BULAN BEBAS PLASTIK

 


Panggilan untuk Pertobatan Ekologis

Selamat datang Juli ! Bulan yang secara global dirayakan sebagai "Bulan Bebas Plastik". Inisiatif ini berawal dari kegelisahan Rebecca Prince-Ruiz dan timnya di Plastic Free Foundation sekelompok kecil masyarakat akar rumput di Perth, Australia Barat, di tahun 2011. Kampanye sederhana ini bertujuan mendorong individu untuk menolak plastik sekali pakai sepanjang Juli. Dimulai sebagai sebuah tantangan lokal dengan hanya 40 peserta di tahun pertamanya, gerakan ini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Iya betul, kini, "Plastic Free July" tumbuh menjadi gerakan global yang menginspirasi jutaan orang di lebih dari 190 negara untuk mengurangi ketergantungan mereka pada plastik sekali pakai, sekaligus meningkatkan kesadaran akan krisis sampah plastik yang mendesak. Berani, mencoba menjadikan bulan ini sebagai bulan perlawanan atas budaya plastik ? 

Penyebarluasannya ke seluruh dunia jelas melampaui ekspektasi. Survei Ipsos Global Advisor tahun 2021, memperkirakan ada 140 juta partisipan aktif dalam kampanye Plastic Free July di 28 negara dengan pendaftar berasal dari 212 negara. Angka ini mengatakan kepada kita, betapa luasnya kesadaran dan keinginan bertindak melawan polusi plastik. "Hari Tanpa Kantong Plastik Sedunia" setiap 3 Juli, secara khusus berfokus pada satu jenis plastik yang paling merusak. Meskipun banyak peringatan lingkungan, Bulan Bebas Plastik memiliki daya tarik karena pendekatannya yang praktis dan berorientasi aksi langsung ke hidup kita sehari-hari. Mari kita memulai perjalanan ini dengan melihat secara jujur realitas krisis ini, dan menanggapinya sebagai panggilan untuk pertobatan ekologis.

 

Mengapa Kita Harus Berbincang Khusus tentang Plastik? 

Mungkin teman-teman bertanya, "Mengapa harus plastik (lagi)? Kan kita sudah berbincang tentang sampah di bulan Februari?" Iya, benar. plastik memang bagian dari sampah, tetapi plastik menduduki posisi sangat kunci dalam problem yang kini sedang kita hadapi. Plastik adalah pusat dari budaya "sekali pakai" yang Paus Fransiskus kritik habis-habisan dalam Laudato Si'. Keunikan plastik mungkin terletak pada kontradiksi ironisnya : plastik dirancang untuk bertahan lama -ratusan tahun bahkan-, tetapi sebagian besar produk yang terbuat darinya dirancang untuk sekali pakai dan buang. 

Akibatnya, kita dihadapkan pada krisis lingkungan masif. Akar masalahnya, mungkin tak terletak pada plastik itu sendiri, melainkan pada_budaya konsumerisme berlebihan_ dan mentalitas "sekali pakai" yang meracuni hubungan kita dengan ciptaan dan sesama. Kita amat mudah membeli, menggunakan, dan membuang, seolah sumber daya bumi ini tak terbatas dan sampah yang kita hasilkan akan lenyap begitu saja. Mentalitas dominasi ini, ditambah hasrat tak terkendali akan kenyamanan dan keuntungan, menciptakan masalah besar yang menentukan berlanjut atau tidaknya kehidupan.

 

Sejarah Plastik: Dari Jawaban Solusi Menjadi Sumber Krisis Baru

Kisah plastik adalah kisah ironis tentang inovasi yang berujung pada ancaman global. Penemuan plastik sintetis di awal abad ke-20—dimulai dengan Bakelite pada 1907— pada awalnya dianggap sebagai lompatan besar peradaban. Ia menjanjikan keringanan, kekuatan, dan keserbagunaan yang tak tertandingi, menjadi alternatif yang "lebih bersih" bagi sumber daya alam yang semakin menipis seperti kayu, logam, gading, atau kulit binatang. Plastik memungkinkan produksi massal barang-barang yang terjangkau, merevolusi industri dari pengemasan makanan, otomotif, hingga peralatan medis.

Namun, laju produksi plastik yang eksplosif, tanpa diiringi sistem pengelolaan limbah yang memadai dan kesadaran ekologis, mengubahnya menjadi bencana. Data ilmiah menunjukkan pertumbuhan yang mengkhawatirkan:

1. Pada tahun 1950, produksi plastik global hanya sekitar 2 juta metrik ton per tahun.

2. Pada tahun 2015, melonjak menjadi 381 juta metrik ton per tahun, peningkatan lebih dari 190 kali lipat dalam enam dekade (Geyer et al., 2017).

3. Secara kumulatif, sekitar 9,2 miliar metrik ton plastik telah diproduksi sampai dengan tahun 2017. Yang lebih mencemaskan, sekitar 79% dari jumlah tersebut—sekitar 7,3 miliar metrik ton—masih ada di lingkungan kita, sebagian besar berakhir di TPA atau, lebih buruk lagi, mencemari lautan dan daratan (Geyer et al., 2017).

Plastik adalah bukti bahwa inovasi tanpa tanggung jawab ekologis dan etis akan berbalik menjadi bumerang. material yang awalnya "ajaib" menjadi polutan yang persisten dan merusak.

 

Budaya "sekali pakai" menurut Paus Fransiskus

Krisis plastik adalah wujud fisik dari krisis moral dan spiritual yang lebih dalam. Di dalam Laudato Si', Paus Fransiskus menyebut akar masalah ini sebagai "budaya sekali pakai" (LS 22), sebuah mentalitas saat segala sesuatu, —bukan hanya produk material, tetapi bahkan hubungan kita dengan alam dan sesama (LS 22)—dipandang sebagai sesuatu yang dapat dibuang setelah tidak lagi memenuhi tujuan sesaat atau memberikan keuntungan instan. Tentang hal ini Bapa Suci mengkritik keras: Paradigma produksi dan konsumsi yang tidak terkendali ini mengarah pada penipisan sumber daya alam dan peningkatan limbah yang tak terkendali, yang seringkali mencemari lingkungan di sekitar kita. ( bdk. LS 22).

Kita terjebak kenyamanan dan efisiensi yang ditawarkan plastik, dan betapa kita mengabaikan biaya ekologis dan sosial yang ditimbulkannya. Kita lupa hakikat diri kita yang sebenarnya: Kita lupa bahwa kita sendiri adalah bumi (bdk. Kej 2:7). Tubuh kita sendiri terdiri dari unsur-unsur planet ini, udaranya yang membuat kita bernapas dan airnya yang menghidupkan dan memulihkan kita. (bdk. LS 2).

“Budaya sekali pakai” adalah teguran mendalam bagi masyarakat kita, masyarakat yang terobsesi kecepatan, kemudahan, dan keuntungan, mengorbankan kelestarian planet demi kepuasan sesaat. Hilangnya kesadaran akan keterhubungan mendalam antara manusia dan alam ini membuat kita memperlakukan bumi seolah entitas terpisah yang dapat dieksploitasi sesuka hati, tanpa konsekuensi.

 

Alur pembicaraan bulan Ini: see-jugde-act

Sepanjang bulan ini, kita akan mengikuti alur See-Judge-Act yang dirumuskan Kardinal Joseph Cardign, dan diangkat ke ensiklik Mater et Magistra, sebuah metode refleksi-aksi yang kuat dalam Ajaran Sosial Gereja, untuk memahami dan merespons krisis plastik ini: 

Minggu 1: Melihat: Kita akan memulai dengan melihat secara mendalam realitas krisis plastik dari perspektif ilmiah dan spiritual—mulai dari mikroplastik yang tak terlihat hingga "benua sampah" di lautan, dan bagaimana siklus hidup plastik merusak bumi kita. Ini adalah tahap pengamatan yang cermat, mengumpulkan fakta dan data untuk memahami skala masalah.

Minggu 2: Menimbang-nimbang: Kita akan menimbang-nimbang krisis ini melalui lensa keadilan sosial dan etika lingkungan, membahas bagaimana beban polusi plastik seringkali ditanggung oleh mereka yang paling rentan, serta peran korporasi global dalam perpetuasi masalah ini. Di sini, kita akan menimbang fakta-fakta yang telah kita lihat dengan prinsip-prinsip moral dan etis.

Minggu 3 & 4: Bertindak: Akhirnya, kita akan bertindak dengan mengeksplorasi solusi nyata—dari kebijakan publik dan inovasi berkelanjutan hingga aksi individu dan kolaborasi lintas sektor—serta bagaimana Gereja Katolik dapat menjadi garda terdepan dalam gerakan bebas plastik. Tahap ini berbicara tentang implementasi, mengubah pemahaman, dan refleksi menjadi langkah konkret.

 

Relevansinya bagi gerakan Laudato Si' kita di basis masing-masing

Bulan Bebas Plastik ini bukan hanya relevan, melainkan mendasar bagi upaya kita membumikan Laudato Si' di basis kita masing-masing. Krisis plastik adalah masalah konkret yang dapat kita lihat, sentuh, dan rasakan setiap hari. Ini adalah pintu gerbang yang sangat nyata untuk mewujudkan Ekologi Integral Paus Fransiskus dalam kehidupan sehari-hari kita:

1. Melihat krisis lokal secara langsung: Plastik ada di mana-mana di sekitar kita—di rumah, di lingkungan paroki, di pasar tradisional, dan di selokan. Fokus pada plastik memaksa kita untuk melihat masalah lingkungan bukan sebagai abstraksi global, tetapi sebagai bagian inheren dari realitas lokal kita.

2. Menghubungkan iman dengan aksi nyata: Gerakan bebas plastik memungkinkan kita untuk menerjemahkan refleksi teologis tentang pertobatan ekologis menjadi tindakan nyata dan terukur. Gerakan bebas plastik menyediakan cara praktis bagi umat untuk hidup sesuai dengan iman mereka.

3. Membangun komunitas dalam aksi: Mengurangi plastik adalah upaya bersama yang mendorong kolaborasi. Ini bisa menjadi momentum bagi paroki dan komunitas Katolik untuk bekerja sama, belajar bersama, dan saling mendukung dalam perubahan gaya hidup yang lebih berkelanjutan.

4. Menjadi teladan profetik: Sebagai penggerak umat Katolik, komitmen kita untuk mengurangi dan menolak plastik bisa menjadi teladan hidup yang kuat bagi umat dan masyarakat luas, menunjukkan bahwa iman memiliki relevansi praktis dan profetik dalam menghadapi tantangan lingkungan yang paling mendesak di zaman kita.

 

Undangan untuk Bergerak

Bulan Juli ini, mari kita tak hanya gelisah tentang polusi plastik, tetapi juga mengambil tindakan tegas pada gaya hidup kita, sebagai wujud kongkrit dari pertobatan ekologis. Sebagaimana plastik yang gagal menjadi problem solver bagi kelestarian sumber daya alam karena tidak dikawal dalam refleksi nilai dan moral, demikian juga kehendak baik kita, hanya akan menjadi gaya hidup pura-pura tanpa dikawal oleh refleksi yang mendalam. Siap melawan budaya plastik kawan ?

 

Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com

Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI

Dari Sejarah 1 Juli 1997, Afrika Utara dan Timur Tengah menghadapi puncak wabah besar belalang gurun, bencana ekologis dan pertanian yang dipicu oleh kondisi iklim ekstrem. Miliaran belalang ini, yang mampu melahap vegetasi setara makanan 35.000 orang per hari, menyebabkan kerusakan lahan pertanian massal, memicu krisis pangan dan kerugian ekonomi parah. Konsumsi vegetasi yang brutal ini mengakibatkan degradasi lahan, erosi tanah, dan percepatan desertifikasi, mengganggu keanekaragaman hayati dan seringkali memicu penggunaan pestisida yang membahayakan. Peristiwa ini menjadi pengingat tajam tentang bagaimana interaksi kompleks antara iklim, hama, dan praktik pengelolaan lahan dapat menciptakan dampak lingkungan dan kemanusiaan yang menghancurkan, sekaligus menekankan pentingnya strategi pemantauan dan respons terpadu di masa depan.

Popular Posts