BANGSA-BANGSA SAMUDERA
Sebuah rumah bernama laut
Seorang bayi dari Suku Moken, tak lama setelah dilahirkan, akan dilemparkan ke laut oleh para tua-tua, disusul bapaknya yang segera menyelam untuk menyelamatkannya. Anak-anak Moken adalah anak-anak yang lahir dari laut.
Tahun 2015, 30 April hingga 3 Mei, saya diberi kesempatan luar biasa untuk live in, tinggal bersama Suku Moken yang jelata di Pulai Koh Phayam, salah satu pulau paling tertinggal di Thailand, 4 jam perjalanan laut dari Ranong, kota perbatasan Thailand-Myanmar. Nyaris tidak ada listrik di pulau itu, kecuali di rumah pendeta Philippus Albertus Van Wyk yang sejak tsunami 2006 tinggal bersama mereka, melayani mereka, ada bersama mereka, ada untuk mereka. Seorang pendeta Anglikan, anak keluarga kaya dari Pretoria, Afrika Selatan yang memilih meninggalkan segala-galanya, untuk menjadi pelayan yang termiskin dari yang miskin. Suku Moken di situ, tak cukup mengenal konsep “tidur di dalam rumah”, “negara bangsa”, “sarapan pagi”, “mencuci baju”, bahkan “sarapan pagi”. Tinggal bersama mereka adalah petualangan rohani yang luar biasa.
Suku-suku laut, orang-orang laut, adalah bangsa-bangsa yang hidup bersatu dengan laut, berumah di ombak, berbicara dengan angin, bermain-main dengan burung-burung dan satwa laut. Mereka sahabat dan penjaga laut.
Kisah mereka adalah kisah ekologi integral Paus Fransiskus yang otentik dan purba. Mereka mengingatkan kita : bahwa manusia tak terpisahkan dari alam, dan bahwa kerusakan lingkungan akan selalu berdampak paling parah pada mereka yang paling bergantung pada alam. Termasuk juga kerusakan kebudayaan dan gaya hidup konsumeristik : ruang hidup Suku Moken, adalah ruang penuh sampah plastik, sisa pembungkus makanan yang mereka beli setiap hari dan -tanpa mereka pahami- mereka buang begitu saja di jalanan.
Mengenal suku-suku laut adalah mendengarkan bisikan kearifan purba tentang harmoni dengan alam, sekaligus melihat duka dan penderitaan ekologis, sosial, kultural, dan teologis yang kini mereka hadapi di tengah dunia modern yang mengancam. Ancaman yang tak jarang juga menyentuh isu Hak Asasi Manusia (HAM) mereka yang paling dasar.
Bangsa-bangsa Nomaden Maritim dan Penjaga Kearifan Laut
"Suku-suku laut" atau "orang-orang laut" merujuk pada beragam komunitas yang secara historis, kultural, dan spiritual memiliki ikatan yang sangat erat dengan lingkungan maritim. Beda dengan masyarakat pesisir yang mungkin mencari nafkah dari laut tetapi hidup di darat, suku-suku laut menghabiskan sebagian besar atau bahkan seluruh hidup mereka di atas perahu atau rumah panggung yang di atas air. Mereka bergerak mengikuti musim ikan, pasang surut, dan memiliki pengetahuan mendalam tentang ekosistem laut yang telah diwariskan lintas generasi. Beberapa suku-suku laut di dunia di antaranya :
1. Suku Bajo (Bajau Laut, Sama-Bajau): Tersebar luas di perairan Asia Tenggara, mulai dari Filipina bagian selatan, Malaysia (Sabah), hingga Indonesia (Sulawesi, Kalimantan Timur, Maluku, Nusa Tenggara). Mereka dikenal sebagai "gipsi laut" karena kehidupan nomaden mereka di atas perahu (lepa-lepa atau sundek). Bagi sebagian besar dari mereka, tanah daratan adalah hal asing, bahkan terasa memusingkan.
2. Suku Moken: Mendiami Laut Andaman, di lepas pantai Thailand dan Myanmar (Kepulauan Mergui). Mereka adalah penyelam bebas ulung yang mampu menahan napas dalam waktu lama dan memiliki penglihatan bawah air yang luar biasa, menunjukkan adaptasi genetik dan fisiologis yang unik untuk hidup di laut.
3. Suku Orang Laut (Sea Nomads of Southeast Asia): Sebuah istilah yang lebih umum untuk berbagai kelompok nomaden maritim lain di Asia Tenggara, seperti suku Orang Seletar di Malaysia atau Moklen dan Urak Lawoi' di Thailand.
4. Suku-suku Polinesia dan Mikronesia: Meskipun banyak yang kini telah menetap di pulau-pulau, nenek moyang mereka adalah pelaut ulung yang menjelajahi dan mendiami ribuan pulau Pasifik, berlayar melintasi lautan luas hanya dengan pengetahuan tentang bintang, arus, dan gelombang. Bagi mereka, laut adalah jalur penghubung peradaban, bukan pemisah.
Laut : Ibu dan Guru
Bagi suku-suku laut, hubungan mereka dengan samudra jauh melampaui sekadar ketergantungan ekonomi. Hubungan mereka adalah hubungan budaya, spiritual, dan eksistensial yang membentuk seluruh aspek kehidupan, yang menjadikan mereka penjaga ekosistem laut yang luar biasa.
1. Kehidupan nomaden dan harmoni ekologis: Suku Bajo, hidup berpindah-pindah mengikuti pergerakan ikan dan pasang surut. Perahu mereka adalah rumah, dapur, dan tempat tidur. Mereka belajar membaca tanda-tanda laut sejak sangat muda, mereka mengetahui kapan badai tiba atau di mana ikan berkumpul. Kearifan tradisional ini seringkali selaras dengan prinsip konservasi. Mereka umumnya hanya mengambil secukupnya untuk hidup, menghindari eksploitasi berlebihan, dan menghormati siklus alami ekosistem laut (Novita et al., 2020). Praktik ini secara langsung berkontribusi pada kesehatan stok ikan dan regenerasi ekosistem laut.
2. Pengetahuan ekologis mendalam yang tak tertandingi dan peran sebagai "penjaga laut": Suku Moken terkenal dengan kemampuan menyelam bebasnya yang luar biasa dan pengetahuan ensiklopedis mereka tentang terumbu karang serta biota laut. Mereka adalah "ensiklopedia hidup" tentang ekosistem laut di wilayah mereka (Gezon, 2017). Pengetahuan ini memungkinkan mereka mengidentifikasi perubahan-perubahan halus pada kesehatan terumbu karang, pola migrasi ikan, dan tanda-tanda awal degradasi lingkungan. Mereka dapat menjadi mata dan telinga bagi para ilmuwan dan konservasionis. Pengetahuan ini sudah terbukti penting, seperti saat banyak suku Moken yang mengenal tanda-tanda alam (air surut tiba-tiba, perubahan perilaku hewan) dan mengungsi ke tempat aman sebelum tsunami 2004 tiba. Dan ini menyelamatkan komunitas mereka.
3. Identitas, bahasa, dan kosmologi yang utuh: Laut tak sekadar tempat, tetapi bagian sepenuhnya dari diri mereka. Bahasa mereka kaya istilah kelautan, mencerminkan detail navigasi, jenis-jenis ikan, dan fenomena laut. Ritual, cerita rakyat, dan kepercayaan mereka berpusat pada roh-roh laut, penjaga samudra, atau nenek moyang yang menjelma menjadi makhluk laut. Laut adalah ruang sakral yang memberi kehidupan, menuntut rasa hormat, sekaligus pemahaman. Anak-anak tumbuh dengan cerita tentang laut, lagu-lagu tentang gelombang, dan keterampilan mengarungi samudra, inti keberadaan mereka. Sebuah contoh nyata "ekologi budaya" tempat budaya dan lingkungan membentuk kesatuan tak terpisahkan, tempat pengetahuan dan nilai-nilai diwariskan melintasi generasi lewat interaksi langsung dengan alam (Nabhan, 2015). Keterikatan budaya memotivasi mereka untuk menjaga kelestarian laut, karena kehancuran laut berarti kehancuran identitas dan eksistensi mereka.
4. Praktik pemanfaatan sumber daya berkelanjutan: Sebagian besar suku laut secara tradisional mempraktikkan penangkapan ikan skala kecil dan ramah lingkungan. Mereka menggunakan alat tangkap selektif, seperti tombak, jaring tangan, atau pancing, yang meminimalkan kerusakan habitat dan penangkapan spesies non-target. Praktik ini jauh berbeda dari penangkapan ikan industri yang merusak, dan menjadi model bagi perikanan berkelanjutan. Mereka memiliki pemahaman intuitif tentang kapasitas daya dukung laut dan seringkali secara kolektif mengatur kapan dan di mana mereka bisa memancing untuk memastikan sumber daya tetap melimpah di masa depan.
Ancaman Eksistensial dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Ironisnya, mereka juga yang paling merasakan dampak buruk krisis lingkungan dan modernisasi. Mereka berada di ujung tanduk akibat tekanan ekologis dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sistematis:
1. *Ancaman perubahan iklim : Pemukiman suku-suku laut, seringkali berupa rumah panggung di atas air atau di pulau-pulau dataran rendah, sangat _rentan terhadap kenaikan permukaan air laut dan intensifikasi badai. Badai lebih kuat dapat menghancurkan rumah dan perahu mereka, kenaikan air laut menenggelamkan pulau-pulau kecil atau mengikis wilayah pesisir (McGranahan et al., 2007). Perubahan pola arus dan suhu air juga mengganggu migrasi ikan dan kesehatan terumbu karang, sumber utama mata pencarian mereka, memicu kerawanan pangan.
2. Eksploitasi sumber daya laut berlebihan dan kehilangan akses: Penangkapan ikan skala besar dan merusak oleh kapal komersial langsung menguras stok ikan di lautan. Metode penangkapan ikan yang merusak (pukat harimau, pengeboman ikan, penggunaan sianida) menghancurkan terumbu karang dan ekosistem laut lainnya (FAO, 2022). Ini bukan semata masalah lingkungan, tetapi -pelanggaran hak atas mata pencarian, hak atas pangan, dan hak atas budaya_ mereka. Hak mereka untuk mengakses dan mengelola sumber daya tradisional sering diabaikan.
3. Polusi laut yang mengancam kehidupan: Sampah plastik, limbah industri, dan tumpahan minyak mengancam kesehatan ekosistem dan biota laut yang menjadi sumber pangan mereka. Mikroplastik masuk ke rantai makanan, berdampak langsung pada kesehatan suku laut yang setiap hari bergantung pada hasil laut. Ini adalah pelanggaran hak atas lingkungan yang sehat dan berdampak langsung pada hak atas kesehatan.
4. Marginalisasi, diskriminasi, dan penggusuran paksa: Proyek pembangunan pesisir (misalnya, resort pariwisata mewah, pengembangan industri), atau klaim lahan oleh investor sering mengabaikan hak-hak adat dan tradisional suku-suku laut. Mereka digusur paksa dari tanah dan perairan leluhur, kehilangan akses sumber daya vital, dan terpinggirkan secara ekonomi dan sosial (UNEP, 2019). Hukum nasional sering tidak mengakui hak-hak mereka atas wilayah laut adat, membuat mereka rentan terhadap pengusiran/pemindahan. Suku-suku laut juga menghadapi diskriminasi dalam akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan layanan publik lainnya karena status nomaden atau kehidupan maritim mereka. Ini adalah bentuk "kolonialisme ekologis" dan pelanggaran hak atas tanah (wilayah), hak atas budaya, dan hak untuk menentukan nasib sendiri, seperti diakui dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) (Shipp, 2019).
5. Erosi budaya dan asimilasi paksa: Generasi muda suku laut terpaksa pindah ke daratan untuk mencari pendidikan atau pekerjaan yang lebih stabil karena mata pencarian tradisional mereka tak lagi berkelanjutan. Akibatnya bahasa, kearifan tradisional, dan identitas budaya mereka yang unik pun terancam hilang. Upaya pemerintah untuk "memodernisasi" mereka dengan memaksa mereka menetap di darat tanpa memahami konteks budaya mereka juga dapat dianggap sebagai bentuk asimilasi paksa yang mengancam keberlangsungan budaya. Ini adalah pelanggaran hak atas identitas budaya dan bahasa. Seorang sesepuh suku Moken yang saya temui bahkan pernah ditangkap polisi di 9 negara di laut Andaman, karena ia tak mengenal “konsep negara-bangsa.”
Panggilan untuk Keadilan Ekologis dan Solidaritas Hakiki
Hidup suku-suku laut adalah hidup ekologi integral yang sesungguhnya. Penderitaan mereka juga adalah "tangisan bumi dan tangisan kaum miskin" yang sejati dan tidak dapat dipisahkan (LS 49):
1. Keadilan ekologis: Suku-suku laut adalah contoh paling nyata bagaimana kerusakan lingkungan secara tidak proporsional memukul masyarakat yang paling rentan dan paling sedikit berkontribusi pada masalah tersebut. Inilah wujud kongkrit "ketidakadilan lingkungan" dan "utang ekologis" yang dibayar oleh kaum miskin, seperti yang dijelaskan dalam ensiklik (LS 51).
2. Melindungi keanekaragaman hayati dan budaya: Laudato Si' menekankan pentingnya melindungi keanekaragaman hayati dan budaya, keduanya saling terkait dan sama-sama rentan (LS 145). Lenyapnya suku-suku laut bukan hanya hilangnya sebuah komunitas, tetapi hilangnya kekayaan peradaban dan kemanusiaan. Budaya, bahasa, dan pengetahuan tak ternilai tentang laut serta cara hidup yang berkelanjutan yang dapat menjadi pelajaran bagi seluruh umat manusia. Terancam hilang tanpa sisa.
3. Pentingnya mendengarkan kearifan lokal: Laudato Si’ menyerukan untuk mendengarkan "kebijaksanaan asli bangsa-bangsa," yang dapat menawarkan cara-cara baru melihat dan berinteraksi dengan dunia (LS 146). Suku-suku laut adalah gudang kebijaksanaan ini. Mereka mengajarkan kita tentang hidup berkelanjutan dan hormat terhadap alam, sebuah pelajaran yang sangat dibutuhkan di tengah krisis ekologi saat ini.
Di luas biru Laut Sulawesi, ada nyanyian kuno yang hanya bisa didengar oleh suku Bajo tertentu. Nyanyian itu bukan nyanyian manusia, nyanyian itu bisikan terumbu karang dan gelombang lautan. Seorang tetua Bajo, yang seluruh hidupnya di laut, pernah bercerita ia bisa merasakan detak jantung lautan saat menyelam dalam, dan bisikan itu memberitahunya di mana ikan bersembunyi atau kapan laut akan murka.
Kini, kidungan itu terputus oleh suara kapal besar atau berisik plastik mengambang. Esok, tak akan ada lagi anak-anak laut yang mengerti bahasa-bahasa samudera.
Cyprianus Lilik K. P. senandungkopihutan@gmail.com
Disclamer: Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan bantuan AI
Dari Sejarah : Setiap tahun, 21 Juni adalah solstis musim panas (summer solstice) di belahan bumi utara / solstis musim dingin (winter solstice) di belahan bumi selatan adalah fenomena astronomi penting yang secara langsung memengaruhi lingkungan hidup kita. Solstis musim panas menandai hari terpanjang dalam setahun dan awal musim panas di Belahan Bumi Utara, sementara di Belahan Bumi Selatan menjadi hari terpendek dan awal musim dingin. Perubahan musim ini memiliki dampak besar pada ekosistem, pola cuaca, siklus pertumbuhan tanaman, migrasi hewan, dan ketersediaan air dan sinar matahari.