkan pertanyaan, sebuah pertanyaan yang sama yang diucapkan seorang lelaki muda pada sahabatnya dua milenia yang lalu di Galilea : Apakah engkau mengasihi aku ?
Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com
Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI
Dari Sejarah : Hari Jalan Santai Sedunia pertama kali dicetuskan pada tahun 1979 oleh W.T. Rabe, di Grand Hotel, Mackinac Island, Michigan, Amerika Serikat. Ide ini muncul sebagai respons terhadap maraknya aktivitas jogging atau lari cepat yang kala itu sedang populer. Rabe berpendapat bahwa hidup tidak selalu harus serba cepat dan kompetitif, bahkan dalam berolahraga. Ia menganjurkan pendekatan yang lebih rileks dan penuh perhatian, yaitu berjalan santai (sauntering), untuk benar-benar mengapresiasi keindahan sekitar.